Natal Air Mata

Kamis, 24 Desember 2020 - 05:10 WIB
Stevanus Subagijo (Foto: Istimewa)
Stevanus Subagijo

Peneliti pada National Urgency Jakarta

PADA umumnya umat Kristiani menyambut Natal identik sebagai peristiwa sukacita atau kegembiraan. Bahkan sentimen sekuler yang menyusupi peringatan kelahiran Yesus ini telah mengemasnya sebagai pesta raya. Jauh dari kesedihan dan air mata. Kalaupun ada Natal di tengah kesedihan --katakanlah Natal air mata-- itu bersifat kebetulan dan kasus. Seperti Natal pada masa perang, di tengah bencana alam, pun ketika seseorang dirundung sakit, kemiskinan, dan kehancuran keluarga.

Ruang Keprihatinan

Bahkan, fakta-fakta terselip pada Natal perdana belum cukup juga untuk memaknai Natal sebagai peristiwa kesedihan dan air mata. Pembunuhan anak-anak dua tahun ke bawah oleh Herodes di Betlehem dan sekitarnya, yang bisa jadi diikuti membunuh ibunya karena tak rela anak-anak dicerabut dari pelukan, harus diakui sebagai episode dukacita dalam kelahiran Yesus. Oleh karena itu pula Yusuf, Maria, dan bayi Yesus, mengikuti perintah malaikat lari ke Mesir agar tidak menjadi korban. Bagi keluarga Yesus, Betlehem adalah tanah harapan yang dijanjikan “limpah susu dan madu”. Kini harus ditinggalkan tergopoh-gopoh menuju tanah Firaun yang traumatik, mengingatkan perbudakan leluhurnya dahulu. Ya Allah, yang benar saja, kenapa tidak ke Inggris?



Dan, ini pelarian hidup-mati, bukan traveling ke Piramida-Sphinx demi isi Instagram. Tak heran Lukas 2 mengatakan, terdengar suara tangis-ratap amat sedih karena nyawa anak-anak telah tiada.

Bahkan, kita lebih lupa lagi, di tataran surga Natal juga merepresentasikan kesedihan dan air mata. Kelahiran Yesus bagi gereja dan umat disambut sebagai Juru Selamat yang menebus dosa. Tapi bagi Allah itu pengorbanan terbesar karena rela menginkarnasikan diri-Nya sendiri dalam kelahiran Yesus. Dan, Ia tahu kelahiran insani itu membawa misi keselamatan yang kelak harus melalui episode aniaya, salib, dan kematian. Semua ini menunjukkan Natal baik di bumi maupun di surga juga merangkul kesedihan dan air mata. Itu tak terelakkan. Natal harus disambut utuh. Sebagaimana kita memahami Natal selama ini sebagai sukacita dan kegembiraan, Natal yang sama juga harus dimaknai sebagai keprihatinan. Natal air mata.

Mengapa kita perlu memaknai Natal dengan utuh sebagai kegembiraan sekaligus kesedihan, tawa dan air mata, suka tapi juga duka, sangat penting hari-hari ini? Tentu bukan karena kita terpaksa mencicipi realita pahit sepanjang tahun karena pandemi, krisis ekonomi, pun korban kekerasan apa pun. Seperti ungkapan Jacques Derrida meminjam Descartes, saya meratap maka saya ada (I mourn, there for I am). Penderitaan dirangkul sebagai keniscayaan tanpa solusi, selain dipeluk hingga terluka, bahkan jika harus tertikam olehnya saat Natal menjelang.

Jika Natal hanya dimaknai seperti ini kita kehilangan maksud anugerah Allah. Natal justru pertama-tama hadir di dunia yang memang sudah jatuh dalam dosa, yang ditandai dengan serial kesedihan dan air mata. Dunia yang tidak kebal dengan ratap dan tangisan. Kepada dunia seperti inilah Natal diberikan dan memberi pengharapan tentang pengampunan dosa, kekuatan untuk hidup di tengah dunia yang lelah, kalut, tercabik, dan meraih pengharapan kehidupan di sini pun kelak. Natal tahu bahwa dunia yang seperti ini tidak pernah akan sempurna, compang-camping dalam problemnya, dan jika solusi didapat juga selalu menyisakan kesedihan dan air mata. Natal perdana pun Natal setiap Desember, akan tetap hadir dengan sukacita sekaligus keprihatinan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More