Pendekatan Damai Dinilai Efektif Hilangkan Nasionalisme Ganda Warga Papua
Kamis, 10 September 2020 - 20:20 WIB
JAKARTA - Penghilangan stigma dan perbaikan komunikasi melalui pendekatan damai serta membangun kesadaran dan kecintaan terhadap Indonesia dinilai mampu menghilangkan isu nasionalisme ganda masyarakat Papua. (Baca juga: LIPI: Dialog Damai dan Bermartabat Adalah Kunci Utama Integrasi Papua)
Hal itu disampaikan penulis buku Papua Road Map Adriana Elisabeth dalam webinar bertajuk “Adakah Nasionalisme Ganda Orang Papua?” yang digelar Keluarga Alumni Universitas Cendrawasih (KAMI-UNCEN). Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut dosen UNCEN dan peneliti sejarah Bernarda Meteray. Dubes RI Michael Menufandu dan Pada Rabu 9 September 2020. (Baca juga: Kepala Suku Jayawijaya Ajak Warga Tak Terprovokasi Agenda Politik Papua Merdeka)
Menurut Adriana, nasionalisme adalah sebuah ‘living process’, dinamis dan ditentukan oleh konteks dan kepentingan yang saling berkorelasi. Nasionalisme Eropa banyak memengaruhi kesadaran kebangsaan di banyak negara, terutama sejak Masa Pencerahan pada abad 17-18. Konsep nasionalisme bukan sederhana karena terdapat beberapa elemen pokok yang perlu dipahami, yaitu sistem kepercayaan, bangsa atau rakyat, kemerdekaan dan berdaulat atau kedaulatan. (Baca juga: Pendekatan Jokowi ke Papua Harus Ditopang dengan Iklim Demokrasi)
”Dalam perjalanannya, nasionalisme tidak selalu mulus, namun kerap menghadapi ketidakstabilan, misalnya karena ancaman intoleransi, terutama di dalam konteks keberagaman suku, etnis dan agama, kemudian juga karena adanya konflik sosial dan/atau gerakan pemisahan diri (seccesion) dan penentuan nasib sendiri (self-determination),” katanya.
Dalam konteks Papua, kata Adriana, nasionalisme Indonesia seolah-olah berhadapan dengan etnonasionalisme Papua. Hal ini terjadi karena Indonesia masih menghadapi tantangan karena adanya gerakan separatis Papua. Sementara bagi Papua, akar nasionalisme tumbuh karena pengalaman sejarah konflik, kekerasan, marjinalisasi ekonomi, diskriminasi rasial. (Baca juga: Prajurit Kostrad Ini Rawat Mbah Ompong yang Hidup Sebatang Kara di Papua)
”Menguatnya nasionalisme Papua juga dipengaruhi dinamika global, di mana isu Papua semakin dikenal publik bukan hanya di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Hal ini menjadikan konflik Papua menjadi salah satu jenis intra-strate conflict yang ada di dunia,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan Papua, baik secara khusus mengenai nasionalisme ataupun akar masalah yang telah ditulis di dalam buku Papua Road Map, 2009 (marjinalisasi dan diskriminasi, masalah pembangunan, kekerasan dan pelanggaran HAM, dan pro-kontra sejarah Papua), maka tidak ada cara yang instan yang dapat dilakukan, melainkan memerlukan proses perubahan sosial yang panjang.
”Oleh karena itu, salah satu pendekatan damai yang dapat dilakukan adalah membangun ‘negative peace’, di mana tidak ada lagi konflik kekerasan, bahkan perbaikan komunikasi harus dilakukan dengan cara menghilangkan stigma terhadap orang Papua maupun terhadap Pemerintah Indonesia,” ucapnya.
Selain itu, Papua memerlukan paradigma baru berbasis etnografi, di mana proses pembangunan perlu memberi ruang terjadinya pertukaran nilai secara baik, dan tidak memaksakan sebuah perubahan. ”Yang utama adalah membangun nasionalisme Papua berbasis kesadaran dan kecintaan Papua kepada Indonesia dengan memahami pergulatan hidup orang Papua. Dengan demikian, nasionalisme ganda Papua mungkin tidak akan menjadi isu lagi,” katanya.
