PBNU Minta Sertifikat Dai Dikeluarkan Ormas Keagamaan
Rabu, 09 September 2020 - 19:00 WIB
JAKARTA - Program penceramah bersertifikat menjadi polemik di tengah masyarakat. Ada yang setuju sebagai upaya memberikan standarisasi bagi penceramah dan juga peningkatan kapasitas, tapi tidak sedikit penolakan karena dikhawatirkan bakal ada intervensi dari pemerintah.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengatakan, sejak polemik mengenai sertifikasi dai ini muncul di era Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dirinya sudah menyampaikan bahwa jika tujuan sertifikasi dai ini dimaksudkan untuk peningkatan kapasitas dai maka hal itu sebaik langkah yang baik. "Ini agar para dai itu mempunyai kemampuan yang berstandar atau untuk di-upgrading agar jelas keilmuannya, itu adalah baik. Jadi NU mendukung itu dilaksanakan kalau tujuannya itu untuk upgrading," katanya.
Namun, Marsudi menegaskan bahwa jika sertifikasi itu dilakukan, pelaksananya bukan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI), tapi organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah atau Persis. "Misalnya orang NU ya disertifikasi oleh NU, orang Muhammadiyah ya disertifikasi oleh Muhammadiyah, orang Persis ya oleh Persis," tuturnya. ( )
Dengan begitu, jika nanti di lapangan ada hal-hal yang kurang tepat, maka pihak yang mengeluarkan sertifikat ada tanggung jawabnya. "Kenapa Anda keluarkan sertifikat, wong orangnya kayak gitu, misalnya. Itu memudahkan daripada dipegang oleh Kementerian Agama atau oleh MUI. Jadi ada yang bertanggung jawab penuh tentang keilmuan keagamaan yang sifatnya itu adalah ilmu ketuhanan yang silsilah keilmuannya saja itu harus nyambung sampai Tuhan, otoritatif Tuhan ketika ngomong keagamaan," katanya.
Bagaimana dengan penceramah yang bukan berasal dari latar belakang lembaga yang tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi, menurut Marsudi, mereka bisa menginduk kepada salah satu lembaga yang diberikan kewenangan mengeluarkan sertifikat.
Marsudi beralasan, sertifikasi dai diperlukan karena ke depan, orang membutuhkan profesionalisme yang terukur. Dia mencontohkan profesi dosen yang bisa mengajar S-1, mereka minimal harus berpendidikan S-2 atau magister. "Itu kan sertifikasi. Ini untuk menolong masyarakat agar kemampuan orang itu terukur. Jangan asal dipanggil ustaz. Kalau di NU sesungguhnya sertifikasi itu sudah ada sejak dulu. La wong keluar pesantren saja sudah bisa dilihat ini tamatan mana, Lirboyo? Berapa tahun (di pesantren)? Oh sekian, itu sudah sertifikasi," katanya. ( )
Mengenai adanya narasi bahwa sertifikasi dai dilakukan sebagai upaya menangkal paham radikalisme, Marsudi Syuhud mengatakan bahwa itu hanya alasan penyerta. Namun yang terpenting adalah adanya standarisasi keilmuan. "Bukan hanya orang belajar Al-Qurannya saja lewat Google, gitu kemudian jadi ustad yang penting bisa ndabrul gitu," tuturnya.
Dengan adanya sertifikasi dai, katanya, ke depan masyarakat akan semakin paham dengan kapasitas penceramah tersebut. "Pokoknya jangan diambil sertifikasi itu oleh pemerintah atau MUI, biarlah oleh organisasi masing-masing. Kalau dilakukan pemerintah atau MUI, macam-macam kelemahannya. Itu akan jadi bisnis tersendiri. Kalau NU kan, misalnya sudah tamatan (Ponpes) Tebuireng, itu kan sudah tahu kadarnya berapa itu. Dan nggak akan kuatlah pemerintah ngurusi sertifikasi jutaan orang. Sudahlah sistem yang sudah ada saja," katanya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengatakan, sejak polemik mengenai sertifikasi dai ini muncul di era Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dirinya sudah menyampaikan bahwa jika tujuan sertifikasi dai ini dimaksudkan untuk peningkatan kapasitas dai maka hal itu sebaik langkah yang baik. "Ini agar para dai itu mempunyai kemampuan yang berstandar atau untuk di-upgrading agar jelas keilmuannya, itu adalah baik. Jadi NU mendukung itu dilaksanakan kalau tujuannya itu untuk upgrading," katanya.
Namun, Marsudi menegaskan bahwa jika sertifikasi itu dilakukan, pelaksananya bukan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI), tapi organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah atau Persis. "Misalnya orang NU ya disertifikasi oleh NU, orang Muhammadiyah ya disertifikasi oleh Muhammadiyah, orang Persis ya oleh Persis," tuturnya. ( )
Dengan begitu, jika nanti di lapangan ada hal-hal yang kurang tepat, maka pihak yang mengeluarkan sertifikat ada tanggung jawabnya. "Kenapa Anda keluarkan sertifikat, wong orangnya kayak gitu, misalnya. Itu memudahkan daripada dipegang oleh Kementerian Agama atau oleh MUI. Jadi ada yang bertanggung jawab penuh tentang keilmuan keagamaan yang sifatnya itu adalah ilmu ketuhanan yang silsilah keilmuannya saja itu harus nyambung sampai Tuhan, otoritatif Tuhan ketika ngomong keagamaan," katanya.
Bagaimana dengan penceramah yang bukan berasal dari latar belakang lembaga yang tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi, menurut Marsudi, mereka bisa menginduk kepada salah satu lembaga yang diberikan kewenangan mengeluarkan sertifikat.
Marsudi beralasan, sertifikasi dai diperlukan karena ke depan, orang membutuhkan profesionalisme yang terukur. Dia mencontohkan profesi dosen yang bisa mengajar S-1, mereka minimal harus berpendidikan S-2 atau magister. "Itu kan sertifikasi. Ini untuk menolong masyarakat agar kemampuan orang itu terukur. Jangan asal dipanggil ustaz. Kalau di NU sesungguhnya sertifikasi itu sudah ada sejak dulu. La wong keluar pesantren saja sudah bisa dilihat ini tamatan mana, Lirboyo? Berapa tahun (di pesantren)? Oh sekian, itu sudah sertifikasi," katanya. ( )
Mengenai adanya narasi bahwa sertifikasi dai dilakukan sebagai upaya menangkal paham radikalisme, Marsudi Syuhud mengatakan bahwa itu hanya alasan penyerta. Namun yang terpenting adalah adanya standarisasi keilmuan. "Bukan hanya orang belajar Al-Qurannya saja lewat Google, gitu kemudian jadi ustad yang penting bisa ndabrul gitu," tuturnya.
Dengan adanya sertifikasi dai, katanya, ke depan masyarakat akan semakin paham dengan kapasitas penceramah tersebut. "Pokoknya jangan diambil sertifikasi itu oleh pemerintah atau MUI, biarlah oleh organisasi masing-masing. Kalau dilakukan pemerintah atau MUI, macam-macam kelemahannya. Itu akan jadi bisnis tersendiri. Kalau NU kan, misalnya sudah tamatan (Ponpes) Tebuireng, itu kan sudah tahu kadarnya berapa itu. Dan nggak akan kuatlah pemerintah ngurusi sertifikasi jutaan orang. Sudahlah sistem yang sudah ada saja," katanya.
(abd)
tulis komentar anda