Portal A Gama, 'Menggagahi Warisan, Menggilai Siborg'
Sabtu, 03 Oktober 2020 - 12:15 WIB
MENCARI. Inilah verba definit yang mengunci Haidar-Ulil. Membaca Haidar, mengulik Ulil dalam kitab tipis ini ibarat mengelap-lap sengkarut agama dan sains sejak bahela hingga kiwari dengan a gama. Tak ada seteru agama versus sains ataupun sebaliknya, meski Haidar-Ulil “terpaksa emosional” membariskan kitab-kitab babon literasi dari lumbung rak baca.
Sepintas kitab anggitan Haidar-Ulil ini ajang pamer kitab-kitab primer. Betapa tidak! Diksi sumir a gama menjadi perebutan gimik manusia-manusia beradab lintas generasi, antarilmu, antarintelektual ribuan tahun silam hingga kiwari. (Baca: Amalan Ringan yang Bisa Jadi Sebab Turunnya Rahmat Allah)
Diksi a dan gama laksana portal. A berarti “tidak”. Gama berarti “kacau”. Agama dapat dicerna sebagai upaya manusia untuk menghindari kekacauan. Agama adalah simpul kompleks yang mencegah kekacauan.
Sebermula tak bisa ingkar dari pertikaian antara mazhab dan sekte dalam sejarah agama-agama Semitik (Kristen dan Islam). Eropa terluka karena 30 tahun perang agama pada abad ke-17, yaitu kecamuk di Jerman akibat reformasi Protestan. Alih-alih, Islam pun terluka karena konflik Sunni-Syi’ah dengan simbah darah baik pada era klasik maupun modern.
Mengapa ajaran Tuhan, yang dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan damai di bumi, justru memicu perang berdarah-darah? Salah satu jawabannya karena agama cuma dipandang sebagai warisan dari para canggah bahela. Jebakannya untuk manusia abad ke-21 (siborg) adalah formalisme agama.
Artinya, manusia kini sekadar melirik agama sebagai seperangkat aturan dan ritual yang harus dipatuhi tanpa paham pendalaman. Jatuhlah agama sebatas larangan sekaligus upacara yang miskin makna. (Baca juga: Ini Makanan yang Baik dan Tidak untuk Jantung)
Dangkal dan sempit makna sehingga gampang dipelintir dan diumbar demi niat liyan. Benteng terakhir, agama dijadikan alasan untuk kemalasan berpikir hingga kejam terhadap perbedaan yang plural. Jika agama cuma digagahi sebagai warisan, justru agama akan membunuh akal sehat dan pemikiran kritis.
Haidar-Ulil pun sepakat dengan Reza AA Wattimena (2020) bahwa kita harus memaknai agama dengan cara tergres, yaitu agama sebagai pencarian. Sebagai pencari, manusia beragama harus meninggalkan ihwal usang yang tak lagi gayut dengan karakter zaman.
Sebagai pencari, akal sehat dan hati nurani menjadi pandom atau milestone jalan utama. Pencarian, di sinilah satu titik biang ricuh. Sains diklaim penunggangnya? Pandemi Covid-19 menjadi riak keciknya? Toh, Haidar-Ulil menegasikannya, tidak!
Sepintas kitab anggitan Haidar-Ulil ini ajang pamer kitab-kitab primer. Betapa tidak! Diksi sumir a gama menjadi perebutan gimik manusia-manusia beradab lintas generasi, antarilmu, antarintelektual ribuan tahun silam hingga kiwari. (Baca: Amalan Ringan yang Bisa Jadi Sebab Turunnya Rahmat Allah)
Diksi a dan gama laksana portal. A berarti “tidak”. Gama berarti “kacau”. Agama dapat dicerna sebagai upaya manusia untuk menghindari kekacauan. Agama adalah simpul kompleks yang mencegah kekacauan.
Sebermula tak bisa ingkar dari pertikaian antara mazhab dan sekte dalam sejarah agama-agama Semitik (Kristen dan Islam). Eropa terluka karena 30 tahun perang agama pada abad ke-17, yaitu kecamuk di Jerman akibat reformasi Protestan. Alih-alih, Islam pun terluka karena konflik Sunni-Syi’ah dengan simbah darah baik pada era klasik maupun modern.
Mengapa ajaran Tuhan, yang dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan damai di bumi, justru memicu perang berdarah-darah? Salah satu jawabannya karena agama cuma dipandang sebagai warisan dari para canggah bahela. Jebakannya untuk manusia abad ke-21 (siborg) adalah formalisme agama.
Artinya, manusia kini sekadar melirik agama sebagai seperangkat aturan dan ritual yang harus dipatuhi tanpa paham pendalaman. Jatuhlah agama sebatas larangan sekaligus upacara yang miskin makna. (Baca juga: Ini Makanan yang Baik dan Tidak untuk Jantung)
Dangkal dan sempit makna sehingga gampang dipelintir dan diumbar demi niat liyan. Benteng terakhir, agama dijadikan alasan untuk kemalasan berpikir hingga kejam terhadap perbedaan yang plural. Jika agama cuma digagahi sebagai warisan, justru agama akan membunuh akal sehat dan pemikiran kritis.
Haidar-Ulil pun sepakat dengan Reza AA Wattimena (2020) bahwa kita harus memaknai agama dengan cara tergres, yaitu agama sebagai pencarian. Sebagai pencari, manusia beragama harus meninggalkan ihwal usang yang tak lagi gayut dengan karakter zaman.
Sebagai pencari, akal sehat dan hati nurani menjadi pandom atau milestone jalan utama. Pencarian, di sinilah satu titik biang ricuh. Sains diklaim penunggangnya? Pandemi Covid-19 menjadi riak keciknya? Toh, Haidar-Ulil menegasikannya, tidak!
Lihat Juga :
tulis komentar anda