KPU Diminta Siapkan Langkah Darurat Penyebaran Covid-19 Usai Pencoblosan
Selasa, 24 November 2020 - 09:15 WIB
JAKARTA - Waktu Pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 tinggal 14 hari lagi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 daerah untuk memperhatikan dampak penyebaran virus Sars Cov-II pasca kampanye dan pemungutan suara.
Sejak awal keputusan untuk melanjutkan pilkada, pro dan kontra langsung membanjiri langkah yang diambil pemerintah, KPU, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini. Bagi yang pro, penundaan pilkada akan menyebabkan kekosongan jabatan di daerah. Sedangkan, kelompok yang tidak setuju menilai pelaksanaan pilkada berisiko meningkatkan penularan virus Sars Cov-II. Keputusan ini sudah diambil dan tidak pernah diubah, tapi lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga negara, seperti Komnas HAM, tetap memantau jalannya pilkada di 270 daerah ini. (Baca juga: Mahfud MD Klaim Pelanggaran Protokol Kesehatan Pilkada Hanya 2,2%)
Komisioner Komnas HAM Hairansyah menjabarkan beberapa saran lembaganya setelah melihat fakta di lapangan dan meminta informasi dari sejumlah pihak. Dia meminta penyelenggara pilkada dan pemerintah memperketat penerapan protokol kesehatan. Di lapangan, menurutnya, masih terjadi pengabaian terhadap protokol kesehatan. Itu tentu mengkhawatirkan dan menjadi ancaman nyata bagi peningkatan kasus positif Covid-19. (Baca juga: JPPR Temukan 87 Pelanggaran Protokol Kesehatan Selama Kampanye Pilkada)
“Perlu memaksimalkan upaya pencegahan mengingat karakter dari pandemi yang menyebar melalui kerumunan dalam kegiatan kampanye tatap muka. Jika pun ada tindakan pembubaran atau sanksi pidana, potensi penyebaran Covid-19 tersebut sudah terjadi dan sulit dihindari,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin malam (23/11/2020).
Dalam setiap gelaran pilkada, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi sorotan. Untuk itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) diminta meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan fasilitas negara dan program pemerintah. (Baca juga: Mendagri Minta KPUD Gelar Simulasi Pemungutan Suara Sebelum Pilkada)
Hairansyah menerangkan Bawaslu harus meningkatkan supervisi dan pengawasan terhadap pengawas pilkada di daerah, terutama mengenai pengaduan. Komnas HAM mendorong KPU pusat dan daerah untuk mempersiapkan langkah kedaruratan terkait dampak penyebaran Covid-19 setelah kampanye dan pemungutan. Komnas HAM menjelaskan hak pilih dan dipilih dimungkinkan dilakukan pembatasan dengan alasan demi keselamatan dan kesehatan. Namun, harus tetap dipastikan pemenuhan dan perlindungan hak pilih dan dipilih, serta pemilu yang berjalan bebas dan adil.
Salah satu permasalahan dasar yang belum terselesaikan adalah adanya 2,7 juta pemilih yang belum memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Padahal, KTP-el itu syarat untuk menggunakan hak pilih. “Kementerian Dalam Negeri harus memastikan 2,7 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) memperoleh KTP-el sebelum pemungutan suara,” pungkasnya.
Sejak awal keputusan untuk melanjutkan pilkada, pro dan kontra langsung membanjiri langkah yang diambil pemerintah, KPU, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini. Bagi yang pro, penundaan pilkada akan menyebabkan kekosongan jabatan di daerah. Sedangkan, kelompok yang tidak setuju menilai pelaksanaan pilkada berisiko meningkatkan penularan virus Sars Cov-II. Keputusan ini sudah diambil dan tidak pernah diubah, tapi lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga negara, seperti Komnas HAM, tetap memantau jalannya pilkada di 270 daerah ini. (Baca juga: Mahfud MD Klaim Pelanggaran Protokol Kesehatan Pilkada Hanya 2,2%)
Komisioner Komnas HAM Hairansyah menjabarkan beberapa saran lembaganya setelah melihat fakta di lapangan dan meminta informasi dari sejumlah pihak. Dia meminta penyelenggara pilkada dan pemerintah memperketat penerapan protokol kesehatan. Di lapangan, menurutnya, masih terjadi pengabaian terhadap protokol kesehatan. Itu tentu mengkhawatirkan dan menjadi ancaman nyata bagi peningkatan kasus positif Covid-19. (Baca juga: JPPR Temukan 87 Pelanggaran Protokol Kesehatan Selama Kampanye Pilkada)
“Perlu memaksimalkan upaya pencegahan mengingat karakter dari pandemi yang menyebar melalui kerumunan dalam kegiatan kampanye tatap muka. Jika pun ada tindakan pembubaran atau sanksi pidana, potensi penyebaran Covid-19 tersebut sudah terjadi dan sulit dihindari,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin malam (23/11/2020).
Dalam setiap gelaran pilkada, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi sorotan. Untuk itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) diminta meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan fasilitas negara dan program pemerintah. (Baca juga: Mendagri Minta KPUD Gelar Simulasi Pemungutan Suara Sebelum Pilkada)
Hairansyah menerangkan Bawaslu harus meningkatkan supervisi dan pengawasan terhadap pengawas pilkada di daerah, terutama mengenai pengaduan. Komnas HAM mendorong KPU pusat dan daerah untuk mempersiapkan langkah kedaruratan terkait dampak penyebaran Covid-19 setelah kampanye dan pemungutan. Komnas HAM menjelaskan hak pilih dan dipilih dimungkinkan dilakukan pembatasan dengan alasan demi keselamatan dan kesehatan. Namun, harus tetap dipastikan pemenuhan dan perlindungan hak pilih dan dipilih, serta pemilu yang berjalan bebas dan adil.
Salah satu permasalahan dasar yang belum terselesaikan adalah adanya 2,7 juta pemilih yang belum memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Padahal, KTP-el itu syarat untuk menggunakan hak pilih. “Kementerian Dalam Negeri harus memastikan 2,7 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) memperoleh KTP-el sebelum pemungutan suara,” pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda