Virtual Community
Jum'at, 08 Mei 2020 - 06:47 WIB
Komaruddin Hidayat
Rektor Universita Islam Internasional Indonesia
Dua bulan mengikuti anjuran "tinggal di rumah saja", banyak pengalaman dan perasaan baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang pertama dirasakan adalah kehilangan kebebasan untuk bergerak di luar rumah, baik untuk keperluan pekerjaan kantor, mengajar di kelas, menghadiri seminar, salat jamaah di masjid, berkumpul dengan teman-teman, berkunjung ke rumah famili, menengok teman di rumah sakit, maupun berolahraga di lapangan golf.
Seminggu pertama tinggal di rumah suasana batin masih biasa saja, bahkan hidup terasa lebih rileks kumpul keluarga, terbebas dari suasana kemacetan jalan raya. Tetapi memasuki hari-hari berikutnya, pikiran dan emosi perlu adaptasi dengan suasana baru yang mulai menjemukan. Rupanya naluri orang sebagai "wanderer being", makhluk yang senang bergerak untuk berkelana dan bereksplorasi, akan tertekan jika hidup dalam kurungan.
Muncul perasaan letargik, yaitu jenuh, tidak fokus, mudah emosi, kurang bergairah, dan cemas. Untunglah sekarang ada fasilitas internet, Wi-Fi, dan telepon seluler sehingga mengurangi perasaan sepi sendiri. Meski tinggal di rumah, kita bisa melakukan eksplorasi dan berselancar di lautan dunia maya yang sangat luas. Bisa menonton film, membaca segala macam buku. Lewat YouTube kita bisa melihat dan mendengarkan ceramah, diskusi, debat, orkestra, komedi, dan sebagainya.
Aktivitas baru yang fenomenal adalah work from home (WFH) dan mengikuti diskusi keilmuan serta keagamaan secara virtual. Jika sebelum pandemi salah satu agenda saya adalah memberi ceramah dan menghadiri forum diskusi keilmuan, selama stay at home ini ternyata semua itu tetap bisa dilakukan, namun secara virtual—lewat media daring.
Kegiatan ini sangat menghibur dan produktif. Komunikasi dengan teman-teman tetap berlangsung. Kadang bingung untuk membuat pilihan ketika menerima beberapa undangan dalam waktu yang bersamaan yang semuanya menarik diikuti. Saya ikut tidak selalu sebagai pembicara, tetapi lebih banyak sebagai pendengar layaknya seorang mahasiswa duduk manis di kelas. Dan itu saya nikmati betul.
Dengan mengikuti berbagai forum diskusi virtual, saya semakin menyadari munculnya banyak intelektual muda dalam berbagai bidang keilmuan dengan kualitas akademik yang tidak diragukan. Atau setidaknya banyak pencinta ilmu yang serius dan terus mengembangkan dirinya.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dari suasana keilmuan ketika saya berada pada usia mereka. Dua puluh tahun lalu, aktivis sosial dan ilmuwan yang meraih strata kesarjanaan S2/S3 masih langka. Alumni universitas luar negeri masih jarang. Hari ini beragam sarjana dengan latar belakang disiplin keilmuan bermunculan dan mereka bisa bertukar pikiran melalui diskusi virtual, tanpa semangat menggurui. Semua merasa setara karena siapa saja bisa mengakses sumber informasi keilmuan tanpa harus duduk menjadi mahasiswa, tetapi melalui e-book atau mengikuti ceramah di YouTube dari ilmuwan kelas dunia.
Komunitas virtual yang saya ikuti umumnya bersifat egaliter dan dialogis. Beda dari mendengarkan ceramah umum yang kadang bersifat ideologis dan provokatif. Di masa pandemi ini praktis tak ada kerumunan massa. Orang terkondisikan tinggal di rumah untuk melakukan kontemplasi, membaca buku, dekat pada Tuhan, dan menumbuhkan sikap empati pada teman-teman kita yang memerlukan bantuan. Ini sebuah peluang untuk belajar dan beramal.
Ada beberapa teman yang khawatir berakhirnya pandemi ini akan mengakhiri diskusi virtual yang mulai terbangun dengan bagus dan produktif ini. Mengadakan acara diskusi keilmuan off-air di atas 100 orang itu sangat mahal biayanya, termasuk melawan kemacetan di jalan. Semoga saja berbagai acara sarasehan yang dilakukan setiap minggu selama pandemi setidaknya tetap bisa dilakukan sebulan sekali. Sayang sekali jika benih tradisi budaya keilmuan yang mulai tumbuh tadi tiba-tiba layu dan mati dengan matinya Covid-19.
Rektor Universita Islam Internasional Indonesia
Dua bulan mengikuti anjuran "tinggal di rumah saja", banyak pengalaman dan perasaan baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang pertama dirasakan adalah kehilangan kebebasan untuk bergerak di luar rumah, baik untuk keperluan pekerjaan kantor, mengajar di kelas, menghadiri seminar, salat jamaah di masjid, berkumpul dengan teman-teman, berkunjung ke rumah famili, menengok teman di rumah sakit, maupun berolahraga di lapangan golf.
Seminggu pertama tinggal di rumah suasana batin masih biasa saja, bahkan hidup terasa lebih rileks kumpul keluarga, terbebas dari suasana kemacetan jalan raya. Tetapi memasuki hari-hari berikutnya, pikiran dan emosi perlu adaptasi dengan suasana baru yang mulai menjemukan. Rupanya naluri orang sebagai "wanderer being", makhluk yang senang bergerak untuk berkelana dan bereksplorasi, akan tertekan jika hidup dalam kurungan.
Muncul perasaan letargik, yaitu jenuh, tidak fokus, mudah emosi, kurang bergairah, dan cemas. Untunglah sekarang ada fasilitas internet, Wi-Fi, dan telepon seluler sehingga mengurangi perasaan sepi sendiri. Meski tinggal di rumah, kita bisa melakukan eksplorasi dan berselancar di lautan dunia maya yang sangat luas. Bisa menonton film, membaca segala macam buku. Lewat YouTube kita bisa melihat dan mendengarkan ceramah, diskusi, debat, orkestra, komedi, dan sebagainya.
Aktivitas baru yang fenomenal adalah work from home (WFH) dan mengikuti diskusi keilmuan serta keagamaan secara virtual. Jika sebelum pandemi salah satu agenda saya adalah memberi ceramah dan menghadiri forum diskusi keilmuan, selama stay at home ini ternyata semua itu tetap bisa dilakukan, namun secara virtual—lewat media daring.
Kegiatan ini sangat menghibur dan produktif. Komunikasi dengan teman-teman tetap berlangsung. Kadang bingung untuk membuat pilihan ketika menerima beberapa undangan dalam waktu yang bersamaan yang semuanya menarik diikuti. Saya ikut tidak selalu sebagai pembicara, tetapi lebih banyak sebagai pendengar layaknya seorang mahasiswa duduk manis di kelas. Dan itu saya nikmati betul.
Dengan mengikuti berbagai forum diskusi virtual, saya semakin menyadari munculnya banyak intelektual muda dalam berbagai bidang keilmuan dengan kualitas akademik yang tidak diragukan. Atau setidaknya banyak pencinta ilmu yang serius dan terus mengembangkan dirinya.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dari suasana keilmuan ketika saya berada pada usia mereka. Dua puluh tahun lalu, aktivis sosial dan ilmuwan yang meraih strata kesarjanaan S2/S3 masih langka. Alumni universitas luar negeri masih jarang. Hari ini beragam sarjana dengan latar belakang disiplin keilmuan bermunculan dan mereka bisa bertukar pikiran melalui diskusi virtual, tanpa semangat menggurui. Semua merasa setara karena siapa saja bisa mengakses sumber informasi keilmuan tanpa harus duduk menjadi mahasiswa, tetapi melalui e-book atau mengikuti ceramah di YouTube dari ilmuwan kelas dunia.
Komunitas virtual yang saya ikuti umumnya bersifat egaliter dan dialogis. Beda dari mendengarkan ceramah umum yang kadang bersifat ideologis dan provokatif. Di masa pandemi ini praktis tak ada kerumunan massa. Orang terkondisikan tinggal di rumah untuk melakukan kontemplasi, membaca buku, dekat pada Tuhan, dan menumbuhkan sikap empati pada teman-teman kita yang memerlukan bantuan. Ini sebuah peluang untuk belajar dan beramal.
Ada beberapa teman yang khawatir berakhirnya pandemi ini akan mengakhiri diskusi virtual yang mulai terbangun dengan bagus dan produktif ini. Mengadakan acara diskusi keilmuan off-air di atas 100 orang itu sangat mahal biayanya, termasuk melawan kemacetan di jalan. Semoga saja berbagai acara sarasehan yang dilakukan setiap minggu selama pandemi setidaknya tetap bisa dilakukan sebulan sekali. Sayang sekali jika benih tradisi budaya keilmuan yang mulai tumbuh tadi tiba-tiba layu dan mati dengan matinya Covid-19.
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda