Bu Tejo dan Satire Pilkada

Jum'at, 11 September 2020 - 07:00 WIB
Kuntjoroningrat (1990), menjelaskan bahwa budaya yang baik dapat merekatkan kembali masyarakat akibat adanya perbedaan di tengah masyarakat. Masyarakat dan para politisi harus menyadari bahwa budaya yang baik bukan untuk di eksploitasi demi mengumpulkan masa maupun kepentingan kampanye lainnya. Kerap kali kampanye politik pada masa pilkada menggunakan ‘modus’ menumpangi budaya yang baik demi tercapainya tujuan politik. Seperti lumrah disaksikan pada masa kampanye adanya kegiatan bakti sosial, kegiatan ibadah bersama, termasuk berbagai kegiatan yang mengeksploitasi empati masyarakat.

Sebagaimana dapat disaksikan dalam film Tilik bahwa budaya tilik yang seharusnya menjadi momen yang baik untuk membuat warga semakin erat justru kegiatan tilik membuat warga terbelah. Situasi tersebut secara reflektif menggambarkan kondisi masyarakat yang terbelah karena kontestasi politik. Hal ini dapat terjadi karena budaya baik yang seharusnya dipergunakan sebagai sarana membuat masyarakat semakin erat dan membentuk paguyuban di tengah masyarakat dieksploitasi demi kepentingan politik yang justru membuat masyarakat terbelah karena perbedaan pilihan politik. Masyarakat dalam hal ini perlu menyadari bahwa budaya yang baik perlu dilakukan secara tulus tanpa modus demi eratnya masyarakat dan agar tidak terbelah dengan adanya agenda politik seperti pilkada.

Pada aspek lainnya film Tilik memberi kesadaran bahwa masyarakat Indonesia sejatinya memiliki budaya yang baik untuk saling menjadi bagian satu sama lain, dalam konteks filosofis budaya tilik terbentuk karena masyarakat saling menjadi bagian satu sama lain. Hal tersebut merupakan salah satu ciri masyarakat paguyuban yang memiliki kebersamaan yang tinggi dan hubungan yang erat satu sama lain. Kondisi seharusnya merupakan modal yang baik bagi masyarakat untuk memiliki kebersamaan yang baik untuk tidak terpecah belah karena adanya agenda politik seperti pilkada yang akan dilaksanakan.

Sebaliknya film Tilik juga memberikan kesadaran bahwa cara berpolitik dan cara menyajikan kontestasi politik di Indonesia masih melakukan eksploitasi dan sabotase terhadap budaya baik yang seharusnya dipergunakan untuk merekatkan masyarakat dari dampak terbelahnya masyarakat karena kontestasi politik. Masyarakat sebagai pemilih (voters) dan para politisi yang mengambil bagian dalam kontestasi politik perlu menyadari bahwa menyampaikan kebaikan bukan dengan melakukan eksploitasi dan sabotase terhadap budaya baik yang dimiliki oleh masyarakat.

Penggambaran karakter Bu Tejo digambarkan dengan sangat baik, terbukti dalam hal ini terjadi ‘keriuhan’ dan memancing komentar pro dan kontra masyarakat. Dalam hal ini sesungguhnya keriuhan masyarakat dan pro-kontra yang ada terkait karakter Bu Tejo dalam film Tilik justru akan memberi kesadaran pada masyarakat untuk kembali pada budaya yang baik, serta memanfaatkan budaya yang baik tersebut untuk membuat masyarakat semakin erat.

Film Tilik yang menjadi percakapan masyarakat belakangan ini justru dapat melahirkan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga budaya baik dan semangat paguyuban pada masa kontestasi politik, yakni gelaran pilkada yang segera dilaksanakan dan kini telah memasuki tahapan persiapan dan pendaftaran calon. Riuhnya komentar masyarakat saat ini terkait karakter Bu Tejo dalam film Tilik sesungguhnya secara sosiologis berdampak positif pada masyarakat untuk melahirkan kesadaran akan budaya baik sebagai budaya yang menyatukan dan menjaga masyarakat dari ancaman keterbelahan sebagai akibat adanya kontestasi politik.
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More