Pengangguran dan Informalisasi Ekonomi
Senin, 16 November 2020 - 05:20 WIB
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Ekonom Senior Indef
EKONOMI Indonesia masih akan melalui jalan terjal. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 November 2020 telah mengumumkan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 minus 3,49% secara tahunan (yoy). Tapi ini lebih baik dibandingkan triwulan II 2020, saat pertumbuhan ekonomi minus 5,32% (yoy). Jika tidak ada kejadian yang luar biasa, masa paling berat memang telah terlewati. Pada triwulan berikutnya (Oktober–Desember 2020) diperkirakan ekonomi akan semakin baik.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dari sisi lapangan usaha terdapat harapan yang lebih bagus karena sektor industri, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan tumbuh mengesankan. Sektor industri tumbuh 5,25%; perdagangan 5,68%; konstruksi 5,72%; sedangkan pertanian dan pertambangan tumbuh agak rendah (masing-masing 1,01% dan 1,72%, q-to-q). Lima sektor ini menyumbang 64,13% terhadap PDB. Sektor lain yang tumbuh bagus adalah akomodasi dan makan minum, jasa perusahaan, jasa kesehatan, serta pengadaan listrik dan gas.
Pertumbuhan ekonomi sisi pengeluaran juga positif sehingga menandakan ekonomi mulai bergerak. Konsumsi rumah tangga telah keluar dari belitan masalah yang hebat sebab pada triwulan II-2020 tumbuh -6,53%, sedangkan pada triwulan III-2020 tumbuh 4,70%. PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto), ekspor, dan konsumsi pemerintah juga tumbuh bagus (masing-masing 8,45%; 12,14%; dan 16,93%; q-to-q). Pertumbuhan yang negatif hanya terjadi pada impor dan LNPRT (lembaga non-profit yang melayani rumah tangga). Perlu dipahami, konsumsi rumah tangga dan investasi selama ini menyumbang 88,43% terhadap PDB.
Sungguh pun begitu, pemerintah masih harus bekerja keras karena kinerja ekonomi ini masih jauh dari normal bila dibandingkan dengan data tahun sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga, PMTB, ekspor, konsumsi LPNRT, dan impor seluruhnya negatif pada triwulan III 2020 (yoy). Pertumbuhan positif hanya terjadi pada konsumsi pemerintah. Jadi, jalan masih jauh dari terang.
Sodokan ekonomi terbesar justru datang dari sisi ketenagakerjaan. Pada Agustus 2020 pengangguran melonjak menjadi 9,77 juta orang (7,07%) dibandingkan dengan 7,10 juta orang (5,23%) pada Agustus 2019. Artinya, hanya dalam tempo enam bulan pandemi menyebabkan pertambahan pengangguran sebanyak 2,6 juta orang. Jika dirinci lebih detail, pengangguran di perkotaan naik 2,7% dan di perdesaan naik 0,8%. Jadi, tekanan ekonomi lebih banyak terjadi di perkotaan sehingga jumlah pengangguran di kota meningkat pesat. Salah satu akibat dari pandemi ialah peningkatan pekerja di sektor informal. Pada Agustus 2019 jumlah pekerja informal 55,88% dan formal 44,12%; sedangkan pada Agustus 2020 pekerja informal meningkat menjadi 60,47% dan pekerja formal tinggal 39,53%. Pandemi menyebabkan peningkatan “informalisasi ekonomi”. Persoalan informalisasi ekonomi ini serius karena level kesejahteraan pekerja menjadi menurun dan meningkatkan potensi pertambahan jumlah penduduk miskin.
Situasi ketenagakerjaan ini seperti mundur 10 tahun ke belakang, ketika tingkat pengangguran sekitar level tersebut (7,15% pada Agustus 2010). Pemerintah telah berjuang selama puluhan tahun, khususnya sejak krisis 1998, mengurangi pengangguran/kemiskinan dan pekerja informal. Tahun demi tahun ikhtiar itu dikerjakan dengan serius, namun pandemi meluluhlantakkan seluruh capaian yang telah susah payah diusahakan. Bahkan, satu bulan pandemi sudah menaikkan angka kemiskinan 0,5% (menjadi 9,6% pada Maret 2020). Pada September 2020 ini hampir pasti persentase kemiskinan melonjak di atas 10% (BPS akan merilis data ini pada Desember 2020 atau Januari 2021). Pada 2019 untuk pertama kalinya angka kemiskinan di bawah 10%, sebuah prestasi yang diperoleh atas kerja sama banyak rezim pemerintahan. Jika pada Maret 2021 kemiskinan mencapai sekitar 12%, maka situasinya akan sama dengan pengangguran: pembangunan mundur 10 tahun. Pada 2011 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan sebesar 12,3%.
Kecemasan yang sama bisa dirasakan pada isu informalisasi ekonomi. Pada Agustus 2011 persentase pekerja informal mencapai 62,1%, sehingga jumlah pekerja formal hanya 37,9%. Situasi pada Februari dan Agustus 2021 nanti (ketika data pekerja dikeluarkan) kurang lebih juga akan sama, sehingga ini menjadi rintangan serius bagi pemerintah untuk merealisasikan gagasan transformasi ekonomi. Sektor informal dicirikan dengan ketiadaan badan hukum usaha, modal terbatas, ketidakpastian (kerap digusur), nilai tambah kecil, dan keterampilan rendah. Bagi negara yang dibebani dengan persentase sektor informal yang besar, tentu akan sukar menggenjot kesejahteraan yang bertumpu kepada aktivitas ekonomi yang bernilai tambah (yang umumnya ada di sektor formal). Padahal pemerintah sejak lima tahun terakhir berjuang agar transformasi ekonomi bisa disusun dengan solid, antara lain dengan jalan pembangunan infrastruktur dan kualitas manusia. Pandemi telah melantakkan beberapa bagian dari rencana tersebut karena meledaknya pekerja informal.
Sungguh pun begitu, tidak seluruhnya hanya kisah kegelapan. Tetap terbit cahaya yang memantulkan harapan. Sekurangnya terdapat dua opsi yang tersedia. Pertama, investasi tetap menjadi tulang punggung pemecahan masalah. Data yang tersedia menunjukkan tekanan investasi tertinggi sudah dilalui. Pada triwulan II-2020 PMTB mengalami kontraksi yang dalam (-8,61%, yoy), sedangkan pada triwulan III-2020 masih kontraksi sebesar -6,48% (BPS, 2020). Triwulan III 2020 memang masih tumbuh negatif, namun dengan tekanan yang lebih kecil. Pada triwulan terakhir 2020 diharapkan PMTB sudah bergerak positif, sekurangnya jika tetap kontraksi di bawah -3%. Pemerintah, khususnya melalui BKPM, mesti bekerja keras membangkitkan kembali investasi yang banyak menyerap lapangan kerja, misalnya di sektor industri pengolahan (makanan dan minuman, tekstil, alas kaki, kulit, dan lain-lain) dan perdagangan. Selama tiga tahun ke depan orientasi investasi yang pada tenaga kerja menjadi keniscayaan.
Kedua, salah satu sektor ekonomi yang pertumbuhannya tetap positif (bahkan pada triwulan II 2020) adalah pertanian. Sektor ini dalam lintasan sejarah telah membuktikan berkali-kali sebagai penyelamat ekonomi ketika krisis terjadi. Sampai sekarang sektor pertanian menyerap tenaga kerja sekitar 27,5% dan kontribusinya terhadap PDB pada kisaran 13,5%. Jika dilacak data pengangguran (seperti yang telah ditulis di muka) sebagian besar di perkotaan, termasuk pekerja di sektor informal. Pada titik ini pembangunan sektor pertanian menjadi sangat relevan karena bisa menarik pekerja informal dan pengangguran yang ada di perkotaan. Syarat pokoknya, program RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial) mesti dipercepat eksekusinya agar terdapat intensif bagi para pekerja kembali ke desa. Jika langkah ini digandengkan dengan pembangunan sektor industri, maka transformasi ekonomi berbasis pertanian menjadi harapan yang membentang.
Tiap cita-cita memang tak mudah diwujudkan, namun sekurangnya hidup masih bisa diperjuangkan karena adanya harapan.
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Ekonom Senior Indef
EKONOMI Indonesia masih akan melalui jalan terjal. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 November 2020 telah mengumumkan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 minus 3,49% secara tahunan (yoy). Tapi ini lebih baik dibandingkan triwulan II 2020, saat pertumbuhan ekonomi minus 5,32% (yoy). Jika tidak ada kejadian yang luar biasa, masa paling berat memang telah terlewati. Pada triwulan berikutnya (Oktober–Desember 2020) diperkirakan ekonomi akan semakin baik.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dari sisi lapangan usaha terdapat harapan yang lebih bagus karena sektor industri, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan tumbuh mengesankan. Sektor industri tumbuh 5,25%; perdagangan 5,68%; konstruksi 5,72%; sedangkan pertanian dan pertambangan tumbuh agak rendah (masing-masing 1,01% dan 1,72%, q-to-q). Lima sektor ini menyumbang 64,13% terhadap PDB. Sektor lain yang tumbuh bagus adalah akomodasi dan makan minum, jasa perusahaan, jasa kesehatan, serta pengadaan listrik dan gas.
Pertumbuhan ekonomi sisi pengeluaran juga positif sehingga menandakan ekonomi mulai bergerak. Konsumsi rumah tangga telah keluar dari belitan masalah yang hebat sebab pada triwulan II-2020 tumbuh -6,53%, sedangkan pada triwulan III-2020 tumbuh 4,70%. PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto), ekspor, dan konsumsi pemerintah juga tumbuh bagus (masing-masing 8,45%; 12,14%; dan 16,93%; q-to-q). Pertumbuhan yang negatif hanya terjadi pada impor dan LNPRT (lembaga non-profit yang melayani rumah tangga). Perlu dipahami, konsumsi rumah tangga dan investasi selama ini menyumbang 88,43% terhadap PDB.
Sungguh pun begitu, pemerintah masih harus bekerja keras karena kinerja ekonomi ini masih jauh dari normal bila dibandingkan dengan data tahun sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga, PMTB, ekspor, konsumsi LPNRT, dan impor seluruhnya negatif pada triwulan III 2020 (yoy). Pertumbuhan positif hanya terjadi pada konsumsi pemerintah. Jadi, jalan masih jauh dari terang.
Sodokan ekonomi terbesar justru datang dari sisi ketenagakerjaan. Pada Agustus 2020 pengangguran melonjak menjadi 9,77 juta orang (7,07%) dibandingkan dengan 7,10 juta orang (5,23%) pada Agustus 2019. Artinya, hanya dalam tempo enam bulan pandemi menyebabkan pertambahan pengangguran sebanyak 2,6 juta orang. Jika dirinci lebih detail, pengangguran di perkotaan naik 2,7% dan di perdesaan naik 0,8%. Jadi, tekanan ekonomi lebih banyak terjadi di perkotaan sehingga jumlah pengangguran di kota meningkat pesat. Salah satu akibat dari pandemi ialah peningkatan pekerja di sektor informal. Pada Agustus 2019 jumlah pekerja informal 55,88% dan formal 44,12%; sedangkan pada Agustus 2020 pekerja informal meningkat menjadi 60,47% dan pekerja formal tinggal 39,53%. Pandemi menyebabkan peningkatan “informalisasi ekonomi”. Persoalan informalisasi ekonomi ini serius karena level kesejahteraan pekerja menjadi menurun dan meningkatkan potensi pertambahan jumlah penduduk miskin.
Situasi ketenagakerjaan ini seperti mundur 10 tahun ke belakang, ketika tingkat pengangguran sekitar level tersebut (7,15% pada Agustus 2010). Pemerintah telah berjuang selama puluhan tahun, khususnya sejak krisis 1998, mengurangi pengangguran/kemiskinan dan pekerja informal. Tahun demi tahun ikhtiar itu dikerjakan dengan serius, namun pandemi meluluhlantakkan seluruh capaian yang telah susah payah diusahakan. Bahkan, satu bulan pandemi sudah menaikkan angka kemiskinan 0,5% (menjadi 9,6% pada Maret 2020). Pada September 2020 ini hampir pasti persentase kemiskinan melonjak di atas 10% (BPS akan merilis data ini pada Desember 2020 atau Januari 2021). Pada 2019 untuk pertama kalinya angka kemiskinan di bawah 10%, sebuah prestasi yang diperoleh atas kerja sama banyak rezim pemerintahan. Jika pada Maret 2021 kemiskinan mencapai sekitar 12%, maka situasinya akan sama dengan pengangguran: pembangunan mundur 10 tahun. Pada 2011 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan sebesar 12,3%.
Kecemasan yang sama bisa dirasakan pada isu informalisasi ekonomi. Pada Agustus 2011 persentase pekerja informal mencapai 62,1%, sehingga jumlah pekerja formal hanya 37,9%. Situasi pada Februari dan Agustus 2021 nanti (ketika data pekerja dikeluarkan) kurang lebih juga akan sama, sehingga ini menjadi rintangan serius bagi pemerintah untuk merealisasikan gagasan transformasi ekonomi. Sektor informal dicirikan dengan ketiadaan badan hukum usaha, modal terbatas, ketidakpastian (kerap digusur), nilai tambah kecil, dan keterampilan rendah. Bagi negara yang dibebani dengan persentase sektor informal yang besar, tentu akan sukar menggenjot kesejahteraan yang bertumpu kepada aktivitas ekonomi yang bernilai tambah (yang umumnya ada di sektor formal). Padahal pemerintah sejak lima tahun terakhir berjuang agar transformasi ekonomi bisa disusun dengan solid, antara lain dengan jalan pembangunan infrastruktur dan kualitas manusia. Pandemi telah melantakkan beberapa bagian dari rencana tersebut karena meledaknya pekerja informal.
Sungguh pun begitu, tidak seluruhnya hanya kisah kegelapan. Tetap terbit cahaya yang memantulkan harapan. Sekurangnya terdapat dua opsi yang tersedia. Pertama, investasi tetap menjadi tulang punggung pemecahan masalah. Data yang tersedia menunjukkan tekanan investasi tertinggi sudah dilalui. Pada triwulan II-2020 PMTB mengalami kontraksi yang dalam (-8,61%, yoy), sedangkan pada triwulan III-2020 masih kontraksi sebesar -6,48% (BPS, 2020). Triwulan III 2020 memang masih tumbuh negatif, namun dengan tekanan yang lebih kecil. Pada triwulan terakhir 2020 diharapkan PMTB sudah bergerak positif, sekurangnya jika tetap kontraksi di bawah -3%. Pemerintah, khususnya melalui BKPM, mesti bekerja keras membangkitkan kembali investasi yang banyak menyerap lapangan kerja, misalnya di sektor industri pengolahan (makanan dan minuman, tekstil, alas kaki, kulit, dan lain-lain) dan perdagangan. Selama tiga tahun ke depan orientasi investasi yang pada tenaga kerja menjadi keniscayaan.
Kedua, salah satu sektor ekonomi yang pertumbuhannya tetap positif (bahkan pada triwulan II 2020) adalah pertanian. Sektor ini dalam lintasan sejarah telah membuktikan berkali-kali sebagai penyelamat ekonomi ketika krisis terjadi. Sampai sekarang sektor pertanian menyerap tenaga kerja sekitar 27,5% dan kontribusinya terhadap PDB pada kisaran 13,5%. Jika dilacak data pengangguran (seperti yang telah ditulis di muka) sebagian besar di perkotaan, termasuk pekerja di sektor informal. Pada titik ini pembangunan sektor pertanian menjadi sangat relevan karena bisa menarik pekerja informal dan pengangguran yang ada di perkotaan. Syarat pokoknya, program RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial) mesti dipercepat eksekusinya agar terdapat intensif bagi para pekerja kembali ke desa. Jika langkah ini digandengkan dengan pembangunan sektor industri, maka transformasi ekonomi berbasis pertanian menjadi harapan yang membentang.
Tiap cita-cita memang tak mudah diwujudkan, namun sekurangnya hidup masih bisa diperjuangkan karena adanya harapan.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda