Formappi Menilai DPR Tak Anggap Serius Pandemi Covid-19
Jum'at, 02 Oktober 2020 - 14:30 WIB
JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di masa pandemi Covid-19 melorot. Ini karena paradigma serta cara kerja DPR dalam merencanakan kebijakan tidak berubah.
Peneliti senior Formappi, Lucius Karus mengatakan tidak melihat respons DPR yang menunjukkan bahwa pandemi ini merupakan sesuatu yang serius sejak pemerintah mengumumkan temuan kluster pertama penularan Covid-19. Jika DPR menganggap pandemi serius, idealnya DPR mengagendakan Rapat Paripurna Luar Biasa (Tata Tertib DPR, Pasal 229) untuk membicarakan kebijakan cepat yang harus diambil dalam menghadapi sekaligus mengatasi situasi dan dampak lanjutan pandemi.
Namun, yang terjadi malah sebaliknnya, DPR justru menunda rapat paripurna pembukaan MS III dari yang sebelumnya dijadwalkan pada 23 Maret menjadi 30 Maret. "Dengan menunda jadwal rapat paripurna pembukaan, DPR kehilangan momentum untuk menjadi penanggungjawab utama yang bersama pemerintah menentukan arah kehidupan berbangsa di tengah situasi pandemi," ujarnya kepada SINDOnews, Jumat (2/10/2020).
(Baca: Puan Maharani Akan Sampaikan Laporan Kinerja DPR)
Pada perkembangannya, sikap DPR dalam melihat pandemi tak ada bedanya dengan cara pandang mereka pada kondisi normal. Dalam banyak momentum, ketua DPR memang selalu mengingatkan fokus bangsa pada penanganan pandemi. Tetapi peringatan itu tak terlihat ditindaklanjuti setiap alat kelengkapan DPR melalui perumusan agenda kegiatan yang terfokus pada pandemi.
"Faktanya hanya mekanisme pelaksanaan sidang saja yang benar-benar berubah pada DPR sepanjang masa pandemi (dari pertemuan tatap muka ke daring). Tak terlihat adanya perubahan dalam perencanaan yang fokus pada upaya penanganan pandemi," katanya.
Maka tak mengherankan ketika sepanjang Masa Sidang III hingga sekarang, agenda kerja DPR masih melanjutkan rencana-rencana yang disusun sebelum kemunculan pandemi. Proses pembahasan RUU bahkan terlihat cenderung tak memedulikan situasi krisis akibat pandemi. Pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) justru dikebut seiring dengan terus meningkatnya jumlah rakyat yang tertular virus corona.
Padahal menurut Lucius, RUU ini merupakan agenda yang direncanakan sebelum masa pandemi dan tidak dirancang sebagai kebijakan yang khusus untuk mengatasi efek pandemi. Demikian halnya dengan RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Bea Meterai, RUU Minerba yang berhasil disahkan DPR selama masa pandemi ini.
"Bahwa DPR bisa menyelesaikan RUU-RUU Prioritas tersebut tetap perlu kita apresiasi. Akan tetapi menomorduakan upaya penanganan pandemi demi menyelesaikan RUU-RUU ini tentu bukan sesuatu yang pantas. Keselamatan rakyat harusnya menjadi yang pertama dan utama bagi DPR, karena demi kepentingan itulah mereka dipilih rakyat pada saat Pemilu," ungkapnya.
Peneliti senior Formappi, Lucius Karus mengatakan tidak melihat respons DPR yang menunjukkan bahwa pandemi ini merupakan sesuatu yang serius sejak pemerintah mengumumkan temuan kluster pertama penularan Covid-19. Jika DPR menganggap pandemi serius, idealnya DPR mengagendakan Rapat Paripurna Luar Biasa (Tata Tertib DPR, Pasal 229) untuk membicarakan kebijakan cepat yang harus diambil dalam menghadapi sekaligus mengatasi situasi dan dampak lanjutan pandemi.
Namun, yang terjadi malah sebaliknnya, DPR justru menunda rapat paripurna pembukaan MS III dari yang sebelumnya dijadwalkan pada 23 Maret menjadi 30 Maret. "Dengan menunda jadwal rapat paripurna pembukaan, DPR kehilangan momentum untuk menjadi penanggungjawab utama yang bersama pemerintah menentukan arah kehidupan berbangsa di tengah situasi pandemi," ujarnya kepada SINDOnews, Jumat (2/10/2020).
(Baca: Puan Maharani Akan Sampaikan Laporan Kinerja DPR)
Pada perkembangannya, sikap DPR dalam melihat pandemi tak ada bedanya dengan cara pandang mereka pada kondisi normal. Dalam banyak momentum, ketua DPR memang selalu mengingatkan fokus bangsa pada penanganan pandemi. Tetapi peringatan itu tak terlihat ditindaklanjuti setiap alat kelengkapan DPR melalui perumusan agenda kegiatan yang terfokus pada pandemi.
"Faktanya hanya mekanisme pelaksanaan sidang saja yang benar-benar berubah pada DPR sepanjang masa pandemi (dari pertemuan tatap muka ke daring). Tak terlihat adanya perubahan dalam perencanaan yang fokus pada upaya penanganan pandemi," katanya.
Maka tak mengherankan ketika sepanjang Masa Sidang III hingga sekarang, agenda kerja DPR masih melanjutkan rencana-rencana yang disusun sebelum kemunculan pandemi. Proses pembahasan RUU bahkan terlihat cenderung tak memedulikan situasi krisis akibat pandemi. Pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) justru dikebut seiring dengan terus meningkatnya jumlah rakyat yang tertular virus corona.
Padahal menurut Lucius, RUU ini merupakan agenda yang direncanakan sebelum masa pandemi dan tidak dirancang sebagai kebijakan yang khusus untuk mengatasi efek pandemi. Demikian halnya dengan RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Bea Meterai, RUU Minerba yang berhasil disahkan DPR selama masa pandemi ini.
"Bahwa DPR bisa menyelesaikan RUU-RUU Prioritas tersebut tetap perlu kita apresiasi. Akan tetapi menomorduakan upaya penanganan pandemi demi menyelesaikan RUU-RUU ini tentu bukan sesuatu yang pantas. Keselamatan rakyat harusnya menjadi yang pertama dan utama bagi DPR, karena demi kepentingan itulah mereka dipilih rakyat pada saat Pemilu," ungkapnya.
tulis komentar anda