Daya Tarik Kota dan Covid-19
Kamis, 03 September 2020 - 06:31 WIB
Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar tetap, Ketua Pengmas Desa dan KlasterDeLOGO-FIA-UI
DUNIA tidak berkutik dengan pandemi Covid-19. Kini harus menghadapi new normal, sebuah kesepakatan penduduk dunia dengan meluncurkan pemahaman baru dalam kehidupan terkait Covid-19, yang tak terbayangkan sebelumnya. Belahan dunia utama yang menggeliat langsung dengan konstruksi baru tersebut adalah kota-kota, tidak terkecuali kota-kota di Indonesia. Kota-kota tersusun hierarkis, mulai megalopolis, metropolis, city, dan township terkena imbas Covid-19 lebih kental daripada rural area, wilayah remote-nya.
Akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi tersusun hierarkis pula mengikuti susunan perkotaan tersebut. Di Indonesia tampak Kota Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Bandung, dan Semarang adalah kota-kota dengan catatan pandemi tertinggi. Kemudian menurun di susunan perkotaan berikutnya. Demikian sebaliknya imbas negatif Covid-19-pun tercatat tersusun sedemikian rupa. Jeritan Wali Kota Surabaya adalah sinyal akan hal tersebut, untuk menghentikan PSBB. Hantaman akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi dirasakan kuat, sedemikian tersusun atas hierarki perkotaan di manapun di dunia ini.
Magnet Kota
Era sekarang magnet kota ditarik lebih keras dengan teknologi informasi yang semakin canggih. Industri 4.0 mengakselerasi daya tarik kota sedemikian rupa dan tetap polanya tersusun hierarkis sesuai kekuatan industri tersebut. Industri 4.0 yang didorong oleh kecanggihan IT ini tersebar dalam berbagai media. Semua serbainternet yang menjadikan apa pun terabsorpsi melalui internet sehingga muncul metode internet of things (IoT) karena kecepatan akumulasi modal dan kegiatan ekonomi makin terakselerasi. Imbasnya, struktur hierarki kota mengikuti kecepatan akselerasi tersebut.
Di Indonesia, Kota Jakarta menempati posisi puncak ditambah secara tradisional kota ini adalah pusat pemerintahan Negara RI. Tentu menambah akumulasi modal dan kegiatan ekonomi semakin masif. Pukulan Covid-19, betul-betul mengentak proses akselerasi tersebut.
Pemilik modal terpukul, pelaku industri 4.0 terpukul keras, kota-kota lumpuh dengan Covid-19. Imbas ini ke aspek pemerintahan karena perlunya PAD dari pajak dan retribusi daerah. Imbas ini berdampak ke dunia media karena perlu membiayai periklanan. Dunia ini mengimbas ke ekonomi riil karena ketenagakerjaan sama dengan perputaran ekonomi skala kecil, menengah, dan akhirnya ke skala besar.
Covid-19 menghentikan magnet kota. Magnet kota yang terhenti tidak mampu menjadi pendorong ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan berbagai pihak dan berbagai sendi kehidupan. Bagaimanapun, pengaturnya adalah sektor pemerintah. Pemerintah dipaksa untuk menghidupkan magnet kota kembali. Kejadian ini melanda dunia. Magnet kota harus berdampingan dengan Covid-19. Itulah new normal .
Guru Besar tetap, Ketua Pengmas Desa dan KlasterDeLOGO-FIA-UI
DUNIA tidak berkutik dengan pandemi Covid-19. Kini harus menghadapi new normal, sebuah kesepakatan penduduk dunia dengan meluncurkan pemahaman baru dalam kehidupan terkait Covid-19, yang tak terbayangkan sebelumnya. Belahan dunia utama yang menggeliat langsung dengan konstruksi baru tersebut adalah kota-kota, tidak terkecuali kota-kota di Indonesia. Kota-kota tersusun hierarkis, mulai megalopolis, metropolis, city, dan township terkena imbas Covid-19 lebih kental daripada rural area, wilayah remote-nya.
Akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi tersusun hierarkis pula mengikuti susunan perkotaan tersebut. Di Indonesia tampak Kota Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Bandung, dan Semarang adalah kota-kota dengan catatan pandemi tertinggi. Kemudian menurun di susunan perkotaan berikutnya. Demikian sebaliknya imbas negatif Covid-19-pun tercatat tersusun sedemikian rupa. Jeritan Wali Kota Surabaya adalah sinyal akan hal tersebut, untuk menghentikan PSBB. Hantaman akumulasi modal dan akselerasi kegiatan ekonomi dirasakan kuat, sedemikian tersusun atas hierarki perkotaan di manapun di dunia ini.
Magnet Kota
Era sekarang magnet kota ditarik lebih keras dengan teknologi informasi yang semakin canggih. Industri 4.0 mengakselerasi daya tarik kota sedemikian rupa dan tetap polanya tersusun hierarkis sesuai kekuatan industri tersebut. Industri 4.0 yang didorong oleh kecanggihan IT ini tersebar dalam berbagai media. Semua serbainternet yang menjadikan apa pun terabsorpsi melalui internet sehingga muncul metode internet of things (IoT) karena kecepatan akumulasi modal dan kegiatan ekonomi makin terakselerasi. Imbasnya, struktur hierarki kota mengikuti kecepatan akselerasi tersebut.
Di Indonesia, Kota Jakarta menempati posisi puncak ditambah secara tradisional kota ini adalah pusat pemerintahan Negara RI. Tentu menambah akumulasi modal dan kegiatan ekonomi semakin masif. Pukulan Covid-19, betul-betul mengentak proses akselerasi tersebut.
Pemilik modal terpukul, pelaku industri 4.0 terpukul keras, kota-kota lumpuh dengan Covid-19. Imbas ini ke aspek pemerintahan karena perlunya PAD dari pajak dan retribusi daerah. Imbas ini berdampak ke dunia media karena perlu membiayai periklanan. Dunia ini mengimbas ke ekonomi riil karena ketenagakerjaan sama dengan perputaran ekonomi skala kecil, menengah, dan akhirnya ke skala besar.
Covid-19 menghentikan magnet kota. Magnet kota yang terhenti tidak mampu menjadi pendorong ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan berbagai pihak dan berbagai sendi kehidupan. Bagaimanapun, pengaturnya adalah sektor pemerintah. Pemerintah dipaksa untuk menghidupkan magnet kota kembali. Kejadian ini melanda dunia. Magnet kota harus berdampingan dengan Covid-19. Itulah new normal .
Lihat Juga :
tulis komentar anda