Sanksi Tak Pernah Tegas, Netralitas ASN di Pilkada Hanya Tulisan di Atas Kertas
Senin, 02 November 2020 - 17:04 WIB
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegur Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bersama 66 kepala daerah lain. Gara-garanya, mereka tidak memberikan sanksi kepada pegawai negeri yang melanggar asas netralitas ASN dalam Pilkada 2020 sebagaimana rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, netralitas ASN selama ini hanya di atas kertas. Faktanya, ASN mulai eselon II, sekda, kepala dinas, maupun di bawahnya di kabupaten/kota, termasuk di tingkat provinsi Pejabat Eselon I seperti Sekda dan lainnya, bermain di wilayah politis bagi mereka sudah biasa.
"Walaupun aturan netralitas itu sangat keras dalam UU dan pengawasan dalam hal netralitas itu sudah banyak, tapi fakta dan bukti mengatakan kepala daerah itu mereka di belakang layar menjadi tim sukses bayangan, tidak struktural," ujar Ujang, Senin (2/11/2020).
(Baca: 67 Kepala Daerah Kena Tegur soal Pilkada 2020, Salah Satunya Wali Kota Risma)
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, sikap dukung mendukung para kepala daerah dan ASN karena ada jasa dari para kepala daerah terhadap birokrasi. "Kedua, masa depan mereka yang sekarang punya jabatan di birokrasi itu kan tergantung politik, tergantung mereka yang terpilih juga dari calon bupati atau wali kota itu. Oleh karena itu, pihak memihak itu menjadi "keharusan dan keniscayaan' bagi mereka, tapi bermain di belakang layar," tuturnya.
Dikatakan Ujang, walaupun aturannya tidak boleh, mereka akan tetap bermain karena terkait dengan masa depan politik mereka. Mengenai teguran dari Kemendagri, menurut Ujang, teguran tidak berguna dan tidak bermanfaat. "Bila perlu aturannya dinaikkan lagi, ketat saja. PNS kan memang ada aturan pertama teguran dan seterusnya, tapi kalau hanya teguran, itu tidak akan manfaat," paparnya.
(Baca: Putra Risma Total Dukung Eri-Armudji: Ini Arahan Ibu)
Sebagai akademisi sekaligus praktisi, Ujang mengaku banyak bergaul dengan para bupati atau wali kota yang menjadi petahana dalam pilkada. Mereka umumnya menggunakan peran kepala dinas, lurah, camat untuk berkampanye di belakang layar sebagai tim sukses bayangan. "Itu dilakukan semua kepala daerah, dan itu bukan rahasia umum lagi. Jadi kalau sanksinya hanya teguran, mereka akan tutup mata saja. Mereka tidak akan mengindahkan," katanya.
Menurut Ujang, seharusnya KPU lewat PKPU membuat aturan mendiskualifikasi calon kepala daerah yang melibatkan ASN dalam proses pemenangan. "Tapi persoalannya kalau levelnya KPU, itu kan lemah, harusnya aturannya dalam UU saja. Nah netralitas ASN itu aturannya harusnya di UU. Kalau UU lebih enak. Para penyelenggara pemilu, KPU Bawaslu tinggal mengeksekusi," tuturnya.
Ujang menilai sanksi yang tidak tegas selama ini juga menjadi celah bagi mereka untuk bermain. "Di indonesia itu hukumnya bisa dimainkan, tebang pilih sehingga mereka bisa menyiasati aturan itu. Seharusnya netral tapi tidak netral karena hukumnya tidak tegas dan bisa dimainkan, bisa diatur, ini yang berbahaya," pungkasnya.
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, netralitas ASN selama ini hanya di atas kertas. Faktanya, ASN mulai eselon II, sekda, kepala dinas, maupun di bawahnya di kabupaten/kota, termasuk di tingkat provinsi Pejabat Eselon I seperti Sekda dan lainnya, bermain di wilayah politis bagi mereka sudah biasa.
"Walaupun aturan netralitas itu sangat keras dalam UU dan pengawasan dalam hal netralitas itu sudah banyak, tapi fakta dan bukti mengatakan kepala daerah itu mereka di belakang layar menjadi tim sukses bayangan, tidak struktural," ujar Ujang, Senin (2/11/2020).
(Baca: 67 Kepala Daerah Kena Tegur soal Pilkada 2020, Salah Satunya Wali Kota Risma)
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini, sikap dukung mendukung para kepala daerah dan ASN karena ada jasa dari para kepala daerah terhadap birokrasi. "Kedua, masa depan mereka yang sekarang punya jabatan di birokrasi itu kan tergantung politik, tergantung mereka yang terpilih juga dari calon bupati atau wali kota itu. Oleh karena itu, pihak memihak itu menjadi "keharusan dan keniscayaan' bagi mereka, tapi bermain di belakang layar," tuturnya.
Dikatakan Ujang, walaupun aturannya tidak boleh, mereka akan tetap bermain karena terkait dengan masa depan politik mereka. Mengenai teguran dari Kemendagri, menurut Ujang, teguran tidak berguna dan tidak bermanfaat. "Bila perlu aturannya dinaikkan lagi, ketat saja. PNS kan memang ada aturan pertama teguran dan seterusnya, tapi kalau hanya teguran, itu tidak akan manfaat," paparnya.
(Baca: Putra Risma Total Dukung Eri-Armudji: Ini Arahan Ibu)
Sebagai akademisi sekaligus praktisi, Ujang mengaku banyak bergaul dengan para bupati atau wali kota yang menjadi petahana dalam pilkada. Mereka umumnya menggunakan peran kepala dinas, lurah, camat untuk berkampanye di belakang layar sebagai tim sukses bayangan. "Itu dilakukan semua kepala daerah, dan itu bukan rahasia umum lagi. Jadi kalau sanksinya hanya teguran, mereka akan tutup mata saja. Mereka tidak akan mengindahkan," katanya.
Menurut Ujang, seharusnya KPU lewat PKPU membuat aturan mendiskualifikasi calon kepala daerah yang melibatkan ASN dalam proses pemenangan. "Tapi persoalannya kalau levelnya KPU, itu kan lemah, harusnya aturannya dalam UU saja. Nah netralitas ASN itu aturannya harusnya di UU. Kalau UU lebih enak. Para penyelenggara pemilu, KPU Bawaslu tinggal mengeksekusi," tuturnya.
Ujang menilai sanksi yang tidak tegas selama ini juga menjadi celah bagi mereka untuk bermain. "Di indonesia itu hukumnya bisa dimainkan, tebang pilih sehingga mereka bisa menyiasati aturan itu. Seharusnya netral tapi tidak netral karena hukumnya tidak tegas dan bisa dimainkan, bisa diatur, ini yang berbahaya," pungkasnya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda