Natal Air Mata
Kamis, 24 Desember 2020 - 05:10 WIB
Aduh Tuhan?!
Jika Yesus lahir pada 2020, Balthasar, Caspar, dan Melchior tiga orang Majus itu mungkin tidak hanya memberi emas, kemenyan, dan mur tapi juga masker, hand sanitizer, dan vitamin. Sukacita Natal direspons, tapi keprihatinan atas dunia pandemi dan krisis tak bisa disangkali. Kita tidak hanya menyanyikan I’m dreaming of a White Christmas, tapi juga I’m weeping of a Dark Christmas. Gereja dan umat Kristiani bisa merespons keduanya berkaca pada Natal perdana dan kisah keselamatan Allah atas dunia yang berdosa. Di mana Yesus juga tidak imun terhadap pandemi dosa manusia, Ia harus terpapar dan meregang di ICU yakni salib Golgota dan di karantina di dunia orang mati. Rekam jejak kisah keselamatan itu bisa dirunut di kitab suci. Kisah anugerah, kasih setia, pertolongan, mukjizat kesembuhan dan Allah yang hadir menolong nyata, terserak melimpah dalam kitab suci. Namun dalam kitab suci pula, kisah sedih dan air mata hadir dan nyata adanya. Sepertiga dari 150 Mazmur Nabi Daud berupa ratapan, air mata, kesedihan, ditinggalkan, sendiri, dan putus asa. Allah diam dan menjauh. Kesedihan dan air mata dihadirkan bersama-sama dengan tawa dan pertolongan Allah.
Allah ingin manusia realistis dan tahu siapa dirinya, serta dunia seperti apa yang mereka tempati. Ciptaan yang lemah dan dunia yang sudah jatuh dalam dosa memperanak-pinakkan skandal air mata. Syukur Allah menyediakan “vaksin Firman” agar manusia imun dalam menghadapinya. Vaksin agar berani mengunyah, mencecap pahit dan menelannya bersama-sama Allah. Vaksin Ilahiah itu berupa Kitab Ratapan dari Nabi Yeremia. Penderitaan, jeritan, ratapan, air mata, lolongan, pertanyaan tanpa jawaban, ketidakpastian, kesakitan, merasa ditinggalkan, ketakutan, keadaan koma bahkan kematian dihadirkan sepanjang kitab ini.
Pandemi dan krisis sepertinya kontras dengan citra sukacita dan kegembiraan Natal. Padahal Ia lahir miskin di palungan domba, mengungsi dan aniaya, Yesus tidak menolak cawan pahit. Ia juga menjeritkan ratapan mengapa Allah meninggalkan, merasakan sakit psikis dan fisik, keterasingan universal, bahkan harus merasakan alam kubur. Natal boleh bereuforia atas hidup berselimut syukur dan janji keselamatan. Namun, Natal yang sama juga tidak mudah patah jika harus berkerudung duka dan air mata.
Natal 2020 adalah sukacita keselamatan tetapi juga terselip air mata penderitaan global. Melalui teks-teks Kitab Ratapan, Natal sepertinya habis dan selesai, karena sukacita dan pertolongan tak kunjung datang. Allah seolah-olah hanya menampakkan murka dan ketidakpedulian atas pandemi dan krisis.
Teologi Allah yang memegang kendali, semua baik-baik saja karena pemeliharaan Allah, Allah pasti menolong, mendadak dijungkirbalikkan. Yang ada hanya ratap tangis, penyebab-penyebab, dan akibat-akibat tanpa ada intervensi Ilahi. Yang tersisa harapan tinggal harapan, juga perasaan bersalah dan pertobatan serta ditutup dengan doa, doa, dan doa, menunggu dikabulkan Allah. Tapi Allah belum juga hadir dan bertindak.
Natal di tengah pandemi dan krisis cermin betapa manusia lemah segalanya. Ratapan menjadi natur manusia yang tak bisa disangkali. Natal adalah kesempatan untuk menjeritkan kefanaan, dan kelemahan. Meski kita berharap Natal jadi momen menyembuhkan dan memulihkan, jika harus mencicipi cawan pahit itu, Natal menyediakan empati Ilahi tentang Yesus yang menderita, untuk kesembuhan dan pemulihan kita baik di sini pun di surga kelak.
Pandemi dan krisis adalah buah dari dunia yang sudah jatuh dalam dosa yang harus kita ratapi, kita aduhi. Namun, bersamaan dengan itu pula kita meneriakkan Juru Selamat sudah datang. Natal boleh berlinang air mata duniawi, tapi iman dan pengharapan kita membuncah sukacita surgawi.
James Buchanan, seorang Kristen Puritan dalam Comfort in Affliction (1837) mengatakan, janganlah takut, karena Allah dalam Yesus yang dilahirkan itu, telah memegang kunci maut (di mana kesedihan dan air mata berada!). Selalu ada kendali Ilahi atas dunia hari-hari ini, apa pun headline dan breaking news-nya. Tentu selama kita melihat dengan cara pandang Allah dan bukan cara pandang manusia yang terbatas.
