Survei Y-Publica: Wacana Jabatan Presiden 7-8 Tahun 1 Periode Tuai Dukungan Publik
Rabu, 28 Oktober 2020 - 13:14 WIB
JAKARTA - Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah membatasi masa jabatan presiden menjadi hanya dua periode berturut-turut. Terlalu lamanya Soeharto berkuasa menghasilkan pemerintahan yang otoriter dan dinilai tidak demokratis.
Setelah melalui masa transisi, pemerintahan pasca Reformasi telah dua kali dipimpin presiden yang terpilih menjabat dua periode berturut-turut. Polarisasi yang menajam pada pemilu terakhir memunculkan wacana untuk mengevaluasi ketentuan masa jabatan presiden. (Baca juga: Ada Puan dan Risma, Tak Mudah Ganjar Melaju ke Pilpres)
Beberapa usulan mengemuka, khususnya soal perubahan batasan periode dan durasinya. Ada yang mengusulkan ditambah menjadi tiga periode, ada pula yang justru ingin hanya boleh satu periode. Selain itu durasi dalam tiap periode diusulkan ditambah menjadi 6, 7, atau 8 tahun.
Sejumlah alasan menjadi latar belakang dari konsep-konsep yang ditawarkan. Masa jabatan yang hanya dua periode dinilai tidak efektif untuk kontinuitas program. Sebaliknya faktor adanya petahana yang membuat kompetisi dinilai tidak adil mendasari supaya dibatasi hanya satu periode.
Kalaupun hanya boleh satu periode, waktu 5 tahun dirasakan tidak cukup untuk pemerintahan. Kombinasinya adalah periode hanya satu kali, tetapi lama periode diperpanjang menjadi 7-8 tahun. Dengan demikian pemerintahan bisa fokus bekerja tanpa perlu memikirkan pemilu berikutnya.
“Wacana perubahan masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dan dibatasi hanya 1 periode masih belum banyak diketahui publik, tetapi mulai menuai dukungan,” ujar Direktur Eksekutif Y-Publica Rudi Hartono dalam press release di Jakarta, pada Rabu (28/10/2020).
Temuan survei Y-Publica menunjukkan sebagian besar publik atau sebanyak 80,2% mengaku belum mengetahui wacana perubahan masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dan dibatasi hanya 1 periode. Hanya ada 19,8% yang mengetahui adanya wacana tersebut.
Di antara mereka yang mengetahui, mayoritas mendukung diterapkannya konsep tersebut, yaitu sebanyak 81,4%. Sebaliknya hanya ada 18,6% yang menyatakan tidak setuju.
“Opsi ini perlu dipertimbangkan oleh para pihak untuk dikaji lebih mendalam,” pungkas Rudi. (Baca juga: Pernah Salip Prabowo, Ganjar Punya Kans Bersaing di Pilpres 2024)
Survei Y-Publica dilakukan pada 11-20 Oktober 2020 terhadap 1.200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Survei dilakukan melalui sambungan telepon kepada responden yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2018. Margin of error ±2,89%, tingkat kepercayaan 95%.
Setelah melalui masa transisi, pemerintahan pasca Reformasi telah dua kali dipimpin presiden yang terpilih menjabat dua periode berturut-turut. Polarisasi yang menajam pada pemilu terakhir memunculkan wacana untuk mengevaluasi ketentuan masa jabatan presiden. (Baca juga: Ada Puan dan Risma, Tak Mudah Ganjar Melaju ke Pilpres)
Beberapa usulan mengemuka, khususnya soal perubahan batasan periode dan durasinya. Ada yang mengusulkan ditambah menjadi tiga periode, ada pula yang justru ingin hanya boleh satu periode. Selain itu durasi dalam tiap periode diusulkan ditambah menjadi 6, 7, atau 8 tahun.
Sejumlah alasan menjadi latar belakang dari konsep-konsep yang ditawarkan. Masa jabatan yang hanya dua periode dinilai tidak efektif untuk kontinuitas program. Sebaliknya faktor adanya petahana yang membuat kompetisi dinilai tidak adil mendasari supaya dibatasi hanya satu periode.
Kalaupun hanya boleh satu periode, waktu 5 tahun dirasakan tidak cukup untuk pemerintahan. Kombinasinya adalah periode hanya satu kali, tetapi lama periode diperpanjang menjadi 7-8 tahun. Dengan demikian pemerintahan bisa fokus bekerja tanpa perlu memikirkan pemilu berikutnya.
“Wacana perubahan masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dan dibatasi hanya 1 periode masih belum banyak diketahui publik, tetapi mulai menuai dukungan,” ujar Direktur Eksekutif Y-Publica Rudi Hartono dalam press release di Jakarta, pada Rabu (28/10/2020).
Temuan survei Y-Publica menunjukkan sebagian besar publik atau sebanyak 80,2% mengaku belum mengetahui wacana perubahan masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun dan dibatasi hanya 1 periode. Hanya ada 19,8% yang mengetahui adanya wacana tersebut.
Di antara mereka yang mengetahui, mayoritas mendukung diterapkannya konsep tersebut, yaitu sebanyak 81,4%. Sebaliknya hanya ada 18,6% yang menyatakan tidak setuju.
“Opsi ini perlu dipertimbangkan oleh para pihak untuk dikaji lebih mendalam,” pungkas Rudi. (Baca juga: Pernah Salip Prabowo, Ganjar Punya Kans Bersaing di Pilpres 2024)
Survei Y-Publica dilakukan pada 11-20 Oktober 2020 terhadap 1.200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Survei dilakukan melalui sambungan telepon kepada responden yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2018. Margin of error ±2,89%, tingkat kepercayaan 95%.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda