2020, Tahun Pandemi dan Dimulainya Perang Siber
Kamis, 31 Desember 2020 - 07:35 WIB
Kejahatan penipuan daring juga sempat mencapai puncak di awal-awal pandemi ketika masyarakat panik untuk membeli masker serta pengadaan alat pelindung diri untuk rumah sakit. Dalam 33 hari sejak Presiden Jokowi mengumumkan pasien pertama Covid-19, jumlah rekening yang dilaporkan dalam kasus penipuan daring tercatat lebih dari 18.000.
Penggunaan Zoom yang meledak di masa WFH juga membuat banyak serangan ditujukan ke platform tersebut. Beberapa kejadian ZoomBombing terjadi, seperti webinar yang dihadiri oleh Wakil Presiden pada Juni dan webinar WanTIKNas pada April.
Perlindungan Data Pribadi
Pencurian data pribadi di Tokopedia menjadi tren liputan media pada Mei, dua bulan setelah pencurinya diketahui masuk ke sistem. Tidak tanggung-tanggung, ada 91 juta data pelanggan dan lebih dari 7 juta data penjual yang ditawarkan penjahatnya di darkweb. Kemudian bertubi-tubi terungkap berita kebobolan data lainnya: 1,2 juta data pelanggan Bhinneka, 2,4 juta data DPT Pemilu 2014 (mis-regulasi akan data pribadi), data guru dan pegawai Kemendikbud, data pegawai BPPT, dan seterusnya.
Kasus kejahatan siber yang berhubungan dengan pencurian data pribadi memang marak pada 2020. Dimulai Januari dengan kasus situs penjual data kartu kredit Joker Stash, pembajakan sosial media beberapa aktivis di bulan April, dugaan pencurian data TikTok di bulan Juli, sampai data pengguna ShopBack dan RedDoorz yang bocor pada September.
Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi saat ini telah sampai ke DPR. Serangkaian rapat dengar pendapat telah diadakan oleh DPR dengan mengundang perwakilan masyarakat dan asosiasi pada Juli. Dari 300-an daftar inventaris masalah (DIM) yang terkumpul, sampai akhir tahun ini baru diselesaikan 145 isu sehingga diharapkan Maret 2021 baru dapat diundangkan.
Attention Economy
Istilah ini diperkenalkan ulang oleh Hendrick dan Vestergaard dalam kumpulan makalah berjudul Reality Lost: Markets of Attention, Misinformation, and Manipulation (2019) yang kemudian menjadi pembahasan populer lewat film The Social Dilemma (ditayangkan Netflix mulai bulan September). Memanfaatkan rasa ingin tahu masyarakat, sejarah bisnis atensi ini sudah ditemukan pada koran The New York Sun pada 1835 yang menjual berita bohong dan bombastis kepada pembacanya.
Di dunia terkoneksi saat ini, ketika informasi datang secara berlimpah ruah (abundant information), terjadi perang perebutan atensi lewat klik dan screentime. Untuk menang dibutuhkan pengumpulan data besar-besaran demi mendapatkan profil pelanggan. Di sinilah berperan teknologi Big Data, kecerdasan artifisial, dan machine learning.
Dari profiling yang bertujuan advertising, kemudian berkembang untuk tujuan manipulasi opini publik melalui kampanye disinformasi, berita palsu, polarisasi, dan sebagainya yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Menurut Ismail Fahmi, algoritma logis dalam sistem rekomendasi di Twitter dan Facebook lebih memberi kemudahan bagi berita kontroversial untuk menyebar lebih cepat dari berita benar. Polarisasi karena kontroversi itu akan makin dalam, semakin besar, semakin jauh jaraknya. Akhirnya semakin tinggi perhatian didapat dan naik screen time pembacanya.
Penggunaan Zoom yang meledak di masa WFH juga membuat banyak serangan ditujukan ke platform tersebut. Beberapa kejadian ZoomBombing terjadi, seperti webinar yang dihadiri oleh Wakil Presiden pada Juni dan webinar WanTIKNas pada April.
Perlindungan Data Pribadi
Pencurian data pribadi di Tokopedia menjadi tren liputan media pada Mei, dua bulan setelah pencurinya diketahui masuk ke sistem. Tidak tanggung-tanggung, ada 91 juta data pelanggan dan lebih dari 7 juta data penjual yang ditawarkan penjahatnya di darkweb. Kemudian bertubi-tubi terungkap berita kebobolan data lainnya: 1,2 juta data pelanggan Bhinneka, 2,4 juta data DPT Pemilu 2014 (mis-regulasi akan data pribadi), data guru dan pegawai Kemendikbud, data pegawai BPPT, dan seterusnya.
Kasus kejahatan siber yang berhubungan dengan pencurian data pribadi memang marak pada 2020. Dimulai Januari dengan kasus situs penjual data kartu kredit Joker Stash, pembajakan sosial media beberapa aktivis di bulan April, dugaan pencurian data TikTok di bulan Juli, sampai data pengguna ShopBack dan RedDoorz yang bocor pada September.
Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi saat ini telah sampai ke DPR. Serangkaian rapat dengar pendapat telah diadakan oleh DPR dengan mengundang perwakilan masyarakat dan asosiasi pada Juli. Dari 300-an daftar inventaris masalah (DIM) yang terkumpul, sampai akhir tahun ini baru diselesaikan 145 isu sehingga diharapkan Maret 2021 baru dapat diundangkan.
Attention Economy
Istilah ini diperkenalkan ulang oleh Hendrick dan Vestergaard dalam kumpulan makalah berjudul Reality Lost: Markets of Attention, Misinformation, and Manipulation (2019) yang kemudian menjadi pembahasan populer lewat film The Social Dilemma (ditayangkan Netflix mulai bulan September). Memanfaatkan rasa ingin tahu masyarakat, sejarah bisnis atensi ini sudah ditemukan pada koran The New York Sun pada 1835 yang menjual berita bohong dan bombastis kepada pembacanya.
Di dunia terkoneksi saat ini, ketika informasi datang secara berlimpah ruah (abundant information), terjadi perang perebutan atensi lewat klik dan screentime. Untuk menang dibutuhkan pengumpulan data besar-besaran demi mendapatkan profil pelanggan. Di sinilah berperan teknologi Big Data, kecerdasan artifisial, dan machine learning.
Dari profiling yang bertujuan advertising, kemudian berkembang untuk tujuan manipulasi opini publik melalui kampanye disinformasi, berita palsu, polarisasi, dan sebagainya yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Menurut Ismail Fahmi, algoritma logis dalam sistem rekomendasi di Twitter dan Facebook lebih memberi kemudahan bagi berita kontroversial untuk menyebar lebih cepat dari berita benar. Polarisasi karena kontroversi itu akan makin dalam, semakin besar, semakin jauh jaraknya. Akhirnya semakin tinggi perhatian didapat dan naik screen time pembacanya.
tulis komentar anda