Proses PJJ: Internet Tidak Ada, Pakai Radio Komunitas
Selasa, 08 September 2020 - 06:45 WIB
Sejenak lupakan persoalan internet dan HP dalam pelaksanaan PJJ dimasa Covid-19. Coba diskusi penggunaan media radio untuk PJJ antara siswa dengan guru. Meskipun RRI dan TVRI merupakan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) tetapi lumayan berat jika PJJ dilimpahkan hanya kepada RRI. Mengharapkan peran radio siaran swasta ikut serta melaksanakan PJJ, tampaknya, sulit. Tentu ada yang melakukan juga. Sebab dari yang terpublikasi mereka teriak bantuan pemerintah karena merasa berat bayar listrik dan gaji karyawan sementara pemasang iklan tiarap dulu. Pemanfaatan radio komunitas untuk PJJ perlu dipikirkan dan dimaksimalkan karena relatif murah, dekat kediaman pelajar, serta guru.
Atas inisiatif sendiri sejumlah radio komunitas di berbagai daerah sudah menyelenggarakan PJJ tetapi baru puluhan stasiun. Padahal jumlahnya menurut Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Sinam Mitro Sutarno, mencapai sekitar 457 stasiun radio di 22 provinsi Indonesia. Banyak belum ikutan karena sebagian besar lokasi radio komunitas di wilayah terjangkau internet sehingga guru dan siswa memanfaatkan PJJ online. Selain itu ada juga kendala dana. Tetapi ada warga berinisiatif membangun “radio komunitas darurat” untuk PJJ seperti di Tentena (Sulawesi Tengah), Lembata (Nusa Tenggara Timur), Pekalongan dan Pemalang (Jawa Tengah) serta Pringsewu (Lampung). Contoh di Desa Margosari Lampung, radio komunitas Putra Asli Margosari (PAM) FM diselenggarakan atas inisiatif petani muda setempat, Ikhwan, memberi ruang para guru di desa tersebut siaran mengajar dan sudah berjalan.
Peralatan satu stasiun radio komunitas sampai mengudara sekitar Rp15 juta sampai Rp25 juta menjangkau wilayah satu kecamatan. Mahal murahnya biaya tersebut relatif, tetapi masih kisaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sejumlah daerah. Radio komunitas tidak membutuhkan ruang besar, cukup 7,5 meter persegi sehingga dapat memanfaatkan ruang sekolah yang sekarang kosong atau di kantor kelurahan, Pos RW, rumah warga dan lainnya. Daya pancar radio komunitas sesuai ketentuan hanya 50 watt dengan penempatan khusus di frekuensi 107.7 FM, 107.8 FM, dan 107.9 FM dengan materi siaran program pendidikan dan budaya, informasi, hiburan serta dibolehkan iklan layanan masyarakat tetapi tidak iklan komersial. Izin tidak seketat radio siaran swasta niaga walaupun tetap “ribet” maka dalam kondisi bencana Covid-9 ini perlu pengertian dari pemerintah seperti KPI, balai monitor (Balmon) Kominfo dan lainnya.
Setelah stasiun radio komunitas mengudara bagaimana dengan radio penerimanya? Ada dua pengalaman dalam soal ini. Ketika membangun jaringan Radio Trijaya dan Radio Dangdut Indonesia di Sumatera Selatan tahun 2006, sebagai stasiun baru harus segera dikenal masyarakat. Ada tawaran dari seorang teman pedagang membeli radio kecil seukuran pisang goreng buatan China harganya Rp5000 per unit. Kemudian membagikan radio tersebut kepada sekitar 3000 pendengar, yang umumnya bekerja di ladang, kebun sawit, karet dan berjualan di pasar. Pengalaman lainnya, ketika bencana tsunami melanda Aceh tahun 2004, kru Trijaya Medan dan Jakarta diberangkatkan menuju lokasi bencana membangun stasiun radio darurat untuk menghibur korban bencana. Tidak ada jaringan listrik, pemancar menggunakan genset dan sebanyak 3.500 radio penerima siaran dari Persatuan Radio Swasta Niaga Nasional Indonesia (PRSSNI) dibagikan kepada warga. Karena toko penjual baterai juga lenyap akibat bencana maka radio yang dibagikan dilengkapi dinamo kecil dengan cara diengkol untuk mendapatkan daya listrik pengganti baterai, buatan Korea Selatan.
