Fenomena Rizieq Shihab

Senin, 23 November 2020 - 05:10 WIB
Saat ini publik cenderung menyukai aktor yang dinilai berani hitam putih terhadap penguasa. Bukan seperti politisi yang kadang oposan dan kadang pula kontra pemerintah. PKS dan Demokrat tak terlampau bisa diharapkan sebagai oposisi sejati. Dalam banyak hal dua partai non-pemerintah ini berkompromi dengan kebijakan penuh polemik seperti revisi UU KPK.

Begitu pun dengan civil society dan mahasiswa yang isu politiknya musiman. Stamina politiknya sangat ditentukan hanya oleh isu-isu tertentu yang kadang elitis seperti UU Cipta Karja, UU Minerba. Tapi isu populis seperti kemiskinan dan kesejahteraan nyaris tak pernah disentuh. Protes sesaat setelah itu tenggelam ditelan bumi. Wajar jika akhirnya publik mencari pelarian terhadap sosok yang dinilai lantang ke pemerintah.

Rizieq hadir di tengah gersangnya kelompok yang berani keras mengkritik penguasa. Andai partai politik, mahasiswa, dan gerakan masyarakat sipil konsisten hadir di saat banyak isu krusial, tentunya fenomena Rizieq tak akan besar seperti saat ini. Sejak dulu Rizieq sudah vokal, tetapi penerimaan publik tak sehebat sekarang. Ini hanya soal sosok yang dinilai berani mengisi peran kosong oposan.

Pada saat bersamaan, Rizieq mendapat sambutan meriah dari kelompok Islam tertentu yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. Kelompok Islam ini menafsirkan konsep amar ma’ruf nahi munkar yang lebih tekstual dan rigid. Mereka kerap membuat kavling pemisah dengan pihak yang berbeda mazhab. Tak seperti NU dan Muhammadiyah yang relatif fleksibel, kontekstual, dan toleran.

Maknai Biasa Saja

Di negara demokratis, mestinya memaknai fenomena Rizieq Shihab biasa saja. Tak usah berlebihan. Ia adalah warga negara biasa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lain. Tak lebih dan tak ada yang spesial. Perihal punya banyak pengikut itu perkara lain. Toh, banyak elite agama di negara ini yang pengikutnya lebih banyak, tetapi memilih model perjuangan yang berbeda. Misalnya membina pesantren di pelosok, mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dan memberdayakan ekonomi umat. Membela Islam tak mesti teriak lantang di jalanan. Masih banyak cara lain.

Perlakuan spesial terhadap seseorang karena keturunan (nasab) hanya mungkin terjadi di negara yang menganut sistem politik kerajaan absolut. Ada perlakuan khusus terhadap orang tertentu karena dinilai mewarisi darah biru, ningrat, dan keturunan raja. Tapi fenomena ini tak mungkin terjadi di Indonesia yang memilih demokrasi sebagai sistem politik bernegara. Budaya dan perilaku politik warganya sangat berbeda. Demokrasi bertujuan menghancurkan budaya feodal yang memandang seseorang karena keturunan.

Begitu pun Islam hadir membawa segudang misi kemanusiaan universal menempatkan semua manusia setara. Menghancurkan perilaku jahiliah Arab yang memperlakukan seseorang karena superioritas nasab. Dalam Islam hanya kadar ketakwaan yang membedakan manusia dengan yang lainnya. Bukan keturunan maupun faktor apa pun yang masih mengadopsi tradisi zaman kegelapan.

Pada titik inilah mesti disadari dunia kian modern. Perlakuan istimewa karena faktor keturunan sudah ketinggalan zaman. Sejarah Islam, perjuangan HAM, dan demokrasi memiliki kemiripan serupa, yakni menghilangkan praktik kultus individual yang dalam banyak hal menimbulkan perilaku diskriminatif. Membedakan manusia hanya karena pertalian darah. Satu budaya primitif, jahiliah, dan terbelakang.

Mari bersama membangun masa depan indah tanpa sekat apa pun. Jangan lagi melihat keturunan sebagai faktor determinan dalam pergaulan hidup. Tak perlu menoleh ke belakang yang penuh tradisi kegelapan. Bangsa ini sudah maju berjalan jauh menerabas semak belukar ketidakadilan. Berhasil membuang jauh perasaan superior atas nama suku, keturunan, budaya, dan agama.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More