Lansia Sehat, Aktif, dan Bermartabat
Jum'at, 09 Oktober 2020 - 06:32 WIB
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi penduduk lanjut usia (lansia) 18 juta jiwa (9,77%) dari total penduduk Indonesia pada 2010 dan menjadi sekitar 26 juta (11,34%) pada 2020 serta diprediksi akan terus meningkat hingga 48,2 juta jiwa (15,8%) pada 2035. Dari seluruh lansia yang ada di Indonesia, lansia muda (60-69 tahun) jauh mendominasi dengan besaran yang mencapai 63,82%, selanjutnya diikuti lansia madya (70-79 tahun) sebesar 27,68% dan lansia tua (80+ tahun) sebesar 8,50%.
Diperkirakan terdapat lansia yang mandiri sebanyak 74,3% dan lansia yang tergantung ringan 22%. Beberapa penyakit lansia tertinggi (di atas 45%) adalah sendi, hipertensi, masalah mulut, dan diabetes (Riskesdas, 2018). Seiring dengan proses penuaan yang tergolong cepat, ternyata prevalensi demensia juga meningkat dengan sangat cepat yang harus disikapi dengan baik agar tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,2 juta orang dengan demensia (2016) yang akan meningkat menjadi 2 juta (2030) dan menjadi dua kali lipat (4 juta) orang pada 2050.
Sementara itu BPS mencatat angka kesakitan penduduk lansia di Indonesia mencapai 26,20% pada 2019. Artinya terdapat 26 hingga 27 dari 100 lansia yang sakit di dalam negeri.
Memahami kondisi kelanjutusiaan menjadi penting mengingat terjadi kecepatan penuaan yang lebih tinggi setelah 2020. Tidak semua lansia memiliki keberuntungan, yaitu bisa hidup sehat dan mandiri. Masih ada di antara mereka yang memerlukan pertolongan. Untuk itu perlu dukungan sistem informasi kelanjutusiaan dan program holistis komprehensif yang menyertainya. Kedua hal ini menempatkan posisi lansia apakah lansia sebagai beban atau aset bagi pembangunan.
Mewujudkan Lansia "Smart"
Lanjut usia sangat berkaitan dengan berbagai perubahan seperti perubahan anatomi/fisiologi, berbagai penyakit atau keadaan patologik sebagai akibat penuaan serta pengaruh psikososial pada fungsi organ. Penurunan kondisi fisik dan psikis dapat menimbulkan masalah bagi lansia. Hurlock (2002) menyebutkan ada beberapa masalah yang dapat menyertai lansia, yaitu: (1) ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain; (2) ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya; (3) membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah; (4) mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak; dan (5) belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa.
Masalah lansia ternyata bukan hanya faktor kesehatan saja, tetapi juga faktor psikososial dan budaya. Oleh karena itu penanganan lansia perlu dilakukan secara holistis integratif dan komprehensif. Perhatian yang memadai terhadap faktor kesehatan, psikologi, budaya, dan sosial merupakan bagian dari upaya yang diperlukan untuk memenuhi hak dan kebutuhan lansia.
Berbagai kementerian dan lembaga ikut ambil bagian dalam "mengeroyok" pemberdayaan lansia. Kementerian Kesehatan bergerak melalui pembentukan dan pembinaan lansia dengan posyandu lansia atau posbindu lansia. Langkah ini lebih mengutamakan upaya peningkatan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan di samping upaya penyembuhan dan pemulihan bagi lansia yang sakit. Tujuannya membentuk lansia "Smart" yaitu sehat, mandiri, aktif, produktif, dan bermartabat.
BKKBN dengan program Bina Keluarga Lansia (BKL) lebih konsentrasi pada pemberdayaan lansia potensial (mandiri) sekitar 74% atau 19,2 juta lansia agar menjadi lansia tangguh. Intinya juga sama, yaitu agar lansia masih terus aktif dan menjadi potensi bagi pembangunan. Secara operasional, mengajarkan kepada lansia dan keluarga lansia untuk memahami dan mempraktikkan tujuh dimensi lansia tangguh. Konsep ini diambil dari Seven Dimension of Wellness yang dikembangkan oleh International Council on Active Ageing (ICAA ) yang intinya lansia perlu terus diintervensi (stimulasi) pada aspek spiritual, intelektual/profesional, vokasional/hobi, sosial, fisik/kesehatan, emosional, dan lingkungan.
Kementerisn Sosial lebih mengarah pada lansia nonpotensial yang jumlahnya sekitar 7 juta (26%) melalui program rehabilitasi sosial (progres lansia). Program ini adalah upaya yang ditujukan untuk membantu lanjut usia dalam memulihkan dan mengembangkan keberfungsian sosialnya yang dilakukan secara terarah, terpadu dan berkelanjutan dalam bentuk rehabilitasi sosial dan pemberian bantuan kesejahteraan sosial.
Diperkirakan terdapat lansia yang mandiri sebanyak 74,3% dan lansia yang tergantung ringan 22%. Beberapa penyakit lansia tertinggi (di atas 45%) adalah sendi, hipertensi, masalah mulut, dan diabetes (Riskesdas, 2018). Seiring dengan proses penuaan yang tergolong cepat, ternyata prevalensi demensia juga meningkat dengan sangat cepat yang harus disikapi dengan baik agar tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,2 juta orang dengan demensia (2016) yang akan meningkat menjadi 2 juta (2030) dan menjadi dua kali lipat (4 juta) orang pada 2050.
Sementara itu BPS mencatat angka kesakitan penduduk lansia di Indonesia mencapai 26,20% pada 2019. Artinya terdapat 26 hingga 27 dari 100 lansia yang sakit di dalam negeri.
Memahami kondisi kelanjutusiaan menjadi penting mengingat terjadi kecepatan penuaan yang lebih tinggi setelah 2020. Tidak semua lansia memiliki keberuntungan, yaitu bisa hidup sehat dan mandiri. Masih ada di antara mereka yang memerlukan pertolongan. Untuk itu perlu dukungan sistem informasi kelanjutusiaan dan program holistis komprehensif yang menyertainya. Kedua hal ini menempatkan posisi lansia apakah lansia sebagai beban atau aset bagi pembangunan.
Mewujudkan Lansia "Smart"
Lanjut usia sangat berkaitan dengan berbagai perubahan seperti perubahan anatomi/fisiologi, berbagai penyakit atau keadaan patologik sebagai akibat penuaan serta pengaruh psikososial pada fungsi organ. Penurunan kondisi fisik dan psikis dapat menimbulkan masalah bagi lansia. Hurlock (2002) menyebutkan ada beberapa masalah yang dapat menyertai lansia, yaitu: (1) ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain; (2) ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya; (3) membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah; (4) mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak; dan (5) belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa.
Masalah lansia ternyata bukan hanya faktor kesehatan saja, tetapi juga faktor psikososial dan budaya. Oleh karena itu penanganan lansia perlu dilakukan secara holistis integratif dan komprehensif. Perhatian yang memadai terhadap faktor kesehatan, psikologi, budaya, dan sosial merupakan bagian dari upaya yang diperlukan untuk memenuhi hak dan kebutuhan lansia.
Berbagai kementerian dan lembaga ikut ambil bagian dalam "mengeroyok" pemberdayaan lansia. Kementerian Kesehatan bergerak melalui pembentukan dan pembinaan lansia dengan posyandu lansia atau posbindu lansia. Langkah ini lebih mengutamakan upaya peningkatan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan di samping upaya penyembuhan dan pemulihan bagi lansia yang sakit. Tujuannya membentuk lansia "Smart" yaitu sehat, mandiri, aktif, produktif, dan bermartabat.
BKKBN dengan program Bina Keluarga Lansia (BKL) lebih konsentrasi pada pemberdayaan lansia potensial (mandiri) sekitar 74% atau 19,2 juta lansia agar menjadi lansia tangguh. Intinya juga sama, yaitu agar lansia masih terus aktif dan menjadi potensi bagi pembangunan. Secara operasional, mengajarkan kepada lansia dan keluarga lansia untuk memahami dan mempraktikkan tujuh dimensi lansia tangguh. Konsep ini diambil dari Seven Dimension of Wellness yang dikembangkan oleh International Council on Active Ageing (ICAA ) yang intinya lansia perlu terus diintervensi (stimulasi) pada aspek spiritual, intelektual/profesional, vokasional/hobi, sosial, fisik/kesehatan, emosional, dan lingkungan.
Kementerisn Sosial lebih mengarah pada lansia nonpotensial yang jumlahnya sekitar 7 juta (26%) melalui program rehabilitasi sosial (progres lansia). Program ini adalah upaya yang ditujukan untuk membantu lanjut usia dalam memulihkan dan mengembangkan keberfungsian sosialnya yang dilakukan secara terarah, terpadu dan berkelanjutan dalam bentuk rehabilitasi sosial dan pemberian bantuan kesejahteraan sosial.
tulis komentar anda