Soal Amandemen UUD 1945, GBHN Dinilai Perlu Dihidupkan Kembali
Senin, 07 Desember 2020 - 18:26 WIB
JAKARTA - Wacana Amandemen UUD 1945 belum meredup khususnya terkait dengan amandemen terbatas dan mendorong untuk lahirnya kembali Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ). Terkait hal tersebut MPR RI membuka ruang konsultasi seluas-luasnya untuk seluruh elemen masyarakat termasuk dari kalangan kampus seperti dengan kampus Universitas Krisna Dwipayana (Unkris) Jakarta.
Rektor Unkris, Ayub Muktiono berpendapat seharusnya ada penataan yang lebih beradab untuk keanggotaan di MPR dengan unsur parpol, adat dan budaya (kerajaan), pertahanan dalam hal ini TNI/Polri, intelektual dan rohaniawan. (Baca juga: Akui Strategis, Bamsoet Kembali Wacanakan GBHN Dihidupkan Lagi)
"Sementara GBHN sangat diperlukan namun GBHN yang tepat menjunjung tinggi kearifan budaya lokal dan GBHN dari hasil dari diskusi musyarawah," ujar Ayub dalam acara Focus Group Discusion dengan MPR di Kampus Unkris, Jakarta, Rabu (7/12/2020).
Sementara itu, Plt Dekan Fakultas Hukum Unkris RH Muchtar berpendapat GBHN perlu dihidupkan kembali sebagai pedoman rencana pembangunan pemerintah yang berkelanjutan. Selain itu usulan pemberlakuan GBHN kembali harus dikritisi karena akan mengancam hubungan yang demokratis yang sudah terbangun antara lembaga eksekutif dan legislatif setelah era reformasi.
"GBHN adalah instrumen konstitusional bagi MPR RI untuk mengawasi kinerja Presiden," kata Muchtar.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Unkris Prof Gayus Lumbuun menyatakan perlu memberikan catatan penting yakni gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan RI perlu memperhatikan legitimasi secara filosofis, sosiologis dan yuridis.
"Secara filosofis jelas dimaksudkan agar GBHN merupakan bagian dari upaya negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yakni menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera," jelas Gayuus.
Selain itu, lanjut Gayuus, secara sosiologis dimaksudkan untuk memperbaiki dan memberikan solusi terhadap masalah yang ada dalam praktik ketatanegaraan dalam rangka mewujudkan tujuan negara. (Baca juga: Amien Rais: Tidak Ada yang Salah dengan Pancasila dan UUD 1945)
"Sementara dari aspek yuridis perlunya legitimasi dalam bentuk landasan hukum yang kuat, baik dalam UUD 1945 maupun dalam UU yang mengatur secara tersendiri mengenai MPR RI," tutup Gayuus.
Rektor Unkris, Ayub Muktiono berpendapat seharusnya ada penataan yang lebih beradab untuk keanggotaan di MPR dengan unsur parpol, adat dan budaya (kerajaan), pertahanan dalam hal ini TNI/Polri, intelektual dan rohaniawan. (Baca juga: Akui Strategis, Bamsoet Kembali Wacanakan GBHN Dihidupkan Lagi)
"Sementara GBHN sangat diperlukan namun GBHN yang tepat menjunjung tinggi kearifan budaya lokal dan GBHN dari hasil dari diskusi musyarawah," ujar Ayub dalam acara Focus Group Discusion dengan MPR di Kampus Unkris, Jakarta, Rabu (7/12/2020).
Sementara itu, Plt Dekan Fakultas Hukum Unkris RH Muchtar berpendapat GBHN perlu dihidupkan kembali sebagai pedoman rencana pembangunan pemerintah yang berkelanjutan. Selain itu usulan pemberlakuan GBHN kembali harus dikritisi karena akan mengancam hubungan yang demokratis yang sudah terbangun antara lembaga eksekutif dan legislatif setelah era reformasi.
"GBHN adalah instrumen konstitusional bagi MPR RI untuk mengawasi kinerja Presiden," kata Muchtar.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Unkris Prof Gayus Lumbuun menyatakan perlu memberikan catatan penting yakni gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN dalam sistem ketatanegaraan RI perlu memperhatikan legitimasi secara filosofis, sosiologis dan yuridis.
"Secara filosofis jelas dimaksudkan agar GBHN merupakan bagian dari upaya negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yakni menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera," jelas Gayuus.
Selain itu, lanjut Gayuus, secara sosiologis dimaksudkan untuk memperbaiki dan memberikan solusi terhadap masalah yang ada dalam praktik ketatanegaraan dalam rangka mewujudkan tujuan negara. (Baca juga: Amien Rais: Tidak Ada yang Salah dengan Pancasila dan UUD 1945)
"Sementara dari aspek yuridis perlunya legitimasi dalam bentuk landasan hukum yang kuat, baik dalam UUD 1945 maupun dalam UU yang mengatur secara tersendiri mengenai MPR RI," tutup Gayuus.
(kri)
tulis komentar anda