Ancaman Hoaks Terhadap Kedaulatan NKRI di Dunia Siber

Jum'at, 04 September 2020 - 21:09 WIB
Fian Yunus
Fian Yunus

Kepala Unit Laboratorium Digital Forensik Dittipidsiber Bareskrim Polri

MENURUT kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah berita bohong atau tidak bersumber. Beberapa sumber menyebutkan bahwa hoaks merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Hoaks bisa juga diartikan sebagai berita atau informasi palsu atau menyesatkan yang bertujuan untuk mengelabui pembaca atau pendengarnya dengan kepentingan tertentu. Hoaks atau fake news juga bisa dalam bentuk potongan dari berita benar yang kemudian dimanipulasi dengan sisipan berita palsu yang kemudian disebarluaskan.

Hoaks bukan sesuatu yang baru. Sejak media cetak dan elektronik hadir maka hoaks juga hadir. Beberapa media cetak dan elektronik pada era sekitar tahun 90-an sering memberitakan berita yang terkesan bermuatan hoaks. Motivasi utama dari pemberitaan tersebut untuk rating suatu berita atau menaikkan jumlah omset penjualan koran atau majalah.

Di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan sebagian negara Asia, permasalahan hoaks yang bernuansa politik/ideologi sangat jarang terjadi apalagi jika sampai menyebar dalam waktu lama. Pemerintah dan lembaga penyiaran sangat tegas terhadap pihak-pihak yang bertujuan memecah belah persatuan bangsa. Polisi sebagai penegak hukum juga didukung penuh oleh lembaga penyiaran dalam memberantas hoaks. Belajar dari fenomena Arab Springs, pemberitaan hoaks mulai dari sanksi penutupan kantor berita, situs hoaks di takedown, dan sanksi pidana bagi pelaku pembuat dan penyebar hoaks merupakan tindakan sangat keras yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Permasalahan hoaks terkait politik/ideologi merupakan permasalahan minor dan tidak memberikan kekuatiran terhadap pemerintahan. Oleh karenanya, pemerintah bisa fokus bekerja dan membangun negara lebih baik lagi.



Pemerintah Indonesia melihat hoaks sebagai ancaman serius bagi kedaulatan bangsa dan negara. Maraknya hoaks yang bernuansa SARA memberikan kekhawatiran bagi bangsa Indonesia. Wilayah Indonesia yang sangat luas dan terbagi dalam lima kepulauan serta jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia memberikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah RI dalam menerapkan regulasi.

Selain kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 14, 15 dan 160 , Pemerintah juga menerbitkan aturan Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2).

Untuk dapat memonitoring hoaks dan melakukan takedown terhadap suatu akun membutuhkan suatu proses yang panjang di Indonesia. Selain semua platform media sosial tidak berada di Indonesia, platform tersebut tunduk dengan aturan di negara tersebut. Platform media sosial berada di luar negara Indonesia dan tunduk dengan aturan yang ada di negara mereka masing-masing. Sebagai contoh, Amerika Serikat menganut paham freedom of speech. ada hal-hal yang dapat menghapuskan paham freedom of speech tersebut jika kontennya dapat mengancam jiwa seseorang atau keamanan dalam negeri amerika tersebut. Apa keuntungan yang didapat Indonesia?

Pihak yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum terkait hoaks adalah penyidik Polri, jaksa penuntut umum (JPU) dan hakim. Takedown terhadap hoaks di media sosial belum memiliki standar dan aturan yang baku. Penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri hanya berdasarkan laporan dari masyarakat. Pola penegakan hukum seperti ini terasa "lamban" dalam melakukan antisipasi terhadap dampak yang dapat ditimbulkan dengan adanya hoaks, hal ini dapat berkaca pada kejadian Papua pada tahun 2019 yang lalu.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More