Predator Anak Sudah Bisa Dikebiri Kimia, Begini Ketentuannya

Minggu, 03 Januari 2021 - 23:12 WIB
Predator anak atau pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak kini sudah bisa dikenakan tindakan kebiri kimia setelah terbit dan berlakunya PP Nomor 70 Tahun 2020. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Predator anak atau pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak kini sudah bisa dikenakan tindakan kebiri kimia setelah terbit dan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

PP tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 7 Desember 2020 dan diundangkan pada tanggal bersama. Pasal 25 PP ini menegaskan bahwa peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Dalam salinan PP, tercantum bahwa PP ini ada dengan pertimbangan untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. (Baca juga: Biar Kapok, LPA Banten Minta Predator Anak Dikebiri)

PP ini ada dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. (Baca juga: Psikolog Unair: Kebiri Kimia Tak Cukup Selesaikan Kejahatan Seksual)

Pada BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1) hingga ayat (5) tertera penjelasan. Di antaranya anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (ayat (1)). Ayat (2) menjelaskan, tindakan kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi. (Baca juga: Selain di Indonesia, Ini Deretan Negara yang Terapkan Hukuman Kebiri Kimia)



Ayat (3) menyebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pada BAB II "TINDAKAN" terdiri atas 19 pasal. Pasal 2 tertera, tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Untuk tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi, dikenakan terhadap pelaku perbuatan cabul berdasarkan putusan pengadilan yang telah inkracht. Berikutnya, pelaksanaan putusan pengadilan dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Sosial.

Untuk pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah jaksa (Pasal 3). Di sisi lain, bagi pelaku anak ada pengecualian. Pasal 4 PP ini menegaskan, pelaku anak tidak dapat dikenakan tindakan kebiri kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik. "Tindakan Kebiri Kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun," bunyi Pasal 5 PP Nomor 70 Tahun 2020, seperti dikutip KORAN SINDO dan MNC News Portal, di Jakarta, Minggu (3/1/2021).

Berikutnya, pada Pasal 6 termaktub, pelaksanaan tindakan kebiri kimia dilakukan dengan lebih dulu melalui tiga tahapan. Masing-masing yakni penilaian klinis kesimpulan, dan pelaksanaan. Rincian tiga tahapan ini tercatat pada Pasal 7, Pasal 8, hingga Pasal 19. Penilaian klinis dilakukan oleh tim yang terdiri atas petugas yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri. Penilaiannya meliputi tiga hal yaitu wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Penilaian klinis dilakukan dengan empat cara. Satu, Kementerian Hukum dan HAM menyampaikan pemberitahuan kepada jaksa. Dua, pemberitahuan dilakukan paling lambat 9 bulan sebelum terpidana selesai menjalani pidana pokok. Tiga, dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah pemberitahuan, jaksa menyampaikan pemberitahuan dan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk dilakukan penilaian klinis. Empat, penilaian klinis dimulai paling lambat 7 hari kerja setelah Kementerian Kesehatan menerima pemberitahuan dari jaksa.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More