Surati Jokowi, Din Syamsuddin Tunjukkan Pangkal Kegaduhan di Indonesia
Senin, 05 Oktober 2020 - 22:27 WIB
Para ahli bersepakat faktor-faktor itu terkait dengan kejujuran, keadilan, dan kesejahteraan.
Jika ketiga hal demikian tersedia, maka kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman akan menjelma.
Yang Mulia Bapak Presiden.
Tentu Bapak memiliki pengalaman kepemimpinan yang panjang, baik sebagai Wali Kota, Gubernur, dan satu periode sebagai Presiden, serta para penasehat yang andal dan mumpuni di sekitar. Maka tanpa bermaksud menggarami lautan atau mengajar Bebek berenang, izinkan saya dengan permohonan maaf, demi menunaikan kewajiban keagamaan untuk bertawashi dengan kebenaran dan kesabaran (tawashaw bi al-haqq wa tawashaw bi al-shabr), mewasiatkan saran-saran untuk mencegah kegaduhan dalam kehidupan bangsa:
1. Hadapi dan sikapilah Pandemi Covid-19 dengan bersungguh-sungguh sebagai wabah dan musibah dari Allah SWT, dengan tidak memandangnya secara remeh. Kami mencatat, sempat ada sikap yang meremehkan pada sebagian elit kekuasaan dan pembantu Bapak Presiden seperti dalam ucapan: "Mana Corona itu, kita tidak akan kena", atau "bulan Mei Corona akan berakhir" dan ucapan lain sebagainya.
2. Kami berbesar hati pada suatu waktu Bapak Presiden menyatakan akan mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat dari pada stimulus ekonomi. Namun sayang Bapak Presiden, pernyataan itu tidak menjelma dalam kenyataan.
(a). Kami mencatat alokasi anggaran untuk kesehatan sangat-sangatlah kecil dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk stimulus ekonomi. Akibatnya, rakyat dibiarkan berjuang sendiri mempertahankan hidup, dengan harus membayar Rapid Test dan Swab Test yang mahal harganya dan tidak dapat membeli vitamin yang diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
(b). Pemerintah bersama DPR justeru bersikukuh untuk melaksanakan Pilkada pada 9 Desember 2020, walaupun banyak organisasi masyarakat seperti PBNU, PP Muhammadiyah, MUI, dan Majelis-majelis Keagamaan, dan organisasi-organisasi lain mengusulkan penundaan.
Pemerintah seperti abai terhadap Pilkada yang potensial menciptakan klaster baru persebaran wabah, dan sepertinya menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat dan merasa berkuasa untuk memenangkan kepentingannya di atas kepentingan rakyat banyak.
Kedua contoh di atas bukanlah masalah kecil. Keduanya sangat potensial untuk menimbulkan kegaduhan.
Jika ketiga hal demikian tersedia, maka kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman akan menjelma.
Yang Mulia Bapak Presiden.
Tentu Bapak memiliki pengalaman kepemimpinan yang panjang, baik sebagai Wali Kota, Gubernur, dan satu periode sebagai Presiden, serta para penasehat yang andal dan mumpuni di sekitar. Maka tanpa bermaksud menggarami lautan atau mengajar Bebek berenang, izinkan saya dengan permohonan maaf, demi menunaikan kewajiban keagamaan untuk bertawashi dengan kebenaran dan kesabaran (tawashaw bi al-haqq wa tawashaw bi al-shabr), mewasiatkan saran-saran untuk mencegah kegaduhan dalam kehidupan bangsa:
1. Hadapi dan sikapilah Pandemi Covid-19 dengan bersungguh-sungguh sebagai wabah dan musibah dari Allah SWT, dengan tidak memandangnya secara remeh. Kami mencatat, sempat ada sikap yang meremehkan pada sebagian elit kekuasaan dan pembantu Bapak Presiden seperti dalam ucapan: "Mana Corona itu, kita tidak akan kena", atau "bulan Mei Corona akan berakhir" dan ucapan lain sebagainya.
2. Kami berbesar hati pada suatu waktu Bapak Presiden menyatakan akan mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat dari pada stimulus ekonomi. Namun sayang Bapak Presiden, pernyataan itu tidak menjelma dalam kenyataan.
(a). Kami mencatat alokasi anggaran untuk kesehatan sangat-sangatlah kecil dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk stimulus ekonomi. Akibatnya, rakyat dibiarkan berjuang sendiri mempertahankan hidup, dengan harus membayar Rapid Test dan Swab Test yang mahal harganya dan tidak dapat membeli vitamin yang diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
(b). Pemerintah bersama DPR justeru bersikukuh untuk melaksanakan Pilkada pada 9 Desember 2020, walaupun banyak organisasi masyarakat seperti PBNU, PP Muhammadiyah, MUI, dan Majelis-majelis Keagamaan, dan organisasi-organisasi lain mengusulkan penundaan.
Pemerintah seperti abai terhadap Pilkada yang potensial menciptakan klaster baru persebaran wabah, dan sepertinya menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat dan merasa berkuasa untuk memenangkan kepentingannya di atas kepentingan rakyat banyak.
Kedua contoh di atas bukanlah masalah kecil. Keduanya sangat potensial untuk menimbulkan kegaduhan.
tulis komentar anda