Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19
Selasa, 29 September 2020 - 11:02 WIB
Kampanye berbasis pandemi
Tujuh tahapan terakhir mestinya sudah ada mapping mitigasi pilkada terhadap 270 daerah sehingga kebijakan yang diambil tepat dalam mengadaptasi Covid-19 saat ini. Covid-19 bukan untuk dihindari, tapi ditangani dengan baik dan tepat, itulah makna perlawanan terhadap Covid-19 itu, bukan dengan berbondong-bondong ikut kampanye ditempat umum dan terbuka.
Panwaslu, satpol PP dan aparat kepolisian menjadi garda terdepan dalam pengawasan, penertiban dan penegakan hukum di masa kampanye saat ini.
Sejatinya, secara norma hukum dengan status “kedaruratan” bencana nasional karena pandemi Covid-19 berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang telah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 sebagaimana ditegaskan dalam konsideran pertimbangannya memberi ruang penormaan teknis yang lebih fleksibel kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu agar lebih adaptif dengan situasi dan perkembangan Covid-19 tanpa mengabaikan kualitas pilkada, nilai-nilai demokrasi dan stabilitas nasional.
Merumuskan kebijakan dan norma hukum dalam pelaksanaan kampanye masih cara berpikir biasa-biasa saja, padahal keadaan sudah luar biasa. Ketentuan Pasal 57 dan Pasal 58 dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 masih membolehkan kampanye dengan pertemuan tatap muka, pertemuan terbuka, dan dialog yang melibatkan banyak orang, ratusan bahkan ribuan orang walau pengaturannya dibatasi maksimal 50 orang. Kenyataannya, pengaturan ini tidak efektif dan saran saya harus dilarang.
Kecenderungan peserta pilkada justru menyalahkan pemerintah dan penyelenggara pemilu yang dianggap tidak tegas, kurang sosialiasi dan minimnya pengawasan serta penegakan hukum.
Saya pun senyum-senyum dengar alasan peserta pilkada tersebut. Prinsip kampanye kan menyampaikan pesan politik kepada masyarakat. Pertemuannya sendiri adalah wadah untuk menyampaikan pesan sementara pilihan wadahnya banyak jenis dengan pola dan kreasi inovatif bermacam bentuk. Jadi melarang pertemuan bukanlah melarang kampanye tapi hanya memilih bentuk lainnya.
Beberapa waktu ke depan akan dilaksanakan debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon. Suasana yang tergambarkan oleh saya adalah diskusi terbatas oleh pasangan calon dan panelis saja selain moderator. Selebihnya saksikan di rumah masing-masing dan tim kampanye disilahkan membuat kesimpulan pokok-pokok pikiran calon lalu disebar ke publik atau pemilih didaerahnya.
Memang, tim kampanye dituntut lebih kreatif dan inovatif membuat konten dan metode efektif berkampanye ditengah pandemi terutama di platform media sosial.
Dibutuhkan model kampanye yang luar biasa dan metode “door to door” masih menjadi pilihan terbaik dalam kampanye ditengah pandemi karena suasana kekeluargaan, sangat pribadi dan bebas mengeluarkan jurus-jurus meyakinkan pemilih tanpa gangguan dari calon lain atau tim kampanye lainnya.
Tujuh tahapan terakhir mestinya sudah ada mapping mitigasi pilkada terhadap 270 daerah sehingga kebijakan yang diambil tepat dalam mengadaptasi Covid-19 saat ini. Covid-19 bukan untuk dihindari, tapi ditangani dengan baik dan tepat, itulah makna perlawanan terhadap Covid-19 itu, bukan dengan berbondong-bondong ikut kampanye ditempat umum dan terbuka.
Panwaslu, satpol PP dan aparat kepolisian menjadi garda terdepan dalam pengawasan, penertiban dan penegakan hukum di masa kampanye saat ini.
Sejatinya, secara norma hukum dengan status “kedaruratan” bencana nasional karena pandemi Covid-19 berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang telah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 sebagaimana ditegaskan dalam konsideran pertimbangannya memberi ruang penormaan teknis yang lebih fleksibel kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu agar lebih adaptif dengan situasi dan perkembangan Covid-19 tanpa mengabaikan kualitas pilkada, nilai-nilai demokrasi dan stabilitas nasional.
Merumuskan kebijakan dan norma hukum dalam pelaksanaan kampanye masih cara berpikir biasa-biasa saja, padahal keadaan sudah luar biasa. Ketentuan Pasal 57 dan Pasal 58 dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 masih membolehkan kampanye dengan pertemuan tatap muka, pertemuan terbuka, dan dialog yang melibatkan banyak orang, ratusan bahkan ribuan orang walau pengaturannya dibatasi maksimal 50 orang. Kenyataannya, pengaturan ini tidak efektif dan saran saya harus dilarang.
Kecenderungan peserta pilkada justru menyalahkan pemerintah dan penyelenggara pemilu yang dianggap tidak tegas, kurang sosialiasi dan minimnya pengawasan serta penegakan hukum.
Saya pun senyum-senyum dengar alasan peserta pilkada tersebut. Prinsip kampanye kan menyampaikan pesan politik kepada masyarakat. Pertemuannya sendiri adalah wadah untuk menyampaikan pesan sementara pilihan wadahnya banyak jenis dengan pola dan kreasi inovatif bermacam bentuk. Jadi melarang pertemuan bukanlah melarang kampanye tapi hanya memilih bentuk lainnya.
Beberapa waktu ke depan akan dilaksanakan debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon. Suasana yang tergambarkan oleh saya adalah diskusi terbatas oleh pasangan calon dan panelis saja selain moderator. Selebihnya saksikan di rumah masing-masing dan tim kampanye disilahkan membuat kesimpulan pokok-pokok pikiran calon lalu disebar ke publik atau pemilih didaerahnya.
Memang, tim kampanye dituntut lebih kreatif dan inovatif membuat konten dan metode efektif berkampanye ditengah pandemi terutama di platform media sosial.
Dibutuhkan model kampanye yang luar biasa dan metode “door to door” masih menjadi pilihan terbaik dalam kampanye ditengah pandemi karena suasana kekeluargaan, sangat pribadi dan bebas mengeluarkan jurus-jurus meyakinkan pemilih tanpa gangguan dari calon lain atau tim kampanye lainnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda