Batasi HAM, Koalisi Masyarakat Sipil Minta Maklumat Kapolri Dicabut
Sabtu, 02 Januari 2021 - 16:00 WIB
JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil meminta Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis mencabut ketentuan poin 2d dalam maklumat nomor 1/Mak/I/2020. Poin yang disorot yakni larangan masyarakat mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait Front Pembela Islam (FPI) baik melalui website maupun media sosial. Adapun koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam pernyataan sikap bersama ini, antara lain ELSAM, ICJR, LBH Pers, PSHK, YLBHI, LBH Masyarakat, KontraS, PBHI, dan IMPARSIAL.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengatakan, meski maklumat tersebut pada dasarnya semata-mata sebagai perangkat teknis implementasi kebijakan, namun beberapa materinya justru telah memicu kontroversi dan perdebatan, terutama dari aspek pembatasan hak asasi manusia (HAM). "Salah satu yang paling kontroversial adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial, sebagaimana diatur oleh poin 2d, yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam poin 3 Maklumat," ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (2/1/2021). (Baca juga: Hidayat Nur Wahid Minta Kapolri Cabut Maklumat tentang FPI)
Menurut Ade, akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F, dan juga sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selain itu, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP), yang telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU No. 12/2005. (Baca juga: Kapolri Idham Azis Terbitkan Maklumat tentang FPI)
Dalam hukum HAM, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan (permissible restriction). Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai three part test (tiga uji elemen) yang mengharuskan setiap pembatasan diatur oleh hukum (prescribed by law) yang oleh sejumlah ahli ditafsirkan harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan; untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim) yaitu keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain; pembatasan itu benar-benar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality). "Prinsip ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan," terang Ade. (Baca juga: Komunitas Pers Desak Kapolri Cabut Pasal 2 Huruf d Maklumat Kapolri)
Lebih jauh, mengacu pada Komentar Umum Nomor 34/2011 tentang Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 19 KIHSP, juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya. Hal ini juga sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 Tahun 2012 yang menegaskan, perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka online. Perlindungan ini khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih. (Baca juga: Politikus Demokrat: Sejak Melek Politik, Baru Saya Dengar Maklumat Kapolri)
Resolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan pertimbangan tersebut, koalisi masyarakat sipil mempertanyakan apakah Maklumat Kapolri itu telah memenuhi persyaratan prescribed by law, legitimate aim, dan necessity atau tidak. Dasar keluarnya maklumat yang kontennya berisi perintah pembatasan, yang hanya disandarkan pada SKB sejumlah Menteri/Kepala Lembaga/Badan, dianggap jauh dari memenuhi persyaratan diatur oleh hukum.
SKB pada dasarnya merupakan suatu penetapan yang berbentuk Keputusan (beschikking), sehingga muatan normanya bersifat individual, konkret, dan sekali selesai (einmalig). Tidak semestinya dia bersifat mengatur keluar, luas, dan terus-menerus (dauerhaftig). "Artinya, maklumat ini semestinya hanya ditujukan kepada anggota Polri, yang berisi perintah dari Kepala Polri. Wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik," ujar Ade.
Koalisi juga menilai maklumat tersebut tidak ada kejelasan tujuan yang sah (legitimate aim) yang hendak dicapai, apakah untuk mencapai tujuan keamanan nasional, keselamatan publik atau ketertiban umum, termasuk alasan keharusan untuk melakukan tindakan pembatasan akses konten (necessity). Pembatasan akses informasi/konten internet, dalam bentuk pelarangan, sebagaimana dimaksud khususnya dalam poin 2d, justru tidak memenuhi prinsip proporsionalitas.
Lebih jauh, kalau pun mengacu pada Pasal 40 ayat (2) huruf b UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memberikan wewenang bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pembatasan akses internet, pun hanya terhadap konten yang dinilai melanggar hukum. Selain itu juga harus tunduk pada serangkaian prosedur, dan bentuknya melalui tindakan penapisan/pemblokiran, bukan dalam bentuk larangan publik untuk mengakses, dengan disertai ancaman tindakan pemidanaan.
"Oleh karena itu, mencermati materi dari Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 serta berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan hak asasi manusia, termasuk persyaratan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi, semestinya Kepolisian memperbarui Maklumat dimaksud, atau setidak-tidaknya mencabut ketentuan poin 2d," tegas Ade.
Hal ini, kata dia, untuk memastikan setiap tindakan hukum yang dilakukan sejalan dengan keseluruhan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Termasuk konsistensi dengan Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian sendiri. "Bangsa ini tentunya tidak ingin kembali menjadi bangsa tertutup, yang secara ketat dan sewenang-wenang mengatur informasi yang dapat diakses oleh warganya," tutupnya.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengatakan, meski maklumat tersebut pada dasarnya semata-mata sebagai perangkat teknis implementasi kebijakan, namun beberapa materinya justru telah memicu kontroversi dan perdebatan, terutama dari aspek pembatasan hak asasi manusia (HAM). "Salah satu yang paling kontroversial adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial, sebagaimana diatur oleh poin 2d, yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam poin 3 Maklumat," ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (2/1/2021). (Baca juga: Hidayat Nur Wahid Minta Kapolri Cabut Maklumat tentang FPI)
Menurut Ade, akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F, dan juga sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selain itu, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP), yang telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU No. 12/2005. (Baca juga: Kapolri Idham Azis Terbitkan Maklumat tentang FPI)
Dalam hukum HAM, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan (permissible restriction). Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai three part test (tiga uji elemen) yang mengharuskan setiap pembatasan diatur oleh hukum (prescribed by law) yang oleh sejumlah ahli ditafsirkan harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan; untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim) yaitu keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain; pembatasan itu benar-benar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality). "Prinsip ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan," terang Ade. (Baca juga: Komunitas Pers Desak Kapolri Cabut Pasal 2 Huruf d Maklumat Kapolri)
Lebih jauh, mengacu pada Komentar Umum Nomor 34/2011 tentang Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 19 KIHSP, juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya. Hal ini juga sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 Tahun 2012 yang menegaskan, perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka online. Perlindungan ini khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih. (Baca juga: Politikus Demokrat: Sejak Melek Politik, Baru Saya Dengar Maklumat Kapolri)
Resolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan pertimbangan tersebut, koalisi masyarakat sipil mempertanyakan apakah Maklumat Kapolri itu telah memenuhi persyaratan prescribed by law, legitimate aim, dan necessity atau tidak. Dasar keluarnya maklumat yang kontennya berisi perintah pembatasan, yang hanya disandarkan pada SKB sejumlah Menteri/Kepala Lembaga/Badan, dianggap jauh dari memenuhi persyaratan diatur oleh hukum.
SKB pada dasarnya merupakan suatu penetapan yang berbentuk Keputusan (beschikking), sehingga muatan normanya bersifat individual, konkret, dan sekali selesai (einmalig). Tidak semestinya dia bersifat mengatur keluar, luas, dan terus-menerus (dauerhaftig). "Artinya, maklumat ini semestinya hanya ditujukan kepada anggota Polri, yang berisi perintah dari Kepala Polri. Wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik," ujar Ade.
Koalisi juga menilai maklumat tersebut tidak ada kejelasan tujuan yang sah (legitimate aim) yang hendak dicapai, apakah untuk mencapai tujuan keamanan nasional, keselamatan publik atau ketertiban umum, termasuk alasan keharusan untuk melakukan tindakan pembatasan akses konten (necessity). Pembatasan akses informasi/konten internet, dalam bentuk pelarangan, sebagaimana dimaksud khususnya dalam poin 2d, justru tidak memenuhi prinsip proporsionalitas.
Lebih jauh, kalau pun mengacu pada Pasal 40 ayat (2) huruf b UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memberikan wewenang bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pembatasan akses internet, pun hanya terhadap konten yang dinilai melanggar hukum. Selain itu juga harus tunduk pada serangkaian prosedur, dan bentuknya melalui tindakan penapisan/pemblokiran, bukan dalam bentuk larangan publik untuk mengakses, dengan disertai ancaman tindakan pemidanaan.
"Oleh karena itu, mencermati materi dari Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 serta berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan hak asasi manusia, termasuk persyaratan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi, semestinya Kepolisian memperbarui Maklumat dimaksud, atau setidak-tidaknya mencabut ketentuan poin 2d," tegas Ade.
Hal ini, kata dia, untuk memastikan setiap tindakan hukum yang dilakukan sejalan dengan keseluruhan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Termasuk konsistensi dengan Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian sendiri. "Bangsa ini tentunya tidak ingin kembali menjadi bangsa tertutup, yang secara ketat dan sewenang-wenang mengatur informasi yang dapat diakses oleh warganya," tutupnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda