Hoaks Merajalela di Media Sosial

Kamis, 15 Oktober 2020 - 06:26 WIB
Beberapa elemen masyarakat menilai Satgas Omnibus Law yang menyusun naskah akademik bersifat elitis dan tidak mengakomodasi masyarakat yang terdampak keberadaan Omnibus Law.
AKSI unjuk rasa menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau yang dikenal dengan Omnibus Law terus berlangsung. Unjuk rasa tak sebatas dilakukan oleh kaum buruh saja, tetapi juga elemen masyarakat lainnya, termasuk kalangan mahasiswa. Sayangnya, unjuk rasa yang sejatinya bisa dilakukan dengan cara yang baik berakhir dengan kericuhan di sejumlah daerah. Tak hanya di Ibu Kota, juga di kota-kota besar lain seperti Yogyakarta, Malang, dan Medan.

Para pengunjuk rasa berdalih, UU Cipta Kerja melegitimasi perusakan lingkungan, merugikan para pekerja, dan hanya menguntungkan pengusaha. Alasan lainnya yang memicu gelombang unjuk rasa dikarenakan penyusunan RUU dinilai cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi masyarakat.

Beberapa elemen masyarakat juga menilai Satgas Omnibus Law yang menyusun naskah akademiknya bersifat elitis dan tidak mengakomodasi masyarakat yang terdampak keberadaan Omnibus Law. Omnibus Law juga dinilai menciptakan sentralisme kewenangan.



Unjuk rasa yang berlangsung hampir sepekan banyak diwarnai kericuhan. Bahkan, di Jakarta, fasilitas publik tak luput dari amukan massa. Sejumlah orang telah ditangkap pihak berwenang. Dengan sangkaan menyebarkan berita bohong melalui platform media sosial.

Memang, sejak aksi unjuk rasa pertama kali meletup pada 6 Oktober lalu, beragam disinformasi tersebar secara masif di masyarakat. Tak hanya melalui aplikasi pesan instan, tetapi penyebaran informasi palsu (hoaks) juga dilakukan secara masif di platform media sosial.

Kebanyakan hoaks yang disebarkan dalam bentuk gambar dengan narasi memojokkan pemerintah. Juga berisi tentang hasutan untuk berbuat onar dan melakukan perusakan. Bahkan, narasi bernada makar seperti ajakan melakukan revolusi juga digaungkan. Tak hanya itu, upaya adu domba antarelemen masyarakat juga bermunculan. Umumnya konten-konten hoaks tersebut disebarkan oleh akun anonim, kemudian diviralkan oleh masyarakat yang tanpa sadar masuk ke dalam sebuah jebakan.

Situasi semakin tak kondusif tatkala pihak-pihak yang selama ini dikenal sebagai buzzer (pendengung) memperkeruh suasana dengan melemparkan hoaks bahwa unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat didanai oleh pihak tertentu. Para buzzer menyebut salah satu partai, bahkan mantan presiden yang menjadi donatur dan memasok logistik para pengunjuk rasa. Tak hanya itu, para buzzer juga dengan leluasa menyebar fitnah terhadap institusi militer.

Media sosial saat ini seolah hanya menjadi keranjang sampah tempat melakukan propaganda untuk memecah belah. Baik yang dilakukan oleh kelompok yang kecewa terhadap pemerintah maupun kelompok-kelompok yang mengklaim memiliki kedekatan dengan pihak yang sedang berkuasa.

Sejatinya, unjuk rasa yang dilakukan tanpa henti dalam kurun sepekan terakhir dapat dihindari apabila pemerintah dan DPR lebih terbuka dalam pengesahan UU Cipta Kerja. Sebab, informasi yang beredar di masyarakat, UU Cipta Kerja memiliki dua versi, belakangan disebut-sebut ada versi terbaru. Bahkan, hingga saat ini draf UU Cipta Kerja belum diketahui keberadaannya. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Namun demikian, masyarakat tetap harus memberikan respons yang baik sesuai dengan prosedur dan tidak terhasut provokasi-provokasi yang dilakukan di media sosial. Terlebih sejatinya UU Cipta Kerja memiliki tujuan untuk mendorong laju perekonomian nasional lebih cepat lagi.

(bmm)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More