Perspektif Omnibus Law Obati Pandemi Covid-19
Selasa, 13 Oktober 2020 - 06:10 WIB
Dr Naslindo Sirait
Pemerhati Ekonomi dan Ketenagakerjaan
PENETAPAN Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau yang lebih dikenal Omnibus Law memantik perhatian publik dari semua kalangan, terutama kaum buruh. Pro dan kontra tak dapat dihindari, baik yang mengerti substansi maupun tidak. Demonstrasi berkembang pesat di berbagai daerah, mulai kalangan buruh hingga mahasiswa.
Selintas, UU Omnibus Law ini memang menjadi pilihan efektif dan efisien bagi pemerintah untuk melakukan reharmonisasi dan penyelarasan peraturan perundang-undangan. Ibarat kata, sekali pukul, langsung mengena pada berbagai sasaran yang dituju. Sebut saja, kemudahan berusaha, kemudahan berinvestasi, kemudahan dalam pengadaan tanah, dukungan insentif fiskal di Kawasan Ekonomi Khusus, dan penyederhanaan administrasi.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, Omnibus Law dapat memperbaiki daya saing dan iklim investasi di Indonesia yang beberapa tahun ini terpuruk. Terlebih lagi saat pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas ekonomi dan sosial secara luas. Dibutuhkan obat mujarab yang langsung bereaksi. Salah satu alternatif tercepat adalah Omnibus Law.
Akibat pandemi, saat ini diperkirakan jumlah pengangguran sekitar 6 juta jiwa, dan mungkin bisa meningkat menjadi 12 juta jiwa akibat pandemi. Jumlah yang tidak sedikit dan membuat pening birokrat di pusat dan daerah. Sekali lagi, problem ini perlu obat mujarab: Omnibus Law.
Namun, masalah tidak hanya berhenti di situ. Jika mau kritis dan mendalam mengurai benang kusut ini, kedua pihak baik pemerintah maupun DPR serta kalangan buruh mesti membangun dialog konstruktif guna memecahkan masalah bangsa ini. Tidak sekadar memaksakan kehendak yang berujung sikap anarkistis, padahal ada koridor yang bisa ditempuh. Budaya dialog konstruktif perlu mengakar di negeri ini agar masyarakat semakin dewasa mencerna permasalahan dan mencari solusi terbaik. Apalagi terkait buruh, pengangguran, dan investasi, ini tentu problem sensitif yang bisa menjadi pisau bermata dua.
Tujuan Omnibus Law yang antara lain berupaya menyelamatkan 6 juta jiwa penganggur adalah mulia, tapi tidak perlu dengan memangkas kesejahteraan pekerja formal saat ini. Pilihan cerdasnya adalah bagaimana membuka kesempatan kerja yang luas, tapi kesejahteraan pekerja lainnya juga tidak berkurang. Bukan trade off.
Justru saat pandemi inilah, momentum terbaik untuk kembali menata fondasi untuk Indonesia yang lebih baik bagi generasi mendatang. Baik pemerintah dan DPR maupun kalangan buruh mesti sama-sama mawas diri, mau bergandengan tangan, dan berpikir konstruktif guna mencari solusi, bukan menambah runyam persoalan.
Dari sisi pemerintah, satu hal yang harus diperhitungkan, jenis investasi yang bagaimana diharapkan masuk dengan adanya Omnibus Law? Ini juga perlu menjadi bahan kampanye untuk menyosialisasikan UU Cipta Lapangan Kerja agar publik lebih mengerti. Dilihat dari tren investasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia, rata-rata masih dominan di sektor pertambangan. Perkembangan lanskap perekonomian saat ini juga menuju ekonomi digital, sehingga tidak seperti sektor padat karya yang langsung menyerap tenaga kerja dalam skala besar.
Dari sisi kaum buruh, memang disadari kesejahteraan pekerja di Indonesia masih tergolong rendah, kebanyakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi itu bukan berarti kalangan buruh mesti pasrah dengan kondisi, atau malah berlaku anarki saat ada kesempatan. Sebaliknya, kaum buruh mesti membuktikan bahwa pekerja di Indonesia tidak sembarangan dan layak untuk diperjuangkan.
Semoga para pekerja/buruh di mana pun berada bisa menerima kenyataan ini, memperjuangkan nasibnya dengan jalur-jalur formal, serta menjaga kesehatan dan keselamatan diri serta keluarga. Yang dikhawatirkan jika demo-demo ini terus berlanjut, fase eksponensial penyebaran Covid-19 juga akan berlarut-larut dan bertambah panjang. Dan ini sekali lagi, mengorbankan seluruh bangsa. Semoga semua kita bisa memahaminya!
Pemerhati Ekonomi dan Ketenagakerjaan
PENETAPAN Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau yang lebih dikenal Omnibus Law memantik perhatian publik dari semua kalangan, terutama kaum buruh. Pro dan kontra tak dapat dihindari, baik yang mengerti substansi maupun tidak. Demonstrasi berkembang pesat di berbagai daerah, mulai kalangan buruh hingga mahasiswa.
Selintas, UU Omnibus Law ini memang menjadi pilihan efektif dan efisien bagi pemerintah untuk melakukan reharmonisasi dan penyelarasan peraturan perundang-undangan. Ibarat kata, sekali pukul, langsung mengena pada berbagai sasaran yang dituju. Sebut saja, kemudahan berusaha, kemudahan berinvestasi, kemudahan dalam pengadaan tanah, dukungan insentif fiskal di Kawasan Ekonomi Khusus, dan penyederhanaan administrasi.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, Omnibus Law dapat memperbaiki daya saing dan iklim investasi di Indonesia yang beberapa tahun ini terpuruk. Terlebih lagi saat pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas ekonomi dan sosial secara luas. Dibutuhkan obat mujarab yang langsung bereaksi. Salah satu alternatif tercepat adalah Omnibus Law.
Akibat pandemi, saat ini diperkirakan jumlah pengangguran sekitar 6 juta jiwa, dan mungkin bisa meningkat menjadi 12 juta jiwa akibat pandemi. Jumlah yang tidak sedikit dan membuat pening birokrat di pusat dan daerah. Sekali lagi, problem ini perlu obat mujarab: Omnibus Law.
Namun, masalah tidak hanya berhenti di situ. Jika mau kritis dan mendalam mengurai benang kusut ini, kedua pihak baik pemerintah maupun DPR serta kalangan buruh mesti membangun dialog konstruktif guna memecahkan masalah bangsa ini. Tidak sekadar memaksakan kehendak yang berujung sikap anarkistis, padahal ada koridor yang bisa ditempuh. Budaya dialog konstruktif perlu mengakar di negeri ini agar masyarakat semakin dewasa mencerna permasalahan dan mencari solusi terbaik. Apalagi terkait buruh, pengangguran, dan investasi, ini tentu problem sensitif yang bisa menjadi pisau bermata dua.
Tujuan Omnibus Law yang antara lain berupaya menyelamatkan 6 juta jiwa penganggur adalah mulia, tapi tidak perlu dengan memangkas kesejahteraan pekerja formal saat ini. Pilihan cerdasnya adalah bagaimana membuka kesempatan kerja yang luas, tapi kesejahteraan pekerja lainnya juga tidak berkurang. Bukan trade off.
Justru saat pandemi inilah, momentum terbaik untuk kembali menata fondasi untuk Indonesia yang lebih baik bagi generasi mendatang. Baik pemerintah dan DPR maupun kalangan buruh mesti sama-sama mawas diri, mau bergandengan tangan, dan berpikir konstruktif guna mencari solusi, bukan menambah runyam persoalan.
Dari sisi pemerintah, satu hal yang harus diperhitungkan, jenis investasi yang bagaimana diharapkan masuk dengan adanya Omnibus Law? Ini juga perlu menjadi bahan kampanye untuk menyosialisasikan UU Cipta Lapangan Kerja agar publik lebih mengerti. Dilihat dari tren investasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia, rata-rata masih dominan di sektor pertambangan. Perkembangan lanskap perekonomian saat ini juga menuju ekonomi digital, sehingga tidak seperti sektor padat karya yang langsung menyerap tenaga kerja dalam skala besar.
Dari sisi kaum buruh, memang disadari kesejahteraan pekerja di Indonesia masih tergolong rendah, kebanyakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi itu bukan berarti kalangan buruh mesti pasrah dengan kondisi, atau malah berlaku anarki saat ada kesempatan. Sebaliknya, kaum buruh mesti membuktikan bahwa pekerja di Indonesia tidak sembarangan dan layak untuk diperjuangkan.
Semoga para pekerja/buruh di mana pun berada bisa menerima kenyataan ini, memperjuangkan nasibnya dengan jalur-jalur formal, serta menjaga kesehatan dan keselamatan diri serta keluarga. Yang dikhawatirkan jika demo-demo ini terus berlanjut, fase eksponensial penyebaran Covid-19 juga akan berlarut-larut dan bertambah panjang. Dan ini sekali lagi, mengorbankan seluruh bangsa. Semoga semua kita bisa memahaminya!
(bmm)
tulis komentar anda