Hal itu disampaikan penulis buku Papua Road Map Adriana Elisabeth dalam webinar bertajuk “Adakah Nasionalisme Ganda Orang Papua?” yang digelar Keluarga Alumni Universitas Cendrawasih (KAMI-UNCEN). Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut dosen UNCEN dan peneliti sejarah Bernarda Meteray. Dubes RI Michael Menufandu dan Pada Rabu 9 September 2020. (Baca juga: Kepala Suku Jayawijaya Ajak Warga Tak Terprovokasi Agenda Politik Papua Merdeka)
Menurut Adriana, nasionalisme adalah sebuah ‘living process’, dinamis dan ditentukan oleh konteks dan kepentingan yang saling berkorelasi. Nasionalisme Eropa banyak memengaruhi kesadaran kebangsaan di banyak negara, terutama sejak Masa Pencerahan pada abad 17-18. Konsep nasionalisme bukan sederhana karena terdapat beberapa elemen pokok yang perlu dipahami, yaitu sistem kepercayaan, bangsa atau rakyat, kemerdekaan dan berdaulat atau kedaulatan. (Baca juga: Pendekatan Jokowi ke Papua Harus Ditopang dengan Iklim Demokrasi)
”Dalam perjalanannya, nasionalisme tidak selalu mulus, namun kerap menghadapi ketidakstabilan, misalnya karena ancaman intoleransi, terutama di dalam konteks keberagaman suku, etnis dan agama, kemudian juga karena adanya konflik sosial dan/atau gerakan pemisahan diri (seccesion) dan penentuan nasib sendiri (self-determination),” katanya.
Dalam konteks Papua, kata Adriana, nasionalisme Indonesia seolah-olah berhadapan dengan etnonasionalisme Papua. Hal ini terjadi karena Indonesia masih menghadapi tantangan karena adanya gerakan separatis Papua. Sementara bagi Papua, akar nasionalisme tumbuh karena pengalaman sejarah konflik, kekerasan, marjinalisasi ekonomi, diskriminasi rasial. (Baca juga: Prajurit Kostrad Ini Rawat Mbah Ompong yang Hidup Sebatang Kara di Papua)
”Menguatnya nasionalisme Papua juga dipengaruhi dinamika global, di mana isu Papua semakin dikenal publik bukan hanya di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Hal ini menjadikan konflik Papua menjadi salah satu jenis intra-strate conflict yang ada di dunia,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan Papua, baik secara khusus mengenai nasionalisme ataupun akar masalah yang telah ditulis di dalam buku Papua Road Map, 2009 (marjinalisasi dan diskriminasi, masalah pembangunan, kekerasan dan pelanggaran HAM, dan pro-kontra sejarah Papua), maka tidak ada cara yang instan yang dapat dilakukan, melainkan memerlukan proses perubahan sosial yang panjang.
”Oleh karena itu, salah satu pendekatan damai yang dapat dilakukan adalah membangun ‘negative peace’, di mana tidak ada lagi konflik kekerasan, bahkan perbaikan komunikasi harus dilakukan dengan cara menghilangkan stigma terhadap orang Papua maupun terhadap Pemerintah Indonesia,” ucapnya.
Selain itu, Papua memerlukan paradigma baru berbasis etnografi, di mana proses pembangunan perlu memberi ruang terjadinya pertukaran nilai secara baik, dan tidak memaksakan sebuah perubahan. ”Yang utama adalah membangun nasionalisme Papua berbasis kesadaran dan kecintaan Papua kepada Indonesia dengan memahami pergulatan hidup orang Papua. Dengan demikian, nasionalisme ganda Papua mungkin tidak akan menjadi isu lagi,” katanya.
(cip)
tulis komentar anda