Ketangguhan UMKM
Selasa, 22 September 2020 - 07:34 WIB
Bisa jadi Covid-19 mengajarkan bahwa UMKM menjadi pelaku ekonomi yang relatif tahan banting. Warung tetap buka kendati konsumennya banyak yang menggunakan online untuk belanja di pedagang besar. Pedagang keliling tetap setia mengunjungi pelanggannya yang ketakutan jika belanja di warung. Pedagang kaki lima juga tetap bertahan walaupun ancaman bahaya wabah mengancam nyawanya. Dengan demikian, responsivitas aparat pemerintah seperti Sharbrough (2015) tuliskan menjadi penting agar pihak-pihak rentan seperti itulah yang menjadi prioritas.
Sensitivitas masih belum cukup jika tidak didasari kesanggupan berkorban serta tanggungjawab sosial seperti Mintzberg (1992) paparkan. Dengan tanggungjawab sosial, usaha kecil yang perjuangkan untuk bisa bertahan dan berkembang. Bisa jadi tidak banyak yang dikawal untuk terus maju. Konsepsi bapak/ibu asuh bisa dikembangkan agar yang telah berhasil menjadi mentor bagi usaha lain sejenis untuk terus berkembang juga. Yang dimentori dan berhasil berkewajiban menjadi mentor bagi yang lainnya dan demikian seterusnya.
Pola diatas menunjukkan jika tanggungjawab sosial tidak hanya monopoli pemerintah, namun ditularkan kepada pelaku ekonomi lemah agar mampu menjadi kekuatan besar dalam perekonomian nasional. Membangun kekuatan pelaku ekonomi ini, pastilah berat pada permulaan, namun menjadi ringan jika seluruh tugas pemerintah diinternalisasikan kepada mereka juga. Dengan pemahaman tersebut, pelaku ekonomi ini menjadi subyek yang mengemban tanggung jawab untuk terus berkembang dan membawa kemajuan bagi yang lainnya. Dengan demikian, persepsi yang menempatkan kelompok tersebut beban dan obyek patut diubah.
Reposisi diatas tidak mudah dibangun. Persepsi jika pemerintah pemberi dan UMKM penerima patut diubah terlebih dahulu. Melalui aturan yang ada, mindset pun diubah juga agar penghargaan atas jerih payah kelompok usaha tersebut terbangun juga. Bisa jadi untuk itu ada sanksi yang diberikan pemerintah kepada aparaturnya. Dengan sanksi terhadap pihak-pihak yang merendahkan UMKM, maka nilai pun dapat menguat didalamnya untuk kemudian diprilakukan bersama seperti Rokeach (1984) tuliskan.
Dalam membangun mindset yang ajeg, sejumlah pihak menjadi penting terlibat. Akademisi sangatlah penting untuk dilibatkan agar kajian-kajian yang berkaitan dengan usaha kecil terus disampaikan kepada pelakunya. Dengan komunikasi yang egaliter, pelaku usaha diajaknya untuk menyikapi sejumlah temuannya. Boleh jadi antisipasi atas kajian akademisi memerlukan bantuan pengusaha dan perbankan untuk persoalan teknis dan bantuan modal. Bisa juga perlu media agar bisa diketahui lebih banyak pasarnya, dan masyarakat sebagai kontrol sekaligus konsumen.
Keterikatan semuanya menjadi perlu agar pengusaha kecil tersebut memiliki mental yang tangguh dan tekad untuk maju yang kuat. Dengan gotong royong, ketangguhan UMKM harus semakin kuat agar menjadi mitra tangguh pengusaha besar sekaligus mengurangi beban pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Semoga!
Sensitivitas masih belum cukup jika tidak didasari kesanggupan berkorban serta tanggungjawab sosial seperti Mintzberg (1992) paparkan. Dengan tanggungjawab sosial, usaha kecil yang perjuangkan untuk bisa bertahan dan berkembang. Bisa jadi tidak banyak yang dikawal untuk terus maju. Konsepsi bapak/ibu asuh bisa dikembangkan agar yang telah berhasil menjadi mentor bagi usaha lain sejenis untuk terus berkembang juga. Yang dimentori dan berhasil berkewajiban menjadi mentor bagi yang lainnya dan demikian seterusnya.
Pola diatas menunjukkan jika tanggungjawab sosial tidak hanya monopoli pemerintah, namun ditularkan kepada pelaku ekonomi lemah agar mampu menjadi kekuatan besar dalam perekonomian nasional. Membangun kekuatan pelaku ekonomi ini, pastilah berat pada permulaan, namun menjadi ringan jika seluruh tugas pemerintah diinternalisasikan kepada mereka juga. Dengan pemahaman tersebut, pelaku ekonomi ini menjadi subyek yang mengemban tanggung jawab untuk terus berkembang dan membawa kemajuan bagi yang lainnya. Dengan demikian, persepsi yang menempatkan kelompok tersebut beban dan obyek patut diubah.
Reposisi diatas tidak mudah dibangun. Persepsi jika pemerintah pemberi dan UMKM penerima patut diubah terlebih dahulu. Melalui aturan yang ada, mindset pun diubah juga agar penghargaan atas jerih payah kelompok usaha tersebut terbangun juga. Bisa jadi untuk itu ada sanksi yang diberikan pemerintah kepada aparaturnya. Dengan sanksi terhadap pihak-pihak yang merendahkan UMKM, maka nilai pun dapat menguat didalamnya untuk kemudian diprilakukan bersama seperti Rokeach (1984) tuliskan.
Dalam membangun mindset yang ajeg, sejumlah pihak menjadi penting terlibat. Akademisi sangatlah penting untuk dilibatkan agar kajian-kajian yang berkaitan dengan usaha kecil terus disampaikan kepada pelakunya. Dengan komunikasi yang egaliter, pelaku usaha diajaknya untuk menyikapi sejumlah temuannya. Boleh jadi antisipasi atas kajian akademisi memerlukan bantuan pengusaha dan perbankan untuk persoalan teknis dan bantuan modal. Bisa juga perlu media agar bisa diketahui lebih banyak pasarnya, dan masyarakat sebagai kontrol sekaligus konsumen.
Keterikatan semuanya menjadi perlu agar pengusaha kecil tersebut memiliki mental yang tangguh dan tekad untuk maju yang kuat. Dengan gotong royong, ketangguhan UMKM harus semakin kuat agar menjadi mitra tangguh pengusaha besar sekaligus mengurangi beban pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Semoga!
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda