Empat Alasan Kartu Prakerja Sebaiknya Dihentikan dan Diganti BLT

Senin, 04 Mei 2020 - 14:04 WIB
"Kalaupun Pemerintah tetap ngotot mau bikin pelatihan, karena materi pelatihan itu dianggap penting, apa masuk akal biaya pelatihan online menyedot anggaran hingga Rp5,6 triliun? Jangan lupa, duit sebesar itu habis hanya untuk membeli video tutorial. Ini kan tak masuk akal," ungkapnya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini menjelaskan, sebagai pembanding, anggaran TVRI dan RRI dalam APBN 2020 itu masing-masing hanya Rp1,2 triliun dan Rp1,3 triliun. Kalau anggaran beli video itu, katakanlah Rp500 miliar saja, atau bahkan kurang dari itu, diserahkan ke TVRI atau RRI untuk memproduksi siaran program pelatihan keterampilan dan kewirausahaan, saya kira bukan hanya 5,6 juta target Kartu Prakerja saja yang bisa menontonnya, tapi juga 270 juta masyarakat Indonesia.

"Bahkan, mereka tak perlu beli pulsa, kuota, atau memiliki ponsel Android untuk bisa mengakses. Jadi, menurut saya, skema program ini memang bermasalah. Ketiga, validasi data lemah. Penerima bantuan Kartu Prakerja ini tak jelas kriteria dan parameternya," jelasnya.

"Semua orang bisa mendaftar dan semuanya bisa mengaku berhak menerima bantuan. Seleksi juga bersifat random saja, tidak melibatkan verifikasi data atau sejenisnya. Menurut saya, penggunaan anggaran negara seharusnya tidak boleh gegabah seperti itu. Potensi penyelewengan jadi besar sekali," tambahnya.

Keempat kata Fadli Zon, mitra tidak kompeten. Delapan perusahaan yang jadi mitra Kartu Prakerja ini, sebagai marketplace, mungkin kompeten. Tapi tidak di soal materi yang dilatihkan.

"Misalnya, apa kompetensi Ruang Guru sehingga bisa memberi pelatihan serta sertifikasi keahlian jurnalistik pada orang lain? Bagaimana bisa peserta ditawari pelatihan mancing oleh perusahaan mitra? Apalagi, semua materi yang ditawarkan hanyalah tutorial dasar, yang bisa dicari gratis di internet atau ditonton di Youtube. Itu menunjukkan inkompetensi mitra yang ditunjuk," tuturnya,

Lagi pula menurut dia, sebagai program pemerintah yang terkait dengan dunia usaha, program ini sama sekali tak melibatkan asosiasi dunia usaha, seperti KADIN (Kamar Dagang dan Industri), HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), asosiasi UMKM atau Koperasi. Padahal, mereka adalah 'user' dari peserta program Kartu Prakerja.

"Dengan empat catatan itu, saya kira program Kartu Prakerja ini sebaiknya dihentikan. Sesudah gelombang keempat, seharusnya Pemerintah mengevaluasi besar-besaran program ini dan mengalihkannya jadi sepenuhnya program BLT. Jika program ini diteruskan hingga gelombang ke-30, sesuai rencana semula, saya ingin mengingatkan Presiden kalau program ini bisa menjadi persoalan hukum dan politik di kemudian hari. Apalagi, banyak kalangan kini sudah mencium bau amis program ini. Mereka berpendapat program ini salah sasaran serta harus dihentikan," kata Fadli Zon.

Ditegaskan Fadli, di tengah pandemi ini, Pemerintah harus memperluas pemberian BLT. Jika segmen-segmen lain sudah di-cover oleh program bansos (bantuan sosial), maka untuk mereka yang baru saja kehilangan pekerjaan atau pendapatan, anggaran Kartu Prakerja ini bisa dialihkan ke situ.

Menurut data KADIN, jumlah korban PHK saat ini bisa mencapai 15 juta orang. Angka ini jauh lebih besar dari data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada 20 April lalu yang hanya mencatat 2,8 juta jiwa. Sebagai catatan, angka 15 juta itu sudah menghitung para pekerja di sektor UMKM yang juga terkena dampak pandemi. Realitasnya bisa saja korban PHK lebih besar dari 15 juta karena hampir mayoritas sektor kerja baik formal maupun informal terdampak Covid-19.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More