Evita Dukung Upaya Konsorsium Riset dan Inovasi Produksi Alkes Corona
Sabtu, 09 Mei 2020 - 17:36 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty, mendukung upaya yang dilakukan Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 dalam menghasilkan produk untuk penanggulangan wabah Corona. (Baca juga: Update Kasus Corona 9 Mei 2020: 13.645 Positif, 2.607 Sembuh, dan 959 Meninggal)
Selain aspek percepatan izin dan kualitas, Evita meminta agar konsorsium pasca Covid-19 bisa menjawab tantangan kemandirian bangsa, baik dalam bidang kesehatan, pangan, energi dan lainnya. ”Ada sejumlah produk yang saat ini sedang tahap uji hingga yang siap diproduksi, yaitu terkait test kit, alkes ventilator, laboratorium bergerak BSL2, respirator hingga APD, suplemen, vaksin, obat dan terapi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (9/5/2020).
Evita sepakat bahwa jangka pendek perlu didorong percepatan proses sertifikasi, uji klinis, izin produksi dan izin edarnya, namun dengan tetap memerhatikan juga sisi kualitasnya dan kepastian pengadaannya. Apabila waktunya tidak memungkinkan untuk diproduksi sekarang, Evita menyerukan para periset dan inovator agar jangan berhenti berinovasi.
”Mari kita pikirkan juga jangka menengah dan panjang, bagaimana konsorsium seperti ini kita pertahankan untuk menjawab kemandirian kita sebagai bangsa mulai dari kesehatan, pangan, energi dan lainnya,” ucapnya.
Menurut Evita, peristiwa COVID-19 menjadi titik awal bagi Indonesia untuk melakukan perbaikan besar-besaran di berbagai bidang yang selama ini sangat tergantung dari impor. ”Sebagai contoh untuk produk terkait kesehatan, potensi ekonominya juga sangat besar termasuk ekspor,” kata Evita.
Begitu juga untuk produk farmasi, kata Evita, BUMN dan swasta Indonesia bisa menguasai 27% pasar ASEAN. Hal ini tinggal dikembangkan, bahan baku bisa lebih mandiri dan membangun obat atau herbal asli indonesia. Apalagi trend global kian berubah dari kimia ke bio.
“Alkes dan obat kita 90% bahan baku impor, saat pandemi kita sulitnya bukan main. Kita juga impor pangan dan bibit pangan mulai gandum, kedelai, bawang putih dan lainnya. Padahal kedelai Grobogan itu lebih bagus. Ini impor-impor terus. Kita butuh riset dan inovasi. Periset dan inovator harus berjalan bersama dengan industri dan BUMN. Ini momentum Anda semua. ayo kolaborasi,” katanya.
Pada bagian lain, Evita Nursanty juga mendukung seandainya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuat regulasi baru untuk menjadi dasar hukum bagi pengujian produk kesehatan dalam masa darurat. ”Sehingga dia punya dasar, dan ini semata mengejar pemenuhan kebutuhan yang mendesak belum tahap industrialisasi,” katanya.
Evita kembali mengingatkan, karena ini produk kesehatan yang berkait nyawa manusia maka harus sangat hati-hati. Kualitasnya harus juga menjadi bahan pertimbangan.
Selain aspek percepatan izin dan kualitas, Evita meminta agar konsorsium pasca Covid-19 bisa menjawab tantangan kemandirian bangsa, baik dalam bidang kesehatan, pangan, energi dan lainnya. ”Ada sejumlah produk yang saat ini sedang tahap uji hingga yang siap diproduksi, yaitu terkait test kit, alkes ventilator, laboratorium bergerak BSL2, respirator hingga APD, suplemen, vaksin, obat dan terapi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (9/5/2020).
Evita sepakat bahwa jangka pendek perlu didorong percepatan proses sertifikasi, uji klinis, izin produksi dan izin edarnya, namun dengan tetap memerhatikan juga sisi kualitasnya dan kepastian pengadaannya. Apabila waktunya tidak memungkinkan untuk diproduksi sekarang, Evita menyerukan para periset dan inovator agar jangan berhenti berinovasi.
”Mari kita pikirkan juga jangka menengah dan panjang, bagaimana konsorsium seperti ini kita pertahankan untuk menjawab kemandirian kita sebagai bangsa mulai dari kesehatan, pangan, energi dan lainnya,” ucapnya.
Menurut Evita, peristiwa COVID-19 menjadi titik awal bagi Indonesia untuk melakukan perbaikan besar-besaran di berbagai bidang yang selama ini sangat tergantung dari impor. ”Sebagai contoh untuk produk terkait kesehatan, potensi ekonominya juga sangat besar termasuk ekspor,” kata Evita.
Begitu juga untuk produk farmasi, kata Evita, BUMN dan swasta Indonesia bisa menguasai 27% pasar ASEAN. Hal ini tinggal dikembangkan, bahan baku bisa lebih mandiri dan membangun obat atau herbal asli indonesia. Apalagi trend global kian berubah dari kimia ke bio.
“Alkes dan obat kita 90% bahan baku impor, saat pandemi kita sulitnya bukan main. Kita juga impor pangan dan bibit pangan mulai gandum, kedelai, bawang putih dan lainnya. Padahal kedelai Grobogan itu lebih bagus. Ini impor-impor terus. Kita butuh riset dan inovasi. Periset dan inovator harus berjalan bersama dengan industri dan BUMN. Ini momentum Anda semua. ayo kolaborasi,” katanya.
Pada bagian lain, Evita Nursanty juga mendukung seandainya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuat regulasi baru untuk menjadi dasar hukum bagi pengujian produk kesehatan dalam masa darurat. ”Sehingga dia punya dasar, dan ini semata mengejar pemenuhan kebutuhan yang mendesak belum tahap industrialisasi,” katanya.
Evita kembali mengingatkan, karena ini produk kesehatan yang berkait nyawa manusia maka harus sangat hati-hati. Kualitasnya harus juga menjadi bahan pertimbangan.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda