Masa Depan Pendidikan Pesantren
Kamis, 22 Oktober 2020 - 05:58 WIB
Pertanyaannya, apakah pesantren berani menanggalkan wajahnya yang sekarang untuk kembali ke wajah lamanya sebagai lembaga pendidikan yang fokus pada pendalaman ilmu agama, tafaqquh fiddin? Beranikah pendidikan pesantren kembali ke wajah aslinya menjadi lembaga yang menyiapkan kader-kader ulama, para ahli agama yang ‘alim ‘allamah?
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara garis besar berisi tiga fungsi pesantren, yaitu fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Tapi dari 55 pasal yang ada, sebanyak 21 pasal berkaitan dengan fungsi pendidikan. Hanya ada 6 pasal berisi tentang fungsi dakwah, dan 3 pasal tentang fungsi pemberdayaan masyarakat.
Dalam fungsi pendidikan disebutkan bahwa pendidikan yang ada di pesantren bersifat formal dan nonformal. Untuk yang formal, pada tingkat dasar dan menengah berbentuk muadalah, dan diniyah formal. Sedang untuk pendidikan tinggi berbentuk ma’had aly, berjenjang dari S1, S2, hingga S3. Dari ketiga jenis pendidikan ini, semua kurikulumnya fokus pada pendalaman agama dan berbasis pada kitab kuning. Sementara yang nonformal berbentuk pengkajian kitab kuning saja.
Dalam kewenangan pembuatan kurikulumnya, ada sedikit perbedaan di antara jenis-jenis pendidikan tersebut. Untuk pendidikan jenis muadalah dan ma’had aly,semua kurikulumnya murni dibuat masing-masing pesantren penyelenggara pendidikan. Setiap pesantren memiliki kewenangan penuh untuk menentukan arah dan jenis konten yang akan dipelajari meskipun harus mengacu pada kerangka dan pola dasar kurikulum berbasis kitab kuning yang akan dibuat oleh sebuah institusi yang menjembatani antara kewenangan pemerintah dengan kemandirian pesantren, yaitu Majelis Masyayikh.
Sementara untuk jenis pendidikan diniyah formal, kewenangan pembuatan kurikulumnya ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. Namun begitu, basis rujukan pengajarannya sama dengan muadalah, harus berbasiskan kitab kuning. Jadi untuk jenis pendidikan diniyah formal ini, kurikulumnya akan seragam di seluruh Indonesia.
Penggunaan kitab kuning sebagai basis rujukan pengajaran ini menguntungkan pesantren. Karena itulah sesungguhnya identitas aslinya, sebelum wajah pesantren bergeser ke pendidikan formal. UU Pesantren memberikan judgment kepada pesantren yang sangat identik dengan kitab kuning. Bahkan, dalam sejarahnya, sebagaimana dituliskan oleh Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (2010), muncul istilah yang sangat populer: pesantren adalah kitab kuning, dan kitab kuning adalah pesantren. Tanpa kitab kuning, lembaga pendidikan tidak bisa disebut pesantren.
Kini, pilihan ada di tangan pesantren, akan kembali ke wajah lamanya sebagai lembaga yang fokus pada pengajaran ilmu agama berbasis kitab kuning, atau meneruskan pembelajaran formal seperti yang selama 40 tahun belakangan ini ada? Yang jelas, UU Pesantren ini selain memberikan pengakuan pada lulusannya, juga memberikan garansi kepada pesantren dalam soal kemandirian dan kekhasannya.
Undang-undang ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada pesantren untuk mandiri mengelola kewenangannya dalam menentukan kurikulum pendidikannya, merancang output, dan potret lulusannya. Undang-undang ini juga menjamin kekhasan pesantren sebagai lembaga yang independen dalam menentukan jati diri dan identitasnya.
Meski demikian, ke depan pendidikan pesantren juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang sangat berat, terutama penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing. SDM yang siap berkompetisi dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya, terutama dalam sektor riil kehidupan. Ini berat, karena sejarah pesantren telah mencatat bahwa SDM dalam perspektif pesantren adalah SDM yang menguasai ilmu agama sebagai bekal hidup, sementara SDM dalam perspektif lembaga pendidikan formal adalah SDM dengan keterampilan bekerja.
Ini adalah cara pandang yang sangat berbeda, bahkan berlawanan. Pendidikan pesantren jika berbicara SDM adalah berbicara ilmu pengetahuan (agama) an sich, sementara pendidikan formal jika berbicara SDM berarti adalah berbicara lapangan pekerjaan. Maka tidak heran jika kurikulum di pesantren pada zaman dahulu sama sekali tidak berbicara output: nanti jadi apa, atau setelah lulus akan bekerja di sektor mana. Tapi santri sebagai seorang muslim wajib belajar untuk menghilangkan kebodohan, itu saja.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara garis besar berisi tiga fungsi pesantren, yaitu fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Tapi dari 55 pasal yang ada, sebanyak 21 pasal berkaitan dengan fungsi pendidikan. Hanya ada 6 pasal berisi tentang fungsi dakwah, dan 3 pasal tentang fungsi pemberdayaan masyarakat.
Dalam fungsi pendidikan disebutkan bahwa pendidikan yang ada di pesantren bersifat formal dan nonformal. Untuk yang formal, pada tingkat dasar dan menengah berbentuk muadalah, dan diniyah formal. Sedang untuk pendidikan tinggi berbentuk ma’had aly, berjenjang dari S1, S2, hingga S3. Dari ketiga jenis pendidikan ini, semua kurikulumnya fokus pada pendalaman agama dan berbasis pada kitab kuning. Sementara yang nonformal berbentuk pengkajian kitab kuning saja.
Dalam kewenangan pembuatan kurikulumnya, ada sedikit perbedaan di antara jenis-jenis pendidikan tersebut. Untuk pendidikan jenis muadalah dan ma’had aly,semua kurikulumnya murni dibuat masing-masing pesantren penyelenggara pendidikan. Setiap pesantren memiliki kewenangan penuh untuk menentukan arah dan jenis konten yang akan dipelajari meskipun harus mengacu pada kerangka dan pola dasar kurikulum berbasis kitab kuning yang akan dibuat oleh sebuah institusi yang menjembatani antara kewenangan pemerintah dengan kemandirian pesantren, yaitu Majelis Masyayikh.
Sementara untuk jenis pendidikan diniyah formal, kewenangan pembuatan kurikulumnya ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. Namun begitu, basis rujukan pengajarannya sama dengan muadalah, harus berbasiskan kitab kuning. Jadi untuk jenis pendidikan diniyah formal ini, kurikulumnya akan seragam di seluruh Indonesia.
Penggunaan kitab kuning sebagai basis rujukan pengajaran ini menguntungkan pesantren. Karena itulah sesungguhnya identitas aslinya, sebelum wajah pesantren bergeser ke pendidikan formal. UU Pesantren memberikan judgment kepada pesantren yang sangat identik dengan kitab kuning. Bahkan, dalam sejarahnya, sebagaimana dituliskan oleh Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (2010), muncul istilah yang sangat populer: pesantren adalah kitab kuning, dan kitab kuning adalah pesantren. Tanpa kitab kuning, lembaga pendidikan tidak bisa disebut pesantren.
Kini, pilihan ada di tangan pesantren, akan kembali ke wajah lamanya sebagai lembaga yang fokus pada pengajaran ilmu agama berbasis kitab kuning, atau meneruskan pembelajaran formal seperti yang selama 40 tahun belakangan ini ada? Yang jelas, UU Pesantren ini selain memberikan pengakuan pada lulusannya, juga memberikan garansi kepada pesantren dalam soal kemandirian dan kekhasannya.
Undang-undang ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada pesantren untuk mandiri mengelola kewenangannya dalam menentukan kurikulum pendidikannya, merancang output, dan potret lulusannya. Undang-undang ini juga menjamin kekhasan pesantren sebagai lembaga yang independen dalam menentukan jati diri dan identitasnya.
Meski demikian, ke depan pendidikan pesantren juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang sangat berat, terutama penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing. SDM yang siap berkompetisi dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya, terutama dalam sektor riil kehidupan. Ini berat, karena sejarah pesantren telah mencatat bahwa SDM dalam perspektif pesantren adalah SDM yang menguasai ilmu agama sebagai bekal hidup, sementara SDM dalam perspektif lembaga pendidikan formal adalah SDM dengan keterampilan bekerja.
Ini adalah cara pandang yang sangat berbeda, bahkan berlawanan. Pendidikan pesantren jika berbicara SDM adalah berbicara ilmu pengetahuan (agama) an sich, sementara pendidikan formal jika berbicara SDM berarti adalah berbicara lapangan pekerjaan. Maka tidak heran jika kurikulum di pesantren pada zaman dahulu sama sekali tidak berbicara output: nanti jadi apa, atau setelah lulus akan bekerja di sektor mana. Tapi santri sebagai seorang muslim wajib belajar untuk menghilangkan kebodohan, itu saja.
Lihat Juga :
tulis komentar anda