Soal Sanksi Pemberhentian Kepala Daerah, Kemendagri: Sesuai Prosedur dan Tidak Serta Merta
Minggu, 22 November 2020 - 16:09 WIB
JAKARTA - Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri ( Kemendagri ), Syafrizal menegaskan bahwa Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran COVID-19 berfungsi sebagai pengingat bagi kepala daerah. Hal ini dilakukan agar jangan sampai terjadi lagi kerumunan massa seperti di DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
“Lebih baik mencegah sebelum kumpulan atau kerumunan daripada sudah berkumpul lalu dibubarkan. Ekses akan menjadi lebih besar. Bisa jadi terjadi konflik sosial dan penularan juga terjadi. Oleh karenanya surat ini adalah semacam remind agar tetap menjalani dan mengusahakan kedisiplinan protokol kesehatan,” ujarnya dalam keterangannya, Minggu (22/11/2020). (Baca juga:Kemendagri Sebut Kerumunan Massa Akhir-Akhir Ini Mengkhawatirkan)
Terkait dengan sanksi pemberhentian kepala daerah dalam instruksi itu, dia mengatakan bahwa tidak ada hal baru. Menurut penjatuhan sanksi pun juga tidak seenaknya. Pasalnya semua harus tetap sesuai prosedur yang berlaku.
“Semua sesuai prosedur. Tidak serta merta. Semua peraturan kan ada sanksinya. Tidak ada yang baru. Yang jelas kita semua terancam covid kalau kerumunan dibiarkan,” jelasnya.
Pemberhentian kepala daerah sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) bisa diusulkan oleh DPRD provinsi/kabupaten/Kota maupun langsung oleh pemerintah pusat. Dimana pada pasal 81 UU Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat memberhentikan kepala daerah jika DPRD tidak mengusulkan pemberhentian.
Pemerintah Pusat memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang:
a. Melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah
b. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b
c. Tmelanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; dan/atau d. melakukan perbuatan tercela
“Lebih baik mencegah sebelum kumpulan atau kerumunan daripada sudah berkumpul lalu dibubarkan. Ekses akan menjadi lebih besar. Bisa jadi terjadi konflik sosial dan penularan juga terjadi. Oleh karenanya surat ini adalah semacam remind agar tetap menjalani dan mengusahakan kedisiplinan protokol kesehatan,” ujarnya dalam keterangannya, Minggu (22/11/2020). (Baca juga:Kemendagri Sebut Kerumunan Massa Akhir-Akhir Ini Mengkhawatirkan)
Terkait dengan sanksi pemberhentian kepala daerah dalam instruksi itu, dia mengatakan bahwa tidak ada hal baru. Menurut penjatuhan sanksi pun juga tidak seenaknya. Pasalnya semua harus tetap sesuai prosedur yang berlaku.
“Semua sesuai prosedur. Tidak serta merta. Semua peraturan kan ada sanksinya. Tidak ada yang baru. Yang jelas kita semua terancam covid kalau kerumunan dibiarkan,” jelasnya.
Pemberhentian kepala daerah sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) bisa diusulkan oleh DPRD provinsi/kabupaten/Kota maupun langsung oleh pemerintah pusat. Dimana pada pasal 81 UU Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat memberhentikan kepala daerah jika DPRD tidak mengusulkan pemberhentian.
Pemerintah Pusat memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang:
a. Melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah
b. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b
c. Tmelanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; dan/atau d. melakukan perbuatan tercela
tulis komentar anda