Soal Polemik Radikalisme, PWNU Jatim Minta Menag Hati-Hati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan Menteri Agama Fachrur Razi dalam acara webinar bertajuk Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara beberapa waktu lalu menuai polemik. Ia menegaskan bila terdapat dua jalur pintu masuk bagi radikalisme. Pertama, menurutnya lewat lembaga pendidikan. Dan kedua, melalui lembaga agama yang salah satunya adalah penceramah atau kelompok good looking .
Menurut Razi, pada mulanya mereka akan mengirim seseorang yang good looking (penampilan baik), menguasai bahasa Arab, penghafal Alquran, terlibat menjadi imam masjid hingga dia mendapat simpati. Dari situlah kemudian, jelas Razi, aksi menanamkan ide-ide radikal baru di mulai.
Menanggapi polemik ini, wakil Rois Surya PWNU Jawa Timur KH Anwar Iskandar menilai Kemenag Fachrur Razi terlalu menggeneralisir. "Terlalu menggeneralisasi itu, kan tidak semua orang yang good looking, memiliki kemampuan bahwa Arab dan kemampuan agama mesti radikal. Ya tidak mesti dong. Itu terlalu menggeneralisasi," kata KH Anwar Iskandar, Sabtu (05/09/2020). ( )
Lebih lanjut Anwar Iskandar menilai pernyataan Fachrur Razi merupakan blunder. Menurutnya di Indonesia terlampau banyak orang yang menguasai bahasa Arab, good looking, pengetahuan agama baik, serta mempunyai toleransi dan nasionalisme yang besar. Bila dilihat dari segi jumlah, jelas Anwar, jauh lebih banyak ketimbang kelompok radikalis. Ia lantas meminta agar Kemenag harus bisa membedakan dengan jeli.
"Kalau radikal dalam artian bersungguh-sungguh dalam belajar, itu kan gak ada masalah. Tapi kalau kemudian radikal diartikan ingin mengubah sistem negara, itu yang gak, gak, kita setujui. Jadi radikal itu dilihat dari apa, perspektif agama, perspektif bahasa," ujarnya.
Sehubungan dengan perkembangan radikalisme di lembaga pendidikan dan agama, menurut Anwar, perlu ada penelitian lebih lanjut dari lembaga survei yang kredibel. Jangan sampai orang berbicara radikalisme tanpa ada data yang jelas. Dirinya lantas mencontohkan lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren, khususnya NU. ( )
"Namanya pendidikan pondok pesantren itu ya, pondok pesantren NU khususnya. Itu kan lembaga pendidikan juga. Lembaga mandiri yang tidak dibiayai oleh negara, tapi output dari pendidikan itu 24 karat nasionalisme, bukan radikalisme, toleransi mereka. Jadi tidak semua masjid dan tidak semua sekolahan," katanya.
KH Anwar Iskandar juga menyinggung mengenai reshuffle kabinet, sehubungan dengan telah banyak pihak yang selama ini suda memperingati Kemenag Fachrur Razi. Menurutnya, kalau memang Presiden Jokowi mendengarkan pandangan dari orang yang membuat kinerja kurang baik, maka hak presiden untuk me-reshuffle.
"Jadi persoalannya presidennya gelimana, dengar apa enggak. Ya kalau memang, Presiden mendengar aspirasi yang demikian besarnya derasnya, ya semestinya itu dijadikan acuan dan dasar untuk meninjau kembali (Kinerja Kemenag). Mumpung ya, mumpung masyarakat dan umat Islam masih cukup percaya terhadap presiden. Masa gara-gara kementerian saja kemudian kepercayaan masyarakat dan umat islam kepada presiden ini tidak ada," katanya.
"Katanya mau dengar, dulu kan janjinya presiden mau dengar, mau dengar nasihat ulama, kan gitu dulu. Sekarang sudah banyak ulama yang ngomong, bahkan akademisi partai politik, lembaga-lembaga survei, itu bukan dalam arti mendesak presiden, bukan. Aspirasi rakyat kan biasa. Jangan kemudian aspirasi rakyat dianggap kemudian mendesak, gak boleh begitu, presiden gak boleh begitu. Presiden itu kan abdi dari rakyatnya, ulama adalah sebagian dari rakyat," katanya.
Menurut Razi, pada mulanya mereka akan mengirim seseorang yang good looking (penampilan baik), menguasai bahasa Arab, penghafal Alquran, terlibat menjadi imam masjid hingga dia mendapat simpati. Dari situlah kemudian, jelas Razi, aksi menanamkan ide-ide radikal baru di mulai.
Menanggapi polemik ini, wakil Rois Surya PWNU Jawa Timur KH Anwar Iskandar menilai Kemenag Fachrur Razi terlalu menggeneralisir. "Terlalu menggeneralisasi itu, kan tidak semua orang yang good looking, memiliki kemampuan bahwa Arab dan kemampuan agama mesti radikal. Ya tidak mesti dong. Itu terlalu menggeneralisasi," kata KH Anwar Iskandar, Sabtu (05/09/2020). ( )
Lebih lanjut Anwar Iskandar menilai pernyataan Fachrur Razi merupakan blunder. Menurutnya di Indonesia terlampau banyak orang yang menguasai bahasa Arab, good looking, pengetahuan agama baik, serta mempunyai toleransi dan nasionalisme yang besar. Bila dilihat dari segi jumlah, jelas Anwar, jauh lebih banyak ketimbang kelompok radikalis. Ia lantas meminta agar Kemenag harus bisa membedakan dengan jeli.
"Kalau radikal dalam artian bersungguh-sungguh dalam belajar, itu kan gak ada masalah. Tapi kalau kemudian radikal diartikan ingin mengubah sistem negara, itu yang gak, gak, kita setujui. Jadi radikal itu dilihat dari apa, perspektif agama, perspektif bahasa," ujarnya.
Sehubungan dengan perkembangan radikalisme di lembaga pendidikan dan agama, menurut Anwar, perlu ada penelitian lebih lanjut dari lembaga survei yang kredibel. Jangan sampai orang berbicara radikalisme tanpa ada data yang jelas. Dirinya lantas mencontohkan lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren, khususnya NU. ( )
"Namanya pendidikan pondok pesantren itu ya, pondok pesantren NU khususnya. Itu kan lembaga pendidikan juga. Lembaga mandiri yang tidak dibiayai oleh negara, tapi output dari pendidikan itu 24 karat nasionalisme, bukan radikalisme, toleransi mereka. Jadi tidak semua masjid dan tidak semua sekolahan," katanya.
KH Anwar Iskandar juga menyinggung mengenai reshuffle kabinet, sehubungan dengan telah banyak pihak yang selama ini suda memperingati Kemenag Fachrur Razi. Menurutnya, kalau memang Presiden Jokowi mendengarkan pandangan dari orang yang membuat kinerja kurang baik, maka hak presiden untuk me-reshuffle.
"Jadi persoalannya presidennya gelimana, dengar apa enggak. Ya kalau memang, Presiden mendengar aspirasi yang demikian besarnya derasnya, ya semestinya itu dijadikan acuan dan dasar untuk meninjau kembali (Kinerja Kemenag). Mumpung ya, mumpung masyarakat dan umat Islam masih cukup percaya terhadap presiden. Masa gara-gara kementerian saja kemudian kepercayaan masyarakat dan umat islam kepada presiden ini tidak ada," katanya.
"Katanya mau dengar, dulu kan janjinya presiden mau dengar, mau dengar nasihat ulama, kan gitu dulu. Sekarang sudah banyak ulama yang ngomong, bahkan akademisi partai politik, lembaga-lembaga survei, itu bukan dalam arti mendesak presiden, bukan. Aspirasi rakyat kan biasa. Jangan kemudian aspirasi rakyat dianggap kemudian mendesak, gak boleh begitu, presiden gak boleh begitu. Presiden itu kan abdi dari rakyatnya, ulama adalah sebagian dari rakyat," katanya.
(abd)