Kebutuhan Elpiji Dipasok 75% Impor
Rabu, 21 Oktober 2020 - 06:03 WIB
TELAH beredar kabar PT Pertamina segera menarik tabung biru elpiji berisi 12 kilogram (kg). Kabar tersebut langsung direspons serius masyarakat luas, ada apa dengan tabung biru elpiji yang sudah akrab dengan masyarakat selama ini? Benarkah kabar tersebut? Merespons reaksi masyarakat, perusahaan pelat merah itu memberi penjelasan sebagaimana disampaikan Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman bahwa penarikan tabung biru elpiji 12 kg benar adanya. Sebagai gantinya, Pertamina akan memasok konsumen tabung Bright Gas elpiji 12 Kg.
Saat ini, perusahaan minyak dan gas (migas) milik negara itu memiliki dua merek dagang untuk jenis produk elpiji kapasitas 12 kg, yakni elpiji untuk tabung biru dan Bright Gas memakai tabung pink. Manajemen perseroan telah memutuskan fokus distribusi dengan menggunakan satu merek, yakni Bright Gas yang dilengkapi dengan valve double spindle sehingga lebih aman untuk mencegah kebocoran. Dari sisi harga antara elpiji tabung biru dan tabung pink tidak ada perbedaan. Jadi, bukan penarikan produk, melainkan penggantian tabung yang lebih bagus. Program penggantian tabung elpiji 12 kg akan dilaksanakan secara bertahap.
Terlepas dari rencana penggantian tabung gas elpiji 12 kg oleh Pertamina, ternyata kebutuhan elpiji dalam negeri sebanyak 75% dipasok dari impor. Tahun lalu, impor elpiji mencapai 5,7 juta metrik ton (MT) atau sekitar 75% dari kebutuhan elpiji domestik. Sementara itu, produksi elpiji dari kilang dalam negeri hanya memberi kontribusi sebanyak 1,9 juta MT atau sekitar 25% dari kebutuhan. Sebagai upaya menekan angka impor elpiji yang sangat tinggi itu, pemerintah membangun jaringan gas (jargas) untuk kebutuhan rumah tangga.
Mengutip data publikasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa realisasi pembangunan jargas nasional telah mencapai sebanyak 537.930 sambungan rumah (SR) hingga akhir 2019. Sumber pembiayaan proyek jargas nasional itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar 74,4%, lalu sebesar 24,72% dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, dan Pertamina menanggung sekitar 0,87%. Sayangnya, Kementerian ESDM tidak memublikasi seberapa besar anggaran proyek jargas nasional itu.
Kehadiran proyek jargas diyakini berpotensi menghemat impor elpiji hingga sebanyak 60.588 ton per tahun. Tidak hanya itu, pemerintah juga berpotensi menekan subsidi elpiji 3 kg sebesar 33,25 miliar per tahun. Namun, diakui oleh Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Minyak dan Gas, Kementerian ESDM Alimuddin Baso bahwa realisasi angka SR yang dijangkau proyek jargas nasional masih terlalu kecil. Karena itu, pemerintah menargetkan hingga 2024 mendatang bakal tersambung 4 juta SR. Di balik target tersebut terdapat sejumlah kendala dalam pembangunan jargas, di antaranya masalah integrasi pembangunan di negeri ini yang masih sulit.
Saat ini, pemenuhan kebutuhan elpiji bisa menjadi persoalan sangat serius bila tak bisa diurai segera masalah yang melilit. Tengok saja, untuk tahun depan, Pertamina memprediksi kebutuhan elpiji 3 kg atau lebih akrab disebut gas melon bakal mencapai sebesar 7,50 juta MT. Konsumsi gas melon bersubsidi itu, sebagaimana dibeberkan CEO Commercial & Trading Subholding Pertamina Mas’ud Khamid telah mencapai sebesar 4,11 juta MT hingga Juli tahun ini. Dan, diperkirakan total konsumsi elpiji 3 kg subsidi bakal terealisasi sebanyak 7,06 juta MT sampai akhir tahun. Meningkatnya konsumsi gas melon dipicu dampak dari pandemi Covid-19. Di sisi lain, konsumsi elpiji nonsubsidi melandai karena restoran pada tutup mengikuti kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Adapun konsumsi elpiji 3 kg bersubsidi tercatat sebesar 75% oleh rumah tangga, lalu sebanyak 20% dipakai kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan sisanya dikonsumsi oleh para petani. Karena pemakaian elpiji bersubsidi itu terus melonjak, pihak Pertamina menilai perlu langkah substitusi dari penggunaan elpiji sehingga angka subsidi dalam APBN tidak terus membengkak. Sebelumnya, pemerintah dan Pertamina telah bersepakat menekan penggunaan elpiji bersubsidi itu agar tepat sasaran, yakni berupa pemberian label “Hanya untuk Orang Miskin” pada tabung gas melon. Namun, kebijakan tersebut tak membuahkan hasil yang diharapkan karena sifatnya hanya berupa seruan moral.
Menyikapi konsumsi elpiji bersubsidi yang terus melonjak, pemerintah telah melemparkan wacana skema penyaluran subsidi energi bukan hanya gas melon, dari subsidi berbasis komoditas menjadi subsidi berbasis orang atau individu penerima pada 2021. Skema tersebut sangat ideal agar subsidi pemerintah kepada masyarakat tidak mampu menjadi tepat sasaran. Hanya, pemerintah punya tugas baru, yakni harus membenahi data penerima subsidi. Apalagi, saat ini, angka masyarakat miskin menggelembung sebagai dampak dari pandemi Covid-19. (*)
Saat ini, perusahaan minyak dan gas (migas) milik negara itu memiliki dua merek dagang untuk jenis produk elpiji kapasitas 12 kg, yakni elpiji untuk tabung biru dan Bright Gas memakai tabung pink. Manajemen perseroan telah memutuskan fokus distribusi dengan menggunakan satu merek, yakni Bright Gas yang dilengkapi dengan valve double spindle sehingga lebih aman untuk mencegah kebocoran. Dari sisi harga antara elpiji tabung biru dan tabung pink tidak ada perbedaan. Jadi, bukan penarikan produk, melainkan penggantian tabung yang lebih bagus. Program penggantian tabung elpiji 12 kg akan dilaksanakan secara bertahap.
Terlepas dari rencana penggantian tabung gas elpiji 12 kg oleh Pertamina, ternyata kebutuhan elpiji dalam negeri sebanyak 75% dipasok dari impor. Tahun lalu, impor elpiji mencapai 5,7 juta metrik ton (MT) atau sekitar 75% dari kebutuhan elpiji domestik. Sementara itu, produksi elpiji dari kilang dalam negeri hanya memberi kontribusi sebanyak 1,9 juta MT atau sekitar 25% dari kebutuhan. Sebagai upaya menekan angka impor elpiji yang sangat tinggi itu, pemerintah membangun jaringan gas (jargas) untuk kebutuhan rumah tangga.
Mengutip data publikasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa realisasi pembangunan jargas nasional telah mencapai sebanyak 537.930 sambungan rumah (SR) hingga akhir 2019. Sumber pembiayaan proyek jargas nasional itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar 74,4%, lalu sebesar 24,72% dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, dan Pertamina menanggung sekitar 0,87%. Sayangnya, Kementerian ESDM tidak memublikasi seberapa besar anggaran proyek jargas nasional itu.
Kehadiran proyek jargas diyakini berpotensi menghemat impor elpiji hingga sebanyak 60.588 ton per tahun. Tidak hanya itu, pemerintah juga berpotensi menekan subsidi elpiji 3 kg sebesar 33,25 miliar per tahun. Namun, diakui oleh Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Minyak dan Gas, Kementerian ESDM Alimuddin Baso bahwa realisasi angka SR yang dijangkau proyek jargas nasional masih terlalu kecil. Karena itu, pemerintah menargetkan hingga 2024 mendatang bakal tersambung 4 juta SR. Di balik target tersebut terdapat sejumlah kendala dalam pembangunan jargas, di antaranya masalah integrasi pembangunan di negeri ini yang masih sulit.
Saat ini, pemenuhan kebutuhan elpiji bisa menjadi persoalan sangat serius bila tak bisa diurai segera masalah yang melilit. Tengok saja, untuk tahun depan, Pertamina memprediksi kebutuhan elpiji 3 kg atau lebih akrab disebut gas melon bakal mencapai sebesar 7,50 juta MT. Konsumsi gas melon bersubsidi itu, sebagaimana dibeberkan CEO Commercial & Trading Subholding Pertamina Mas’ud Khamid telah mencapai sebesar 4,11 juta MT hingga Juli tahun ini. Dan, diperkirakan total konsumsi elpiji 3 kg subsidi bakal terealisasi sebanyak 7,06 juta MT sampai akhir tahun. Meningkatnya konsumsi gas melon dipicu dampak dari pandemi Covid-19. Di sisi lain, konsumsi elpiji nonsubsidi melandai karena restoran pada tutup mengikuti kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Adapun konsumsi elpiji 3 kg bersubsidi tercatat sebesar 75% oleh rumah tangga, lalu sebanyak 20% dipakai kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan sisanya dikonsumsi oleh para petani. Karena pemakaian elpiji bersubsidi itu terus melonjak, pihak Pertamina menilai perlu langkah substitusi dari penggunaan elpiji sehingga angka subsidi dalam APBN tidak terus membengkak. Sebelumnya, pemerintah dan Pertamina telah bersepakat menekan penggunaan elpiji bersubsidi itu agar tepat sasaran, yakni berupa pemberian label “Hanya untuk Orang Miskin” pada tabung gas melon. Namun, kebijakan tersebut tak membuahkan hasil yang diharapkan karena sifatnya hanya berupa seruan moral.
Menyikapi konsumsi elpiji bersubsidi yang terus melonjak, pemerintah telah melemparkan wacana skema penyaluran subsidi energi bukan hanya gas melon, dari subsidi berbasis komoditas menjadi subsidi berbasis orang atau individu penerima pada 2021. Skema tersebut sangat ideal agar subsidi pemerintah kepada masyarakat tidak mampu menjadi tepat sasaran. Hanya, pemerintah punya tugas baru, yakni harus membenahi data penerima subsidi. Apalagi, saat ini, angka masyarakat miskin menggelembung sebagai dampak dari pandemi Covid-19. (*)
(bmm)
tulis komentar anda