PDIP: Parpol Yang Kampanye Pilih Kotak Kosong Tak Siap Berkontestasi
Rabu, 02 September 2020 - 23:38 WIB
JAKARTA - Sekretaris Jenderal DPP Partai Demorakrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Perjuangan, Hasto Kristiyanto mengaku heran jika ada partai politik yang mengampanyekan agar masyarakat memilih kotak kosong pada pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dia menilai, sikap partai yang mengampanyekan kotak kosong sama saja tidak siap berkompetisi.
Hal itu dikatakan Hasto menjawab pertanyaan wartawan mengenai adanya indikasi parpol yang tak mengajukan pasangan calon di pilkada, tapi di saat bersamaan mengampanyekan kotak kosong di daerah yang berpotensi diikuti calon tunggal.
Menurut Hasto, istilah kotak kosong muncul dari Pilwalkot Surabaya tahun 2015 silam. Lima tahun kepemimpinan Risma-Whisnu mampu membawa kemajuan bagi Kota Surabaya.
"Ada partai-partai yang tidak siap di dalam melakukan kontestasi maka kemudian mereka mencoba untuk melakukan kepungan dengan harapan hanya ada satu pasang calon. Karena kalau hanya ada satu pasang calon, Undang undang saat itu mengatakan harus ditunda. Dengan ditunda maka kemudian akan muncul Plt Wali Kota Surabaya," papar Hasto saat Jumpa Pers Virtual usai pengumuman Cakada PDIP tahap V, Rabu (2/9/2020).
"Ini menunjukkan ada partai yang tidak bertanggung jawab dan tidak menggunakan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan hanya karena tidak siap bersaing," lanjut Hasto.
Setelah Surabaya, kata dia, berlanjut di Kabupaten Blitar. Saat itu bupati dan wakil Bupati yang diusung PDIP juga membawa perubahan yang baik. Lagi-lagi, ada skenario membuat calon tunggal.
"Kemudian diharapkan ditunda ada Plt dan kemudian baru mereka berani mencalonkan," urai Hasto.( )
Atas dasar pengalaman di Surabaya dan Blitar itu, menurut Hasto, rakyat yang seharusnya berdaulat dan menjadi "hakim tertinggi" dalam kontestasi Pilkada. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan atas revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada yang mengharuskan paslon di Pilkada minimal dua.
Dia menilai, sikap partai yang mengampanyekan kotak kosong sama saja tidak siap berkompetisi.
Hal itu dikatakan Hasto menjawab pertanyaan wartawan mengenai adanya indikasi parpol yang tak mengajukan pasangan calon di pilkada, tapi di saat bersamaan mengampanyekan kotak kosong di daerah yang berpotensi diikuti calon tunggal.
Menurut Hasto, istilah kotak kosong muncul dari Pilwalkot Surabaya tahun 2015 silam. Lima tahun kepemimpinan Risma-Whisnu mampu membawa kemajuan bagi Kota Surabaya.
"Ada partai-partai yang tidak siap di dalam melakukan kontestasi maka kemudian mereka mencoba untuk melakukan kepungan dengan harapan hanya ada satu pasang calon. Karena kalau hanya ada satu pasang calon, Undang undang saat itu mengatakan harus ditunda. Dengan ditunda maka kemudian akan muncul Plt Wali Kota Surabaya," papar Hasto saat Jumpa Pers Virtual usai pengumuman Cakada PDIP tahap V, Rabu (2/9/2020).
"Ini menunjukkan ada partai yang tidak bertanggung jawab dan tidak menggunakan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan hanya karena tidak siap bersaing," lanjut Hasto.
Setelah Surabaya, kata dia, berlanjut di Kabupaten Blitar. Saat itu bupati dan wakil Bupati yang diusung PDIP juga membawa perubahan yang baik. Lagi-lagi, ada skenario membuat calon tunggal.
"Kemudian diharapkan ditunda ada Plt dan kemudian baru mereka berani mencalonkan," urai Hasto.( )
Atas dasar pengalaman di Surabaya dan Blitar itu, menurut Hasto, rakyat yang seharusnya berdaulat dan menjadi "hakim tertinggi" dalam kontestasi Pilkada. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan atas revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada yang mengharuskan paslon di Pilkada minimal dua.
Lihat Juga :
tulis komentar anda