Pengamat Terorisme: Pernyataan Menag Bisa Munculkan Stereotip Baru
Minggu, 06 September 2020 - 23:55 WIB
JAKARTA - Dalam sebuah acara diskusi online, Menteri Agama Fachrur Razi kembali menyampaikan pernyataan kontroversial. Ia menyebut bila paham radikalisme dapat disebarkan melalui orang-orang yang good looking. Pernyataannya ini langsung menuai respons beragam di kalangan masyarakat.
Pengamat Terorisme Irfan Amalee menyebut pembahasan mengenai radikalisme semenjak beberapa tahun terakhir telah mengalami pergeseran. Sebelumnya stereotip celana cingkrang, jenggotan, dan bercadar selalu dijadikan dasar untuk menjustifikasi individu dan/atau kelompok tertentu, tapi untuk konteks mutakhir sudah tidak demikian.
“Waktu kejadian Bom di Thamrin itu tampilannya pake Jeans, pake ini sama sekali tidak ada. Kemudian, sebetulnya mungkin dari (kejadian itu) situ yang dimaksud. Jadi mereka tidak lagi menggunakan simbol-simbol yang membuat orang tidak lagi mendeteksi (radikalisme),” tutur Irfan melalui keterangan tertulisnya pada Minggu (6/9). (Baca juga: Soal Polemik Radikalisme, PWNU Jatim Minta Menag Hati-Hati )
Irfan juga mengaku bahwa dirinya sama sekali belum menemukan korelasi atau fakta perihal penampilan seseorang yang memakai atribusi tertentu dengan aksi radikalisme. Justru dirinya malah mengkhawatirkan bila pernyataan Kemenag Fachrur Razi akan melahirkan stereotype dan adjustment baru bagi orang-orang yang good looking.
“Saya sendiri, saya belum dapat korelasi atau fakta penampilan dan radikalisme. Malah saya mengkhawatirkan pernyataan Kemenag ini malah buat stereotype baru ke orang-orang. Jadi hati-hati bagi orang-orang yang good looking,” jelasnya.
Sejauh ini belum ada peneliti terorisme dan radikalisme yang menunjukkan sebuah pola yang seratus persen akurat. Dirinya lantas mencontohkan motif keterlibatan seseorang ke kelompok radikal justru dipicu oleh faktor yang beragam dan berlainan. Lebih lanjut Irfan mengatakan kelompok radikal sangatlah adaptif, sangat cerdas dan strategis dalam berjuang. (Baca juga: Kemenag: Bukan Sertifikasi Penceramah tapi Penceramah Bersertifikat )
“Menurut saya benang merahnya itu ada lebih pada kelompok-kelompok itu sangat adaptif, sangat pintar, sangat strategis. Beberapa tahun lalu imajinasi kita tentang kelompok ini, gitu, cara ini begini, cara ngomongnya begini sekarang udah berbeda. Karena mereka juga kan promosi, tampilan di online juga berbeda, tampilan di offline sudah berbeda, pengajian juga suda berubah. Jadi sudah berubah, gitu. Itu sih menurut saya benang merahnya,” imbuhnya.
Irfan tidak memungkiri bila radikalisme itu ada. Namun menurutnya tidak perlu terjebak dalam generalisasi. Lebih-lebih Ia mengingatkan jangan sampai permasalahan good looking menjadi adjustment baru, stereotype baru yang malah mengalihkan pada esensinya. Karena kelompok radikal sendiri, tegasnya, sangat memahami trend dan relatif fashionable.
“Mereka sangat pintar dan sangat adaptif dari strategi baru, itu sih kalau saya mencoba untuk memahami. Tapi terhadap kalimatnya (Kemenag) sendiri saya sih cenderung khawatir bahwa itu malah jadi stereotype baru gitu. Seperti dulu celana cingkrang dan lain-lain. Cadar dan lain-lain. Malah nanti akan menimbulkan kecurigaan, adjustment,” terangnya.
“Yang harus dipahami juga, radikalisme itu tidak hanya milik salah satu agama, dan sekarang menjadi di mana-mana, di Amerika, Eropa. Jangan alergi terhadap masalah ini, dan jangan menganggap bahwa ini sedang menyudutkan salah satu agama tertentu. Jadi ini masalah bersama,” tukas Irfan.
Pengamat Terorisme Irfan Amalee menyebut pembahasan mengenai radikalisme semenjak beberapa tahun terakhir telah mengalami pergeseran. Sebelumnya stereotip celana cingkrang, jenggotan, dan bercadar selalu dijadikan dasar untuk menjustifikasi individu dan/atau kelompok tertentu, tapi untuk konteks mutakhir sudah tidak demikian.
“Waktu kejadian Bom di Thamrin itu tampilannya pake Jeans, pake ini sama sekali tidak ada. Kemudian, sebetulnya mungkin dari (kejadian itu) situ yang dimaksud. Jadi mereka tidak lagi menggunakan simbol-simbol yang membuat orang tidak lagi mendeteksi (radikalisme),” tutur Irfan melalui keterangan tertulisnya pada Minggu (6/9). (Baca juga: Soal Polemik Radikalisme, PWNU Jatim Minta Menag Hati-Hati )
Irfan juga mengaku bahwa dirinya sama sekali belum menemukan korelasi atau fakta perihal penampilan seseorang yang memakai atribusi tertentu dengan aksi radikalisme. Justru dirinya malah mengkhawatirkan bila pernyataan Kemenag Fachrur Razi akan melahirkan stereotype dan adjustment baru bagi orang-orang yang good looking.
“Saya sendiri, saya belum dapat korelasi atau fakta penampilan dan radikalisme. Malah saya mengkhawatirkan pernyataan Kemenag ini malah buat stereotype baru ke orang-orang. Jadi hati-hati bagi orang-orang yang good looking,” jelasnya.
Sejauh ini belum ada peneliti terorisme dan radikalisme yang menunjukkan sebuah pola yang seratus persen akurat. Dirinya lantas mencontohkan motif keterlibatan seseorang ke kelompok radikal justru dipicu oleh faktor yang beragam dan berlainan. Lebih lanjut Irfan mengatakan kelompok radikal sangatlah adaptif, sangat cerdas dan strategis dalam berjuang. (Baca juga: Kemenag: Bukan Sertifikasi Penceramah tapi Penceramah Bersertifikat )
“Menurut saya benang merahnya itu ada lebih pada kelompok-kelompok itu sangat adaptif, sangat pintar, sangat strategis. Beberapa tahun lalu imajinasi kita tentang kelompok ini, gitu, cara ini begini, cara ngomongnya begini sekarang udah berbeda. Karena mereka juga kan promosi, tampilan di online juga berbeda, tampilan di offline sudah berbeda, pengajian juga suda berubah. Jadi sudah berubah, gitu. Itu sih menurut saya benang merahnya,” imbuhnya.
Irfan tidak memungkiri bila radikalisme itu ada. Namun menurutnya tidak perlu terjebak dalam generalisasi. Lebih-lebih Ia mengingatkan jangan sampai permasalahan good looking menjadi adjustment baru, stereotype baru yang malah mengalihkan pada esensinya. Karena kelompok radikal sendiri, tegasnya, sangat memahami trend dan relatif fashionable.
“Mereka sangat pintar dan sangat adaptif dari strategi baru, itu sih kalau saya mencoba untuk memahami. Tapi terhadap kalimatnya (Kemenag) sendiri saya sih cenderung khawatir bahwa itu malah jadi stereotype baru gitu. Seperti dulu celana cingkrang dan lain-lain. Cadar dan lain-lain. Malah nanti akan menimbulkan kecurigaan, adjustment,” terangnya.
“Yang harus dipahami juga, radikalisme itu tidak hanya milik salah satu agama, dan sekarang menjadi di mana-mana, di Amerika, Eropa. Jangan alergi terhadap masalah ini, dan jangan menganggap bahwa ini sedang menyudutkan salah satu agama tertentu. Jadi ini masalah bersama,” tukas Irfan.
(mpw)
tulis komentar anda