Dengan adanya radio komunitas di sekitar rumah tinggal siswa dan guru maka setiap saat proses belajar menggunakan radio bisa dilakukan. Lebih menguntungkan karena guru yang mengajar adalah guru dan siswa yang sudah saling mengenal. Untuk menambah pemahaman terhadap materi yang diajarkan sebelumnya radio komunitas bisa memutar rekaman berulang kali. Sehingga siswa yang tidak sempat mengikuti pelajaran tetap bisa mendengarkan rekaman dan yang belum paham bisa kembali mendengarkan. Untuk komunikasi pertanyaan belajar siswa bisa tulis pada kertas, mengirim ke studio radio tidak jauh dari rumah. Besok guru akan menjawab setelah membaca pertanyaan.
Atas inisiatif sendiri sejumlah radio komunitas di berbagai daerah sudah menyelenggarakan PJJ tetapi baru puluhan stasiun. Padahal jumlahnya menurut Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Sinam Mitro Sutarno, mencapai sekitar 457 stasiun radio di 22 provinsi Indonesia. Banyak belum ikutan karena sebagian besar lokasi radio komunitas di wilayah terjangkau internet sehingga guru dan siswa memanfaatkan PJJ online. Selain itu ada juga kendala dana. Tetapi ada warga berinisiatif membangun “radio komunitas darurat” untuk PJJ seperti di Tentena (Sulawesi Tengah), Lembata (Nusa Tenggara Timur), Pekalongan dan Pemalang (Jawa Tengah) serta Pringsewu (Lampung). Contoh di Desa Margosari Lampung, radio komunitas Putra Asli Margosari (PAM) FM diselenggarakan atas inisiatif petani muda setempat, Ikhwan, memberi ruang para guru di desa tersebut siaran mengajar dan sudah berjalan.
Peralatan satu stasiun radio komunitas sampai mengudara sekitar Rp15 juta sampai Rp25 juta menjangkau wilayah satu kecamatan. Mahal murahnya biaya tersebut relatif, tetapi masih kisaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sejumlah daerah. Radio komunitas tidak membutuhkan ruang besar, cukup 7,5 meter persegi sehingga dapat memanfaatkan ruang sekolah yang sekarang kosong atau di kantor kelurahan, Pos RW, rumah warga dan lainnya. Daya pancar radio komunitas sesuai ketentuan hanya 50 watt dengan penempatan khusus di frekuensi 107.7 FM, 107.8 FM, dan 107.9 FM dengan materi siaran program pendidikan dan budaya, informasi, hiburan serta dibolehkan iklan layanan masyarakat tetapi tidak iklan komersial. Izin tidak seketat radio siaran swasta niaga walaupun tetap “ribet” maka dalam kondisi bencana Covid-9 ini perlu pengertian dari pemerintah seperti KPI, balai monitor (Balmon) Kominfo dan lainnya.
Setelah stasiun radio komunitas mengudara bagaimana dengan radio penerimanya? Ada dua pengalaman dalam soal ini. Ketika membangun jaringan Radio Trijaya dan Radio Dangdut Indonesia di Sumatera Selatan tahun 2006, sebagai stasiun baru harus segera dikenal masyarakat. Ada tawaran dari seorang teman pedagang membeli radio kecil seukuran pisang goreng buatan China harganya Rp5000 per unit. Kemudian membagikan radio tersebut kepada sekitar 3000 pendengar, yang umumnya bekerja di ladang, kebun sawit, karet dan berjualan di pasar. Pengalaman lainnya, ketika bencana tsunami melanda Aceh tahun 2004, kru Trijaya Medan dan Jakarta diberangkatkan menuju lokasi bencana membangun stasiun radio darurat untuk menghibur korban bencana. Tidak ada jaringan listrik, pemancar menggunakan genset dan sebanyak 3.500 radio penerima siaran dari Persatuan Radio Swasta Niaga Nasional Indonesia (PRSSNI) dibagikan kepada warga. Karena toko penjual baterai juga lenyap akibat bencana maka radio yang dibagikan dilengkapi dinamo kecil dengan cara diengkol untuk mendapatkan daya listrik pengganti baterai, buatan Korea Selatan.
Dengan adanya radio komunitas di sekitar rumah tinggal siswa dan guru maka setiap saat proses belajar menggunakan radio bisa dilakukan. Lebih menguntungkan karena guru yang mengajar adalah guru dan siswa yang sudah saling mengenal. Untuk menambah pemahaman terhadap materi yang diajarkan sebelumnya radio komunitas bisa memutar rekaman berulang kali. Sehingga siswa yang tidak sempat mengikuti pelajaran tetap bisa mendengarkan rekaman dan yang belum paham bisa kembali mendengarkan. Untuk komunikasi pertanyaan belajar siswa bisa tulis pada kertas, mengirim ke studio radio tidak jauh dari rumah. Besok guru akan menjawab setelah membaca pertanyaan.
(ras)
tulis komentar anda