Pendekatan Jokowi ke Papua Harus Ditopang dengan Iklim Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diakui telah melakukan pendekatan terhadap Papua , baik dari sisi kebijakan nasional maupun daerah. Namun, pendekatan ini semestinya ditopang dengan iklim atau kran demokrasi yang lebih luas. Misalnya dengan menempatkan putra asli Papua di posisi strategis dan jabatan penting yang hingga kini masih kurang.
Analis politik dan kebijakan publik, Karyono Wibowo mengatakan, kasus di Papua bukan lagi merupakan persoalan rakyat di sana. Persoalan terbesar justru muncul dari kalangan elit, atau dengan kata lain konflik muncul antara elit dengan elit yang berkepentingan.
"Dugaan kuat, adanya konspirasi yang dimunculkan kalangan kelompok berkedok KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), propaganda untuk memecah belah rakyat Papua ," katanya dalam diskusi online bertema 'Indonesia Melihat Papua Nan Jauh di Sana' yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Universitas Islam Negeri (IJU) Jakarta, Senin (29/6/2020). Ikut hadir menjadi narasumber dalam diskusi tersebut Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB, Abdul Kadir Karding, Pengamat Intelijen Stanislaus Riyanta, dan Akademisi asal Papua, Siliwanus Tono.( )
Pada kesempatan itu, Stanislaus Riyanta menyoroti masalah keamanan dan ketertiban di Papua. Dia mencatat, setidaknya ada 23 kasus penembakan, dan sebagian besar dilakukan oleh KKB. Pada 2018 juga terjadi pembunuhan massal yang dilakukan kelompok tersebut.
Di sisi lain, medan atau geografis di Papua menjadi tantangan tersendiri bagi aparat keamanan yang bertugas di sana. Tak heran, kasus penangkapan atau pun penyerahan diri anggota KKB kerap diwarnai dengan barang bukti beberapa pucuk senjata.
Stanislaus melihat, sebenarnya isu rasialisme yang terjadi di Papua tidak benar terjadi. Isu ini hanya digunakan pihak-pihak tertentu untuk memperuncing keadaan. Apalagi kondisi itu masih ditambah dengan kemajuan teknologi atau pengaruh sosial media.( )
"Isu Papua ini mulai dinternasionalisasi oleh negara lain. Terkait masalah HAM di Papua, pemerintah masih tampak kewalahan mengatasi informasi-informasi yang berseliweran," ujarnya.
Maka itu, Stanislaus mendesak kepada DPR harus ada pembahasan UU Otonomi Khusus yang akan berakhir di tahun 2021. Dia meminta agar digulirkan kembali pembahasan UU tersebut. "Pendekatan sosial budaya sangat perlu dilakukan aparat TNI/Polri. Akan tetapi, perlu ada ketegasan dalam menangani persoalan ketertiban dan keamanan di Papua," katanya.
Siliwanus Tono, seroang akademisi asli Papua menyatakan bahwa nasionalisme masyarakat Papua terhadap NKRI tak perlu diragukan lagi. Dia pun melihat perhatian dan keberpihakan pemerintah kepada Papua, baik dalam sektor pemerataan pendidikan, fasilitas kesehatan, serta konektivitas pembangunan infrastruktur di Papua, misalnya Trans Papua dan lainnya sudah berjalan efektif. Namun, ia lebih menggarisbawahi tentang realisasi otonomi khusus yang belum sepenuhnya menyentuh masyarakat di sana.
"Persoalan serius yang harus menjadi perhatian Bersama, adalah UU Otonomi khusus. Harus dibahas kembali sehingga tidak menimbulkan polemik, tapi memberikan regulasi yang berpihak," kata Siliwanus.
Analis politik dan kebijakan publik, Karyono Wibowo mengatakan, kasus di Papua bukan lagi merupakan persoalan rakyat di sana. Persoalan terbesar justru muncul dari kalangan elit, atau dengan kata lain konflik muncul antara elit dengan elit yang berkepentingan.
"Dugaan kuat, adanya konspirasi yang dimunculkan kalangan kelompok berkedok KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), propaganda untuk memecah belah rakyat Papua ," katanya dalam diskusi online bertema 'Indonesia Melihat Papua Nan Jauh di Sana' yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Universitas Islam Negeri (IJU) Jakarta, Senin (29/6/2020). Ikut hadir menjadi narasumber dalam diskusi tersebut Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB, Abdul Kadir Karding, Pengamat Intelijen Stanislaus Riyanta, dan Akademisi asal Papua, Siliwanus Tono.( )
Pada kesempatan itu, Stanislaus Riyanta menyoroti masalah keamanan dan ketertiban di Papua. Dia mencatat, setidaknya ada 23 kasus penembakan, dan sebagian besar dilakukan oleh KKB. Pada 2018 juga terjadi pembunuhan massal yang dilakukan kelompok tersebut.
Di sisi lain, medan atau geografis di Papua menjadi tantangan tersendiri bagi aparat keamanan yang bertugas di sana. Tak heran, kasus penangkapan atau pun penyerahan diri anggota KKB kerap diwarnai dengan barang bukti beberapa pucuk senjata.
Stanislaus melihat, sebenarnya isu rasialisme yang terjadi di Papua tidak benar terjadi. Isu ini hanya digunakan pihak-pihak tertentu untuk memperuncing keadaan. Apalagi kondisi itu masih ditambah dengan kemajuan teknologi atau pengaruh sosial media.( )
"Isu Papua ini mulai dinternasionalisasi oleh negara lain. Terkait masalah HAM di Papua, pemerintah masih tampak kewalahan mengatasi informasi-informasi yang berseliweran," ujarnya.
Maka itu, Stanislaus mendesak kepada DPR harus ada pembahasan UU Otonomi Khusus yang akan berakhir di tahun 2021. Dia meminta agar digulirkan kembali pembahasan UU tersebut. "Pendekatan sosial budaya sangat perlu dilakukan aparat TNI/Polri. Akan tetapi, perlu ada ketegasan dalam menangani persoalan ketertiban dan keamanan di Papua," katanya.
Siliwanus Tono, seroang akademisi asli Papua menyatakan bahwa nasionalisme masyarakat Papua terhadap NKRI tak perlu diragukan lagi. Dia pun melihat perhatian dan keberpihakan pemerintah kepada Papua, baik dalam sektor pemerataan pendidikan, fasilitas kesehatan, serta konektivitas pembangunan infrastruktur di Papua, misalnya Trans Papua dan lainnya sudah berjalan efektif. Namun, ia lebih menggarisbawahi tentang realisasi otonomi khusus yang belum sepenuhnya menyentuh masyarakat di sana.
"Persoalan serius yang harus menjadi perhatian Bersama, adalah UU Otonomi khusus. Harus dibahas kembali sehingga tidak menimbulkan polemik, tapi memberikan regulasi yang berpihak," kata Siliwanus.