Proses PJJ: Internet Tidak Ada, Pakai Radio Komunitas
Selasa, 08 September 2020 - 06:45 WIB
Eddy Koko
Mantan Pemred Radio Trijaya Networks
KETIKA Dekan Fakultas Dakwah Intitut Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ), Topikurohman Bedowi, minta saya bicara di depan mahasiswanya, tentang pemanfaatan radio siaran untuk berdakwah, seketika terkenang acara kuliah subuh Buya Hamka di Radio Republik Indonesia (RRI) tahun 70-an. Acara setiap subuh dipagi yang sejuk, sesejuk isi dakwah dan suara Buya Hamka, sangat membekas dalam ingatan. Termasuk lagu penutup karya Buya Hamka berjudul Panggilan Jihad sangat bermakna dan menyentuh sehingga tertanam dalam memori dan hati sampai sekarang.
Selain soal dakwah Buya Hamka dan RRI, masih tahun 70-an, juga teringat siaran pelajaran Bahasa Inggris dari Radio Australia, disiarkan dari Melborne ditangkap melalui gelombang pendek (SW) di Kota Metro, Lampung. Saat itu televisi belum hadir di kota yang jauh dari Jakarta sehingga radio merupakan satu-satunya alat hiburan dan informasi. Tetapi siaran RRI tidak 24 jam, hanya dari pukul 05.00 sampai pukul 24.00. Setelah itu kembali mendengarkan jangkrik di keheningan malam.
Begitu kuatnya kenangan media radio. Kekuatan radio sebagai media hiburan dan informasi, sejatinya cukup efektif dan masih relevan. Alat komunikasi boleh berkembang pesat tetapi radio tidak terganggu keberadaanya. Cermati, hampir setiap orang sekarang mengantongi radio karena radio merupakan aplikasi standar setiap handphone. Bahwa sedikit orang memanfaatkan aplikasi tersebut, itu soal lain. Kreatifitas pengelola stasiun radio yang menentukan siarannya didengar orang atau tidak.
Mengenang dua program radio tadi, Kuliah Subuh (Dakwah) Buya Hamka dari RRI dan pelajaran Bahasa Inggris Radio Australia membuktikan, radio terbukti efektif dipakai untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kepada publik. Maka pada saat pandemi Covid-19, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menggunakan media radio siaran, seperti dilakukan melalui RRI, merupakan langkah tepat. Ini sebagai terobosan mengatasi persoalan ada tidaknya jaringan internet di suatu wilayah.
Dari acara PJJ yang sudah berjalan melalui RRI, kritik yang perlu disampaikan adalah banyak guru tidak terbiasa tampil dalam ruang studio siaran. Melihat microphone bisa jadi tampak seperti harimau di depan wajahnya. Demam studio. Itu hal yang wajar dan umum dirasakan pada banyak orang. Banyak pimpinan stasiun radio juga tidak berani ngomong di depan microphone alias siaran. Tetapi hal itu dapat mengganggu kosentrasi guru dalam memberi pelajaran. Tentu tidak pada semua guru. Pelatihan dan mengakrabkan diri dengan studio perlu sesering mungkin, sebelum masuk siaran PJJ. Durasi siaran dan rutinitas perlu dipikirkan karena sifat radio adalah media selintas, sehingga pendengar atau pelajar tidak bisa mengulang atau mendengarkan kembali yang diucapkan gurunya. Dalam kondisi demikian memutar rekaman siaran belajar tadi pada jam tertentu diperlukan.
Topik yang ramai dibahas dalam pelaksanaan PJJ adalah banyak wilayah tidak terjangkau internet. Ketidakmampuan orang tua membelikan perangkat komputer atau handphone (HP). Sehingga banyak siswa tidak bisa ikut PJJ. Boleh jadi, akibat dibomardir masalah internet tersebut pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) menggelontorkan dana Rp7,2 triliun untuk subsidi data internet/pulsa para siswa, mahasiswa, guru dan dosen. Bagaimana dengan siswa di pelosok yang belum terjangkau internet dan tidak mampu beli HP? Diberi pulsa HP untuk apa?
Radio Komunitas
Mantan Pemred Radio Trijaya Networks
KETIKA Dekan Fakultas Dakwah Intitut Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ), Topikurohman Bedowi, minta saya bicara di depan mahasiswanya, tentang pemanfaatan radio siaran untuk berdakwah, seketika terkenang acara kuliah subuh Buya Hamka di Radio Republik Indonesia (RRI) tahun 70-an. Acara setiap subuh dipagi yang sejuk, sesejuk isi dakwah dan suara Buya Hamka, sangat membekas dalam ingatan. Termasuk lagu penutup karya Buya Hamka berjudul Panggilan Jihad sangat bermakna dan menyentuh sehingga tertanam dalam memori dan hati sampai sekarang.
Selain soal dakwah Buya Hamka dan RRI, masih tahun 70-an, juga teringat siaran pelajaran Bahasa Inggris dari Radio Australia, disiarkan dari Melborne ditangkap melalui gelombang pendek (SW) di Kota Metro, Lampung. Saat itu televisi belum hadir di kota yang jauh dari Jakarta sehingga radio merupakan satu-satunya alat hiburan dan informasi. Tetapi siaran RRI tidak 24 jam, hanya dari pukul 05.00 sampai pukul 24.00. Setelah itu kembali mendengarkan jangkrik di keheningan malam.
Begitu kuatnya kenangan media radio. Kekuatan radio sebagai media hiburan dan informasi, sejatinya cukup efektif dan masih relevan. Alat komunikasi boleh berkembang pesat tetapi radio tidak terganggu keberadaanya. Cermati, hampir setiap orang sekarang mengantongi radio karena radio merupakan aplikasi standar setiap handphone. Bahwa sedikit orang memanfaatkan aplikasi tersebut, itu soal lain. Kreatifitas pengelola stasiun radio yang menentukan siarannya didengar orang atau tidak.
Mengenang dua program radio tadi, Kuliah Subuh (Dakwah) Buya Hamka dari RRI dan pelajaran Bahasa Inggris Radio Australia membuktikan, radio terbukti efektif dipakai untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kepada publik. Maka pada saat pandemi Covid-19, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menggunakan media radio siaran, seperti dilakukan melalui RRI, merupakan langkah tepat. Ini sebagai terobosan mengatasi persoalan ada tidaknya jaringan internet di suatu wilayah.
Dari acara PJJ yang sudah berjalan melalui RRI, kritik yang perlu disampaikan adalah banyak guru tidak terbiasa tampil dalam ruang studio siaran. Melihat microphone bisa jadi tampak seperti harimau di depan wajahnya. Demam studio. Itu hal yang wajar dan umum dirasakan pada banyak orang. Banyak pimpinan stasiun radio juga tidak berani ngomong di depan microphone alias siaran. Tetapi hal itu dapat mengganggu kosentrasi guru dalam memberi pelajaran. Tentu tidak pada semua guru. Pelatihan dan mengakrabkan diri dengan studio perlu sesering mungkin, sebelum masuk siaran PJJ. Durasi siaran dan rutinitas perlu dipikirkan karena sifat radio adalah media selintas, sehingga pendengar atau pelajar tidak bisa mengulang atau mendengarkan kembali yang diucapkan gurunya. Dalam kondisi demikian memutar rekaman siaran belajar tadi pada jam tertentu diperlukan.
Topik yang ramai dibahas dalam pelaksanaan PJJ adalah banyak wilayah tidak terjangkau internet. Ketidakmampuan orang tua membelikan perangkat komputer atau handphone (HP). Sehingga banyak siswa tidak bisa ikut PJJ. Boleh jadi, akibat dibomardir masalah internet tersebut pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) menggelontorkan dana Rp7,2 triliun untuk subsidi data internet/pulsa para siswa, mahasiswa, guru dan dosen. Bagaimana dengan siswa di pelosok yang belum terjangkau internet dan tidak mampu beli HP? Diberi pulsa HP untuk apa?
Radio Komunitas
tulis komentar anda