Kivlan Didukung 350 Purnawirawan, Pengamat: Tidak Ada Pengaruhnya Buat Proses Persidangan
Kamis, 07 Mei 2020 - 15:37 WIB
JAKARTA - Jalan panjang Kivlan Zen untuk lepas dari cengkraman proses hukum belum menemui titik temu. Sekarang, tim kuasa hukumnya menyerahkan dukungan 350 purwirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) agar membebaskan kliennya itu.
Sederet jenderal beken ikut tanda tangan untuk melepaskan koleganya itu, antara lain Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Mayjen (Purn) Zainuri Hasyim, Laksma (Purn) Edy Yusuf, dan Marsda (Purn) Hasan Londang. Kivlan sendiri didakwa memiliki senjata ilegal.
Satu kebebasan yang sudah Kivlan perolehan, yakni penahanannya dipindahkan ke rumah. Sebelumnya, mantan Kepala Staf Kostrad itu mendekam di Rutan Guntur dan Polda Metro Jaya. Namun, sepertinya usaha Kivlan dan kuasa hukumnya “menekan” pengadilan via dukungan ratusan purnawirawan itu akan sia-sia.
Pengamat Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar mengatakan intervensi atau dorongan yang datang dari eksternal dan tidak ada kaitannya dengan perbuatan terdakwa, maka sama sekali tidak berpengaruh. “Kecuali ada orang yang diajukan sebagai saksi yang meringankan sebagai saksi alibi dan didengar di persidangan. Ini jelas sangat mempengaruhi bahkan bisa menjadi faktor dibebaskannya terdakwa,” terangnya kepada SINDOnews, Rabu (6/5/2020).
Majelis hakim hanya akan melihat alat bukti dan keterangan para saksi di pengadilan. Dosen Universitas Trisakti itu menjelaskan, yang berpengaruh pada besar atau kecilnya hukuman adalah hal-hal yang memberatkan dan meringakan. Ini bisa terjadi karena prilaku dan peranan terdakwa dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Jaksa mendakwa Kivlan dengan dua pasal. Pertama, Kivlan diduga melanggar Pasal 1 ayat (1) Undang-undang (UU) Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 56 ayat (1) KUHP.
Penerapan Pasal 1 UU Darurat itu membuat Kivlan diancam hukuman mati, penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara. Jaksa menyebut Kivlan menyimpan empat pucuk senjata api dan 117 peluru.
Bahkan, Kivlan sempat dituding melakukan makar bersama beberapa orang dikenal sebagai pendukung Prabowo-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019. Dia diduga merencanakan pembunuhan kepada Wiranto, Luhut Binsar Panjaitan, Yunarto Wijaya, Gories Mere, dan Budi Gunawan. Namun, di pengadilan pasal terkait makar yang tercantum dalam KUHP tidak disangkakan kepadanya.
Secara umum, menurut Fickar, perkara makar pasti berkaitan dengan urusan politik. Persoalan politik mungkin bisa diselesaikan di luar meja hijau agar pengadilan tidak ketiban pulung. “Tapi dipaksa masuk pengadilan. Hukum menjadi alat kekuasaan dan pengadilan memaksakan harus menghukum,” pungkasnya.
Sederet jenderal beken ikut tanda tangan untuk melepaskan koleganya itu, antara lain Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Mayjen (Purn) Zainuri Hasyim, Laksma (Purn) Edy Yusuf, dan Marsda (Purn) Hasan Londang. Kivlan sendiri didakwa memiliki senjata ilegal.
Satu kebebasan yang sudah Kivlan perolehan, yakni penahanannya dipindahkan ke rumah. Sebelumnya, mantan Kepala Staf Kostrad itu mendekam di Rutan Guntur dan Polda Metro Jaya. Namun, sepertinya usaha Kivlan dan kuasa hukumnya “menekan” pengadilan via dukungan ratusan purnawirawan itu akan sia-sia.
Pengamat Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar mengatakan intervensi atau dorongan yang datang dari eksternal dan tidak ada kaitannya dengan perbuatan terdakwa, maka sama sekali tidak berpengaruh. “Kecuali ada orang yang diajukan sebagai saksi yang meringankan sebagai saksi alibi dan didengar di persidangan. Ini jelas sangat mempengaruhi bahkan bisa menjadi faktor dibebaskannya terdakwa,” terangnya kepada SINDOnews, Rabu (6/5/2020).
Majelis hakim hanya akan melihat alat bukti dan keterangan para saksi di pengadilan. Dosen Universitas Trisakti itu menjelaskan, yang berpengaruh pada besar atau kecilnya hukuman adalah hal-hal yang memberatkan dan meringakan. Ini bisa terjadi karena prilaku dan peranan terdakwa dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Jaksa mendakwa Kivlan dengan dua pasal. Pertama, Kivlan diduga melanggar Pasal 1 ayat (1) Undang-undang (UU) Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 56 ayat (1) KUHP.
Penerapan Pasal 1 UU Darurat itu membuat Kivlan diancam hukuman mati, penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara. Jaksa menyebut Kivlan menyimpan empat pucuk senjata api dan 117 peluru.
Bahkan, Kivlan sempat dituding melakukan makar bersama beberapa orang dikenal sebagai pendukung Prabowo-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019. Dia diduga merencanakan pembunuhan kepada Wiranto, Luhut Binsar Panjaitan, Yunarto Wijaya, Gories Mere, dan Budi Gunawan. Namun, di pengadilan pasal terkait makar yang tercantum dalam KUHP tidak disangkakan kepadanya.
Secara umum, menurut Fickar, perkara makar pasti berkaitan dengan urusan politik. Persoalan politik mungkin bisa diselesaikan di luar meja hijau agar pengadilan tidak ketiban pulung. “Tapi dipaksa masuk pengadilan. Hukum menjadi alat kekuasaan dan pengadilan memaksakan harus menghukum,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda