Pakar Hukum Tegaskan Jaksa Tak Bisa Ambil Alih Fungsi Penyidikan
Senin, 05 Oktober 2020 - 21:30 WIB
JAKARTA - Pakar Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho berpendapat jaksa tidak bisa mengambil alih fungsi penyelidikan dan penyidikan dari institusi Polri dalam revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam membuat suatu peraturan, apalagi Undang-undang itu harus ada ketegasan dan tidak menimbulkan multitafsir.
Dirinya melihat spirit dari Undang-undang Kejaksaan yakni menetapkan fungsi jaksa sebagai lembaga pengendali perkara atau asas dominus litis. Dia menambahkan, jaksa dalam pengendali perkara bukan penyidik, tetapi bisa mengontrol perkara mulai dari tingkat penyidikan sampai tingkat penuntutan. Alhasil, perkara-perkara yang terjadi ada suatu kejelasan jangan sampai ada perkara di tingkat penyidikan hilang atau tidak terselesaikan. “Ini paling tidak, jaksa itu bisa memahami dan mengetahui dimana, apakah punya kewenangan penyidik menghentikan atau tidak, apakah diteruskan atau tidak. Ini yang harus dipahami, menurut saya spirit dari UU itu. Jadi, bukan terus mengambilalih,” ujar Hibnu kepada wartawan, Senin (5/10/2020). (Baca juga: RUU Kejaksaan Dinilai Ingin Jadikan Jaksa Superbody)
Maka itu, menurut dia, jaksa tidak bisa mengambil alih kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Dia menjelaskan, kewenangan penyidikan itu tetap ada di Kepolisian Republik Indonesia. Namun, kewenangan sebagai koordinasi hasil penyidikan itu yang harus diketahui jaksa. “Jangan sampai ada suatu kesan ini mengambil alih fungsi polisi, tidak boleh. Jaksa itu sebagai penuntut umum. Tapi sebagai penuntut umum kan menerima berkas dari penyidik, bagaimana berkas penyidik itu betul-betul mempunyai nilai di dalam pembuktian. Di sini perlu duduk bersama batasan kewenangan-batasan yang terjadi tadi,” ujarnya. (Baca juga: Pakar Hukum Ini Tak Sepakat RUU Kejaksaan Dahulukan RKUHP)
Sebab, dia menegaskan sistem hukum di Indonesia itu due process the law, yakni ada penyidik, penuntut umum dan pengadilan. Di dalam pemeriksaan pendahuluan itu ada dua lembaga, yakni penyidik dan penuntut umum yang dinamakan pra penuntutan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Nah ini yang harus diselaraskan. Biasanya kalau RUU kan tambah kewenangannya, cuma penambahan itu jangan sampai menabrak dari kewenangan lembaga yang sudah ada,” ungkapnya.
Sekadar diketahui, dalam Pasal 1 ayat (1) Draf Rancangan Undang-undang Kejaksaan, disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Rico Afrido Simanjuntak
Dirinya melihat spirit dari Undang-undang Kejaksaan yakni menetapkan fungsi jaksa sebagai lembaga pengendali perkara atau asas dominus litis. Dia menambahkan, jaksa dalam pengendali perkara bukan penyidik, tetapi bisa mengontrol perkara mulai dari tingkat penyidikan sampai tingkat penuntutan. Alhasil, perkara-perkara yang terjadi ada suatu kejelasan jangan sampai ada perkara di tingkat penyidikan hilang atau tidak terselesaikan. “Ini paling tidak, jaksa itu bisa memahami dan mengetahui dimana, apakah punya kewenangan penyidik menghentikan atau tidak, apakah diteruskan atau tidak. Ini yang harus dipahami, menurut saya spirit dari UU itu. Jadi, bukan terus mengambilalih,” ujar Hibnu kepada wartawan, Senin (5/10/2020). (Baca juga: RUU Kejaksaan Dinilai Ingin Jadikan Jaksa Superbody)
Maka itu, menurut dia, jaksa tidak bisa mengambil alih kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Dia menjelaskan, kewenangan penyidikan itu tetap ada di Kepolisian Republik Indonesia. Namun, kewenangan sebagai koordinasi hasil penyidikan itu yang harus diketahui jaksa. “Jangan sampai ada suatu kesan ini mengambil alih fungsi polisi, tidak boleh. Jaksa itu sebagai penuntut umum. Tapi sebagai penuntut umum kan menerima berkas dari penyidik, bagaimana berkas penyidik itu betul-betul mempunyai nilai di dalam pembuktian. Di sini perlu duduk bersama batasan kewenangan-batasan yang terjadi tadi,” ujarnya. (Baca juga: Pakar Hukum Ini Tak Sepakat RUU Kejaksaan Dahulukan RKUHP)
Sebab, dia menegaskan sistem hukum di Indonesia itu due process the law, yakni ada penyidik, penuntut umum dan pengadilan. Di dalam pemeriksaan pendahuluan itu ada dua lembaga, yakni penyidik dan penuntut umum yang dinamakan pra penuntutan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Nah ini yang harus diselaraskan. Biasanya kalau RUU kan tambah kewenangannya, cuma penambahan itu jangan sampai menabrak dari kewenangan lembaga yang sudah ada,” ungkapnya.
Sekadar diketahui, dalam Pasal 1 ayat (1) Draf Rancangan Undang-undang Kejaksaan, disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Rico Afrido Simanjuntak
(cip)
tulis komentar anda