Koalisi Buruh Migran Sebut Arus Deportasi PMI dari Sabah Meningkat Sejak Juni 2020
Kamis, 08 Oktober 2020 - 11:30 WIB
JAKARTA - Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) menemukan sejumlah permasalahan dalam deportasi pekerja migran Indonesia ( PMI ) yang bekerja di Sabah, Malaysia. Pemerintah daerah (pemda) dinilai abai dengan tidak melakukan pengurusan kepulangan warganya.
Koordinator KBMB, Musdalifah Jamal mengungkapkan sepanjang Juni hingga September 2020 sudah ada enam gelombang deportasi. Beberapa temuan kunci dari KBMB, antara lain, proses koordinasi lintas instansi di Indonesia tidak maksimal dan beberapa pemda tidak menjemput PMI yang sudah masuk ke Indonesia, terutama di Makassar. (Baca juga: 150 Buruh Migran Dipulangkan, 3 Diantaranya Warga Blitar)
Para PMI yang dideportasi itu rata-rata berasal dari wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Musdalifah menerangkan Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UPT BP2MI) Makassar sudah mengirim surat kepada kepala daerah asal PMI untuk menjemput.
“Ini membuat Badan Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Makassar harus menyewa mobil untuk memulangkan deportan ke kampung halaman. Kami juga menemukan akses layanan kesehatan kepada deportan saat pemulangan sangat minim,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (8/10/2020).
Dia menjelaskan sebagian PMI yang dipulangkan mengalami penyakit kulit serius. Namun, mereka tidak mendapatkan pengobatan baik di Nunukan maupun Pelabuhan Pare-Pare. KBMB menyatakan seharusnya BP2MI Nunukan dan Makassar melakukan pemeriksaan kesehatan lanjutan.
Musdalifah mengatakan penampungan sementara bagi PMI di Nunukan dan Makassar tidak memiliki fasilitas kesehatan dan layanan mental. Padahal, para PMI itu telah menjadi korban dugaan kekerasan fisik dan mental saat proses penangkapan dan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) di Sabah, Malaysia.
Dia menemukan fakta ada satu orang PMI yang hilang di Kota Makassar. Orang itu, menurutnya, diduga mengalami depresi dan berjalan keluar penampungan. Namun, yang bersangkutan tak kembali lagi. (Baca juga: Bertemu BP2MI, Himsataki Usul 4 Program Perlindungan Pekerja Migran)
“Tempat penampungan UPT BP2MI melampaui batas dan tidak bisa menampung dalam jumlah besar. Sejak Juni, arus deportasi dari Malaysia cukup besar,” pungkasnya.
Koordinator KBMB, Musdalifah Jamal mengungkapkan sepanjang Juni hingga September 2020 sudah ada enam gelombang deportasi. Beberapa temuan kunci dari KBMB, antara lain, proses koordinasi lintas instansi di Indonesia tidak maksimal dan beberapa pemda tidak menjemput PMI yang sudah masuk ke Indonesia, terutama di Makassar. (Baca juga: 150 Buruh Migran Dipulangkan, 3 Diantaranya Warga Blitar)
Para PMI yang dideportasi itu rata-rata berasal dari wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Musdalifah menerangkan Unit Pelayanan Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UPT BP2MI) Makassar sudah mengirim surat kepada kepala daerah asal PMI untuk menjemput.
“Ini membuat Badan Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Makassar harus menyewa mobil untuk memulangkan deportan ke kampung halaman. Kami juga menemukan akses layanan kesehatan kepada deportan saat pemulangan sangat minim,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (8/10/2020).
Dia menjelaskan sebagian PMI yang dipulangkan mengalami penyakit kulit serius. Namun, mereka tidak mendapatkan pengobatan baik di Nunukan maupun Pelabuhan Pare-Pare. KBMB menyatakan seharusnya BP2MI Nunukan dan Makassar melakukan pemeriksaan kesehatan lanjutan.
Musdalifah mengatakan penampungan sementara bagi PMI di Nunukan dan Makassar tidak memiliki fasilitas kesehatan dan layanan mental. Padahal, para PMI itu telah menjadi korban dugaan kekerasan fisik dan mental saat proses penangkapan dan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) di Sabah, Malaysia.
Dia menemukan fakta ada satu orang PMI yang hilang di Kota Makassar. Orang itu, menurutnya, diduga mengalami depresi dan berjalan keluar penampungan. Namun, yang bersangkutan tak kembali lagi. (Baca juga: Bertemu BP2MI, Himsataki Usul 4 Program Perlindungan Pekerja Migran)
“Tempat penampungan UPT BP2MI melampaui batas dan tidak bisa menampung dalam jumlah besar. Sejak Juni, arus deportasi dari Malaysia cukup besar,” pungkasnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda