Serangan Nine Eleven yang Menggoncang Dunia (Bagian 5)

Sabtu, 19 September 2020 - 17:47 WIB
Sharif El-Gamal datang ke US dari Mesir ketika masih berumur sekitar 5 tahun. Sebagaimana lazimnya banyak imigran lainnya, Sharif tumbuh tidak terlalu peduli dengan agama. Tapi dia sukses dan menjadi bisnisman di bidang properti. Sebelum 9/11 Sharif hampir tidak pernah sholat, bahkan Jumatan. Hingga terjadilah 9/11 itu di mana Islam diekspos secara buruk (ugly exposure). Rupanya rasa kepemilikan di hatinya itu masih ada. Dia merasa bahwa agama ini adalah agamanya. Dan dia adalah bagian dari Komunitas Muslim. Mulailah dia hadir di Jumatan di kawasan Downtown dekat WTC saat itu. Masjid di mana dia Jumatan saat itu bernama Masjid Manhattan. Imamnya kebetulan dekat dengan kami juga. Imam Mustafa dari Mesir.

Ketika Jumatan masjid itu membludak hingga ke tangga dan pinggir jalan. Suatu ketika Sharif terlambat dan hanya sholat di pinggir jalan berdebu. Saat itulah tiba-tiba di benaknya ada keinginan untuk membeli gedung yang baik untuk dijadikan masjid. Singkat cerita dia membeli sebuah gedung yang tadinya dimiliki oleh perusahaan Bloomingdales. Dan letaknya sangat strategi karena hanya dua blok dari lokasi Ground Zero. Gedung itu beliau beli secara tunai 4 juta US$.

Sebagai bisnisman yang visioner Sharif memiliki rencana besar dengan gedung itu. Yaitu ingin membangun sebuah Islamic Center yang lengkap. Termasuk dapur/restoran, Kolam renang, bahkan musium WTC dan Islam Amerika. Tentu termasuk di dalamnya masjid. Perkiraan harga yang diperlukan mencapai ratusan US Dollar saat itu.

Sayang ketika niat mulia itu dimulai terjadi eksposur yang tidak proporsional. Sebagian bahkan menjadikannya sebagai isu politik alias dipolitisir. Maka hebohlah New York bahkan Amerika. Terjadi resistensi keras terhadap rencana pendirian Islamic Center itu. Itu hanya satu contoh betapa di tengah tantangan Islamophobia pasca 9/11 itu justeru menjadi awal penyadaran Islam kepada orang-orang Islam sendiri. Orang seperti Sharif El-Gamal ini berbalik dari tidak peduli agama menjadi pejuang agama.

Mengganti Nama

Akan tetapi pada sisi lain, betapa tidak sedikit juga orang-orang Islam di Amerika yang “over worried” (ketakutan berlebihan) sehingga mereka merasa dipaksa untuk menyembunyikan identitas keislamannya. Ada beberapa wanita yang menanggalkan jilbab. Padahal dukungan sebagian warga Amerika saat itu luar biasa. Di beberapa universitas mahasiswi-mahasiswi non Muslims yang sengaja memakai hijab atau jilbab untuk sekedar memberikan dukungan (solidaritas) kepada wanita-wanita Muslimah.

Ada juga yang selama ini menganggap janggut sebagai simbol keislaman dan kebanggaan baginya, kini mereka mencukur habis janggutnya. Atau mennganti style pakaian mereka dari pakaian traditional Asia Selatan misalnya (shalwar gamiz) ke pakaian ala Texas (Jeans). Bahkan tidak sedikit orang Islam ketika itu merasa harus mengganti nama untuk menyembunyikan identitas keislamannya. Dari Daud menjadi David. Yunus menjadi Jones, Musa menjadi Moses, bahkan Mohammad menjadi Mo.

Ada cerita lucu yang biasa saya sampaikan di mana-mana. Sekitar sebulan setelah serangan 9/11 saya diundang menjadi salah seorang pembicara tentang hubungan antar agama pasca 9/11 di Princeton University. Sebuah acara yang cukup mendebarkan hati saya. Maklum saya akan mewakili Islam yang saat itu dituduh sebagai agama teror.

Sebelum masuk kampus Saya sempatkan singgah di sebuah kedai Dunkin Donat untuk sekedar membeli segelas kopi. Ketika masuk di kedai itu saya melihat pelayannya seorang pria berwajah Pakistan. Tapi di nama pengenalnya (name tag) bertuliskan “MO”. Mirip nama China.

Ketika saya akan membayar kopi itu saya saya mengulurkan tangan menyerahkan uangnya sambil bertanya: “what is your name?” (Siapa namamu?”.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More