Gugat Presidential Threshold, Rizal Ramli: Hapus Demokrasi Kriminal
Jum'at, 04 September 2020 - 17:25 WIB
"Mari kita lawan demokrasi kriminal. Supaya Indonesia berubah. Supaya kalau demokrasi amanah bekerja untuk rakyat, bekerja untuk bangsa kita, tapi demokrasi kriminal bekerja untuk cukong. Bekerja buat kelompok dan agen lainnya," kata Rizal Ramli.
Pada mulanya, kata Rizal Ramli, era reformasi membangun angin segar bagi proses demokratisasi Indonesia. Namun belakangan, banyak aturan yang membuat demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal. Salah satunya adanya ketentuan mengenai ambang batas untuk menjadi bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden.
Adanya ketentuan mengenai ambang batas tersebut membuat calon kepala daerah maupun presiden harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapat tiket dari partai atau dalam istilahnya menyewa partai.
Untuk maju sebagai calon bupati, kata Rizal Ramli, seorang calon harus merogoh kocek Rp30 miliar hingga Rp50 miliar, sementara calon gubernur harus menyewa partai dengan tarif berkisar Rp100 miliar sampai Rp300 miliar.
"Presiden tarifnya lebih gila lagi, saya 2009 pernah ditawarin. Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kita partai mau dukung, tapi kita partai butuh uang untuk macam-macam. Satu partai mintanya Rp300 miliar. Tiga partai itu Rp900 miliar. Nyaris satu triliun. Itu 2009, 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi ini demokrasi kriminal ini yang merusak Indonesia," ungkap Rizal Ramli.
Lantaran membutuhkan biaya tinggi untuk mengikuti kontestasi, seorang calon menerima bantuan dari para cukong. Akibatnya setelah terpilih, kepala daerah atau presiden lupa untuk membela kepentingan rakyat dan kepentingan nasional.
"Mereka malah mengabdi sama cukong-cukongnya. Inilah yang saya sebut sebagai demokrasi kriminal. Ini yang membuat Indonesia tidak akan pernah menjadi negara hebat, kuat, adil, dan makmur karena pemimpin-pemimpinnya pada dasarnya itu mengabdi sama yang lain," tegasnya.
Rizal Ramli meyakini, aturan ambang batas menjadi kunci yang merusak Indonesia. Aturan ambang batas menjadi alat memeras para kandidat untuk berlaga di pilkada maupun pilpres.
Para pemimpin mulai dari bupati hingga presiden tidak mungkin bisa berkompetisi tanpa dukungan dari cukong. Untuk itu, Rizal Ramli meminta doa dan dukungan masyarakat agar perjuangannya membebaskan Indonesia dari demokrasi kriminal dapat tercapai.
"Ini yang kita ingin hapuskan jadi nol sehingga siapapun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati bisa jadi gubernur bisa jadi presiden. Karena kalau enggak pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Main tiktok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur tidak nih republik, saya ingin seleksi kepemimpinan Indonesia kompetitif, yang paling baik nongol jadi pemimpin dari presiden sampai ke bawah. Itu hanya kita bisa lakukan kalau threshold ambang batas kita hapuskan jadi nol," katanya.
Pada mulanya, kata Rizal Ramli, era reformasi membangun angin segar bagi proses demokratisasi Indonesia. Namun belakangan, banyak aturan yang membuat demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal. Salah satunya adanya ketentuan mengenai ambang batas untuk menjadi bupati, wali kota, gubernur, hingga presiden.
Adanya ketentuan mengenai ambang batas tersebut membuat calon kepala daerah maupun presiden harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapat tiket dari partai atau dalam istilahnya menyewa partai.
Untuk maju sebagai calon bupati, kata Rizal Ramli, seorang calon harus merogoh kocek Rp30 miliar hingga Rp50 miliar, sementara calon gubernur harus menyewa partai dengan tarif berkisar Rp100 miliar sampai Rp300 miliar.
"Presiden tarifnya lebih gila lagi, saya 2009 pernah ditawarin. Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kita partai mau dukung, tapi kita partai butuh uang untuk macam-macam. Satu partai mintanya Rp300 miliar. Tiga partai itu Rp900 miliar. Nyaris satu triliun. Itu 2009, 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi ini demokrasi kriminal ini yang merusak Indonesia," ungkap Rizal Ramli.
Lantaran membutuhkan biaya tinggi untuk mengikuti kontestasi, seorang calon menerima bantuan dari para cukong. Akibatnya setelah terpilih, kepala daerah atau presiden lupa untuk membela kepentingan rakyat dan kepentingan nasional.
"Mereka malah mengabdi sama cukong-cukongnya. Inilah yang saya sebut sebagai demokrasi kriminal. Ini yang membuat Indonesia tidak akan pernah menjadi negara hebat, kuat, adil, dan makmur karena pemimpin-pemimpinnya pada dasarnya itu mengabdi sama yang lain," tegasnya.
Rizal Ramli meyakini, aturan ambang batas menjadi kunci yang merusak Indonesia. Aturan ambang batas menjadi alat memeras para kandidat untuk berlaga di pilkada maupun pilpres.
Para pemimpin mulai dari bupati hingga presiden tidak mungkin bisa berkompetisi tanpa dukungan dari cukong. Untuk itu, Rizal Ramli meminta doa dan dukungan masyarakat agar perjuangannya membebaskan Indonesia dari demokrasi kriminal dapat tercapai.
"Ini yang kita ingin hapuskan jadi nol sehingga siapapun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati bisa jadi gubernur bisa jadi presiden. Karena kalau enggak pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Main tiktok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur tidak nih republik, saya ingin seleksi kepemimpinan Indonesia kompetitif, yang paling baik nongol jadi pemimpin dari presiden sampai ke bawah. Itu hanya kita bisa lakukan kalau threshold ambang batas kita hapuskan jadi nol," katanya.
tulis komentar anda