Uji Materiil UU Pekerja Migran, Komnas Perempuan Sebut Syarat Perizinan P3MI Harga Mati
Selasa, 01 September 2020 - 04:31 WIB
Dia menjelaskan, prinsip penghormatan yaitu tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM, yang berarti tidak melanggar HAM yang telah diakui secara internasional. Dengan cara, uang Yentriyani, menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional perusahaan. Serta prinsip, tutur dia, pemulihan korban untuk perluasan akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun nonyudisial.
Yentriyani mengungkapkan, Komnas Perempuan ingin menegaskan tentang penjelasan dari Pasal 66 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah menjadi bagian dari hukum nasional. Negara memiliki kewajiban untuk secara efektif mengatur dan memantau hingga melakukan upaya-upaya perizinan, sanksi, dan denda, serta menetapkan kriteria khusus dan memastikan bahwa hanya agen yang memiliki kriteria dan kode ini yang dapat terus beroperasi.
"Dengan acuan tersebut, Komnas Perempuan berpendapat bahwa Pasal 54 ayat (1) a dan huruf b adalah mengatur mengenai persyaratan bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang ingin memperoleh surat izin. Dan, ini merupakan bagian dari kewajiban pemerintah sebagai pemangku kewajiban utama untuk memastikan keterlibatan swasta di dalam tata kelola migrasi sesuai dengan standar yang berlaku, terutama standar HAM," ungkapnya.
Pasal 54 ayat (1) a dan huruf b, lanjut Yentriyani, juga merupakan bentuk pelaksanaan dari kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa pihak ketiga turut menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif bagi pekerja migran yang menjadi korban. Deposito yang dimaksudkan merupakan alternatif jaminan jika P3MI lalai dalam melakukan kewajibannya.
"Sehingga pekerja migran dapat akses untuk pemulihan, dalam hal ini ganti rugi melalui deposito yang dimaksud. Kami tidak melihat bahwa pengaturan ini mengurangi hak dari P3MI untuk berusaha, melainkan memastikan pelaksanaan kewajiban penghormatan pada hak asasi manusia dari orang lain sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi Pasal 28J ayat (1)," paparnya.
Berkaitan dengan Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI, Yentriyani menegaskan bahwa memang ada celah hukum yang perlu dikoreksi. Impunitas pada kasus kasus pekerja migran yang terus berulang bukan saja akibat dari lemahnya penegakan hukum dan pemulihan yang tidak berlangsung, melainkan juga pengaturan tentang keterkaitan perdagangan orang serta praktik perekrutan dan penempatan pekerja migran.
"Yang di dalam pandangan kami (Komnas Perempuan) bersinggungan sangat keras, termasuk melalui fenomena yang umum kita temukan, yaitu proses penandatanganan perjanjian kerja yang disisipi unsur penipuan, dan pemaksaan, pemberian waktu singkat untuk membaca perjanjian, tidak ada penjelasan akurat dan rinci tentang isi dari perjanjian tersebut, dan penempatan Pekerja Migran Indonesia pada jenis atau jabatan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja," katanya.
Yentriyani menambahkan, ada jalur mediasi telah menjadi peluang impunitas. Jalur-jalur mediasi ini digunakan tidak saja untuk perselisihan kerja. Dalam praktiknya, juga digunakan untuk kasus kekerasan seksual dan berpotensi memberikan impunitas kepada pelaku kekerasan dan eksploitasi pada perusahaan maupun perseorangan yang bekerja untuk rekrutmen dan penempatan PMI.
"Kami ingin menegaskan bahwa di dalam mandat negara untuk perlindungan hak asasi manusia dalam konteks pekerja migran ada kewajiban untuk memastikan bahwa kontrak kerja vaild dan melindungi perempuan dalam prinsip kesetaraan dengan laki-laki dan menyediakan sanksi hukum bagi pelanggaran yang dilakukan oleh agen perekrut dan penempatan," ujarnya.
Berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut, Yentriyani menekankan, Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa tidak ada bukti kerugian hak konstitusional dari pihak pemohon melainkan terdapat bukti yang cukup untuk pemajuan pemenuhan tanggung jawab konstitusional negara pada perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dalam hal ini terutama perempuan pekerja migran.
Yentriyani mengungkapkan, Komnas Perempuan ingin menegaskan tentang penjelasan dari Pasal 66 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah menjadi bagian dari hukum nasional. Negara memiliki kewajiban untuk secara efektif mengatur dan memantau hingga melakukan upaya-upaya perizinan, sanksi, dan denda, serta menetapkan kriteria khusus dan memastikan bahwa hanya agen yang memiliki kriteria dan kode ini yang dapat terus beroperasi.
"Dengan acuan tersebut, Komnas Perempuan berpendapat bahwa Pasal 54 ayat (1) a dan huruf b adalah mengatur mengenai persyaratan bagi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang ingin memperoleh surat izin. Dan, ini merupakan bagian dari kewajiban pemerintah sebagai pemangku kewajiban utama untuk memastikan keterlibatan swasta di dalam tata kelola migrasi sesuai dengan standar yang berlaku, terutama standar HAM," ungkapnya.
Pasal 54 ayat (1) a dan huruf b, lanjut Yentriyani, juga merupakan bentuk pelaksanaan dari kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa pihak ketiga turut menyediakan mekanisme pemulihan yang efektif bagi pekerja migran yang menjadi korban. Deposito yang dimaksudkan merupakan alternatif jaminan jika P3MI lalai dalam melakukan kewajibannya.
"Sehingga pekerja migran dapat akses untuk pemulihan, dalam hal ini ganti rugi melalui deposito yang dimaksud. Kami tidak melihat bahwa pengaturan ini mengurangi hak dari P3MI untuk berusaha, melainkan memastikan pelaksanaan kewajiban penghormatan pada hak asasi manusia dari orang lain sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi Pasal 28J ayat (1)," paparnya.
Berkaitan dengan Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI, Yentriyani menegaskan bahwa memang ada celah hukum yang perlu dikoreksi. Impunitas pada kasus kasus pekerja migran yang terus berulang bukan saja akibat dari lemahnya penegakan hukum dan pemulihan yang tidak berlangsung, melainkan juga pengaturan tentang keterkaitan perdagangan orang serta praktik perekrutan dan penempatan pekerja migran.
"Yang di dalam pandangan kami (Komnas Perempuan) bersinggungan sangat keras, termasuk melalui fenomena yang umum kita temukan, yaitu proses penandatanganan perjanjian kerja yang disisipi unsur penipuan, dan pemaksaan, pemberian waktu singkat untuk membaca perjanjian, tidak ada penjelasan akurat dan rinci tentang isi dari perjanjian tersebut, dan penempatan Pekerja Migran Indonesia pada jenis atau jabatan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja," katanya.
Yentriyani menambahkan, ada jalur mediasi telah menjadi peluang impunitas. Jalur-jalur mediasi ini digunakan tidak saja untuk perselisihan kerja. Dalam praktiknya, juga digunakan untuk kasus kekerasan seksual dan berpotensi memberikan impunitas kepada pelaku kekerasan dan eksploitasi pada perusahaan maupun perseorangan yang bekerja untuk rekrutmen dan penempatan PMI.
"Kami ingin menegaskan bahwa di dalam mandat negara untuk perlindungan hak asasi manusia dalam konteks pekerja migran ada kewajiban untuk memastikan bahwa kontrak kerja vaild dan melindungi perempuan dalam prinsip kesetaraan dengan laki-laki dan menyediakan sanksi hukum bagi pelanggaran yang dilakukan oleh agen perekrut dan penempatan," ujarnya.
Berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut, Yentriyani menekankan, Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa tidak ada bukti kerugian hak konstitusional dari pihak pemohon melainkan terdapat bukti yang cukup untuk pemajuan pemenuhan tanggung jawab konstitusional negara pada perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dalam hal ini terutama perempuan pekerja migran.
tulis komentar anda