Penerapan UU ITE Sulit Bedakan Penegakan Hukum dan Pemasungan HAM
Kamis, 15 Oktober 2020 - 08:19 WIB
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana asal Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, sulit membedakan antara penegakan hukum dan pemasungan terhadap hak asasi manusia (HAM) terkait hak mengeluarkan pikiran dan pendapat bila pasal-pasal ujaran kebencian dalam UU ITE digunakan terhadap tokoh politik dan aktivis
"Karena itu sejak lama kritik terhadap pasal-pasal ini (pasal 28 UU ITE) sebagai pasal karet masih terjadi," kata Fickar kepada SINDOnews, Kamis (15/10/2020), menanggapi penangkapan tokoh dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) belum lama ini.
(Baca: Petinggi KAMI Ditangkap, Ini Tanggapan Din Syamsuddin)
Setidaknya delapan aktivis KAMI, tiga di antaranya Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan Anton Permana telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Menurut Fickar, UU ITE yang sejatinya sebagai UU yang bersifat administratif, yang mengatur transaksi beraspek komersial, justru lebih banyak digunakan sebagai aturan pidana yang bersinggungan dengan hak berdemokrasi.
Padahal, pengaturan pasal ini dalam KUHP sebagai pasal 'hetzei artikelen' yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pasal ini bersifat kolonial yang bertentangan dengan iklim demokrasi berdasarkan UUD45.
(Baca: IPW: KAMI Sudah Diincar, Bukan Mustahil Berikutnya Gatot Nurmantyo)
Di sisi lain, diksi berita bohong dan diksi antar golongan dari unsur SARA yang tidak pasti dan dapat ditafsirkan secara subjektif. Itulah ketentuan ini lebih bersifat pasal karet yang bersifat kolonial.
"Karena itu juga sulit untuk tidak mengatakan bahwa ketentuan ini bisa terjebak menjadi alat utk memukul lawan politik oleh penguasa siapapun juga," pungkas dia.
"Karena itu sejak lama kritik terhadap pasal-pasal ini (pasal 28 UU ITE) sebagai pasal karet masih terjadi," kata Fickar kepada SINDOnews, Kamis (15/10/2020), menanggapi penangkapan tokoh dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) belum lama ini.
(Baca: Petinggi KAMI Ditangkap, Ini Tanggapan Din Syamsuddin)
Setidaknya delapan aktivis KAMI, tiga di antaranya Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan Anton Permana telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Menurut Fickar, UU ITE yang sejatinya sebagai UU yang bersifat administratif, yang mengatur transaksi beraspek komersial, justru lebih banyak digunakan sebagai aturan pidana yang bersinggungan dengan hak berdemokrasi.
Padahal, pengaturan pasal ini dalam KUHP sebagai pasal 'hetzei artikelen' yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pasal ini bersifat kolonial yang bertentangan dengan iklim demokrasi berdasarkan UUD45.
(Baca: IPW: KAMI Sudah Diincar, Bukan Mustahil Berikutnya Gatot Nurmantyo)
Di sisi lain, diksi berita bohong dan diksi antar golongan dari unsur SARA yang tidak pasti dan dapat ditafsirkan secara subjektif. Itulah ketentuan ini lebih bersifat pasal karet yang bersifat kolonial.
"Karena itu juga sulit untuk tidak mengatakan bahwa ketentuan ini bisa terjebak menjadi alat utk memukul lawan politik oleh penguasa siapapun juga," pungkas dia.
(muh)
tulis komentar anda