Cegah Hoaks, Media Massa Diminta Hati-Hati Sajikan Berita
Jum'at, 13 November 2020 - 19:33 WIB
JAKARTA - Maraknya sebaran berita bohong atau hoaks menjadi masalah yang belum tertangani dengan baik. Apalagi, bila berita tersebut juga ikut disebarkan melalui media massa , khususnya media daring (online).
Redaktur Pelaksana Okezone Amril Amarullah menyadari media online berlomba untuk menyajikan berita secara cepat untuk menarik pembaca. Jika telat memberitakan dalam beberapa menit, maka informasi yang disajikan kemungkinan basi dan kalah dengan media lainnya.
Namun tidak dimungkiri, hal itu dapat menjadi titik kelemahan karena tuntutan kecepatan sehingga berpotensi menyajikan berita yang tidak obyektif dan sesuai fakta yang benar. Terkadang media massa abai hingga akhirnya mencabut atau merevisi berita yang disajikan.
“Ini yang bahaya. Ketika berita itu sudah tayang, dampaknya luas sekali. Kalau sudah terjadi, kita harus recall lagi,” jelas Amril dalam diskusi bertajuk Waspada Hoaks Selama Pandemi, Jumat (13/11/2020).
(Baca: Kriminolog: Hoaks Masuk Kategori Kejahatan karena Timbulkan Dampak Buruk)
Kendati dituntut harus cepat dalam penyajian informasi, Amril menegaskan pentingnya jurnalis dan media massa melakukan verifikasi atau cross check terhadap berita sebelum dibagikan kepada publik. Hal itu merupakan bagian dari prinsip media massa yang mengedepankan dari sudut pandang dua sisi (cover both sides).
Bila sudah terjadi, maka media massa harus berani melakukan ralat atau mencabut berita yang ditampilkan dan memberikan penjelasan sesuai fakta yang ada. Hal ini dapat memengaruhi terhadap kepercayaan masyarakat terhadap media massa.
(Baca: Media Massa Harus Menjadi Penjernih di Tengah Banjir Informasi COVID-19)
“Seringnya media me-recall berita, melakukan perubahan-perubahan, masyarakat akhirnya akan beralih ke media sosial. Karena mereka berpikir apa bedanya dengan media sosial kalau harus me-recall ulang,” ujarnya.
Amril menambahkan, setiap media massa punya prosedur masing-masing untuk menurunkan atau mencabut beritanya yang dinilai tidak benar. Menurut dia, pencabutan sebuah berita tidak bisa dilakukan secara cepat, terkecuali jika sudah mengancam atau isunya sangat sensitif seperti agama.
“Kalau yang sifatnya anak-anak, wanita, agama, agak sensitif membahayakan umat atau masyarakat, bisa kita take down. Namun dengan catatan pertimbangan, sudah mendapatkan izin dari direktur pemberitaan kita,” terang dia.
Dalam mencabut sebuah berita, pihaknya tetap mengacu pada aturan dari Dewan Pers dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Lihat Juga: Pemerintah Minta Perusahaan Platform Digital Realisasikan Kesepakatan Kerja dengan Media
Redaktur Pelaksana Okezone Amril Amarullah menyadari media online berlomba untuk menyajikan berita secara cepat untuk menarik pembaca. Jika telat memberitakan dalam beberapa menit, maka informasi yang disajikan kemungkinan basi dan kalah dengan media lainnya.
Namun tidak dimungkiri, hal itu dapat menjadi titik kelemahan karena tuntutan kecepatan sehingga berpotensi menyajikan berita yang tidak obyektif dan sesuai fakta yang benar. Terkadang media massa abai hingga akhirnya mencabut atau merevisi berita yang disajikan.
“Ini yang bahaya. Ketika berita itu sudah tayang, dampaknya luas sekali. Kalau sudah terjadi, kita harus recall lagi,” jelas Amril dalam diskusi bertajuk Waspada Hoaks Selama Pandemi, Jumat (13/11/2020).
(Baca: Kriminolog: Hoaks Masuk Kategori Kejahatan karena Timbulkan Dampak Buruk)
Kendati dituntut harus cepat dalam penyajian informasi, Amril menegaskan pentingnya jurnalis dan media massa melakukan verifikasi atau cross check terhadap berita sebelum dibagikan kepada publik. Hal itu merupakan bagian dari prinsip media massa yang mengedepankan dari sudut pandang dua sisi (cover both sides).
Bila sudah terjadi, maka media massa harus berani melakukan ralat atau mencabut berita yang ditampilkan dan memberikan penjelasan sesuai fakta yang ada. Hal ini dapat memengaruhi terhadap kepercayaan masyarakat terhadap media massa.
(Baca: Media Massa Harus Menjadi Penjernih di Tengah Banjir Informasi COVID-19)
“Seringnya media me-recall berita, melakukan perubahan-perubahan, masyarakat akhirnya akan beralih ke media sosial. Karena mereka berpikir apa bedanya dengan media sosial kalau harus me-recall ulang,” ujarnya.
Amril menambahkan, setiap media massa punya prosedur masing-masing untuk menurunkan atau mencabut beritanya yang dinilai tidak benar. Menurut dia, pencabutan sebuah berita tidak bisa dilakukan secara cepat, terkecuali jika sudah mengancam atau isunya sangat sensitif seperti agama.
“Kalau yang sifatnya anak-anak, wanita, agama, agak sensitif membahayakan umat atau masyarakat, bisa kita take down. Namun dengan catatan pertimbangan, sudah mendapatkan izin dari direktur pemberitaan kita,” terang dia.
Dalam mencabut sebuah berita, pihaknya tetap mengacu pada aturan dari Dewan Pers dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Lihat Juga: Pemerintah Minta Perusahaan Platform Digital Realisasikan Kesepakatan Kerja dengan Media
(muh)
tulis komentar anda