Jika Yesus lahir pada 2020, Balthasar, Caspar, dan Melchior tiga orang Majus itu mungkin tidak hanya memberi emas, kemenyan, dan mur tapi juga masker, hand sanitizer, dan vitamin. Sukacita Natal direspons, tapi keprihatinan atas dunia pandemi dan krisis tak bisa disangkali. Kita tidak hanya menyanyikan I’m dreaming of a White Christmas, tapi juga I’m weeping of a Dark Christmas. Gereja dan umat Kristiani bisa merespons keduanya berkaca pada Natal perdana dan kisah keselamatan Allah atas dunia yang berdosa. Di mana Yesus juga tidak imun terhadap pandemi dosa manusia, Ia harus terpapar dan meregang di ICU yakni salib Golgota dan di karantina di dunia orang mati. Rekam jejak kisah keselamatan itu bisa dirunut di kitab suci. Kisah anugerah, kasih setia, pertolongan, mukjizat kesembuhan dan Allah yang hadir menolong nyata, terserak melimpah dalam kitab suci. Namun dalam kitab suci pula, kisah sedih dan air mata hadir dan nyata adanya. Sepertiga dari 150 Mazmur Nabi Daud berupa ratapan, air mata, kesedihan, ditinggalkan, sendiri, dan putus asa. Allah diam dan menjauh. Kesedihan dan air mata dihadirkan bersama-sama dengan tawa dan pertolongan Allah.
Allah ingin manusia realistis dan tahu siapa dirinya, serta dunia seperti apa yang mereka tempati. Ciptaan yang lemah dan dunia yang sudah jatuh dalam dosa memperanak-pinakkan skandal air mata. Syukur Allah menyediakan “vaksin Firman” agar manusia imun dalam menghadapinya. Vaksin agar berani mengunyah, mencecap pahit dan menelannya bersama-sama Allah. Vaksin Ilahiah itu berupa Kitab Ratapan dari Nabi Yeremia. Penderitaan, jeritan, ratapan, air mata, lolongan, pertanyaan tanpa jawaban, ketidakpastian, kesakitan, merasa ditinggalkan, ketakutan, keadaan koma bahkan kematian dihadirkan sepanjang kitab ini.
Pandemi dan krisis sepertinya kontras dengan citra sukacita dan kegembiraan Natal. Padahal Ia lahir miskin di palungan domba, mengungsi dan aniaya, Yesus tidak menolak cawan pahit. Ia juga menjeritkan ratapan mengapa Allah meninggalkan, merasakan sakit psikis dan fisik, keterasingan universal, bahkan harus merasakan alam kubur. Natal boleh bereuforia atas hidup berselimut syukur dan janji keselamatan. Namun, Natal yang sama juga tidak mudah patah jika harus berkerudung duka dan air mata.
Natal 2020 adalah sukacita keselamatan tetapi juga terselip air mata penderitaan global. Melalui teks-teks Kitab Ratapan, Natal sepertinya habis dan selesai, karena sukacita dan pertolongan tak kunjung datang. Allah seolah-olah hanya menampakkan murka dan ketidakpedulian atas pandemi dan krisis.
Teologi Allah yang memegang kendali, semua baik-baik saja karena pemeliharaan Allah, Allah pasti menolong, mendadak dijungkirbalikkan. Yang ada hanya ratap tangis, penyebab-penyebab, dan akibat-akibat tanpa ada intervensi Ilahi. Yang tersisa harapan tinggal harapan, juga perasaan bersalah dan pertobatan serta ditutup dengan doa, doa, dan doa, menunggu dikabulkan Allah. Tapi Allah belum juga hadir dan bertindak.
Natal di tengah pandemi dan krisis cermin betapa manusia lemah segalanya. Ratapan menjadi natur manusia yang tak bisa disangkali. Natal adalah kesempatan untuk menjeritkan kefanaan, dan kelemahan. Meski kita berharap Natal jadi momen menyembuhkan dan memulihkan, jika harus mencicipi cawan pahit itu, Natal menyediakan empati Ilahi tentang Yesus yang menderita, untuk kesembuhan dan pemulihan kita baik di sini pun di surga kelak.
Pandemi dan krisis adalah buah dari dunia yang sudah jatuh dalam dosa yang harus kita ratapi, kita aduhi. Namun, bersamaan dengan itu pula kita meneriakkan Juru Selamat sudah datang. Natal boleh berlinang air mata duniawi, tapi iman dan pengharapan kita membuncah sukacita surgawi.
James Buchanan, seorang Kristen Puritan dalam Comfort in Affliction (1837) mengatakan, janganlah takut, karena Allah dalam Yesus yang dilahirkan itu, telah memegang kunci maut (di mana kesedihan dan air mata berada!). Selalu ada kendali Ilahi atas dunia hari-hari ini, apa pun headline dan breaking news-nya. Tentu selama kita melihat dengan cara pandang Allah dan bukan cara pandang manusia yang terbatas.
(bmm)
tulis komentar anda