Majelis Masyayikh: UU Pesantren Pengakuan Pemerintah Terhadap Kontribusi Ponpes
Minggu, 03 November 2024 - 09:55 WIB
“Pesantren berbeda dengan sekolah berasrama. Di pesantren, guru dianggap sebagai orang tua dalam agama. Hubungan ini menciptakan mata rantai keilmuan yang kuat dan perlu dijaga. Kami tidak ingin campur tangan yang mengubah kekhasan pesantren ini,” ujarnya.
Sekretaris Majelis Masyayikh, KH. A. Muhyiddin Khatib, juga menegaskan pengakuan formal melalui UU ini menjadi kebanggaan bagi pesantren. Namun, dia mengingatkan dengan hadirnya undang-undang ini, beberapa pihak mungkin khawatir akan munculnya intervensi yang bisa mengubah nilai-nilai pesantren.
“Begitu UU ini lahir, ada beberapa kekhawatiran. Perlu kita pahami bersama agar tidak menjadi persoalan di antara kita. Kita semua, terutama para kiai, maqomnya itu mengatur, bukan diatur,” kata Muhyiddin.
Muhyiddin menjelaskan, UU Pesantren adalah bagian dari upaya panjang untuk menguatkan posisi pesantren dalam pendidikan nasional, sekaligus bentuk penghargaan atas peran pesantren dalam sejarah Indonesia.
“Lahirnya UU ini bukan hadiah dari pemerintah, tapi membayar utang kepada pesantren. Pesantren adalah basis kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dia menambahkan, kualitas dan kuantitas lulusan pesantren yang kini berjumlah jutaan mencerminkan kontribusi besar lembaga ini terhadap masyarakat.
Di sisi lain, KH. Muhyiddin juga menyoroti pesantren tidak hanya membutuhkan pengakuan, tetapi juga dukungan agar kualitas dan tradisi pendidikannya dapat terus berkembang. Majelis Masyayikh, melalui Dewan Masyayikh, bertanggung jawab penuh atas pengembangan kurikulum dan standar pendidikan pesantren tanpa intervensi dari pemerintah.
“Majelis Masyayikh bukan bagian dari pemerintah, Majelis Masyayikh tidak bisa didikte oleh pemerintah. Yang bisa mengarahkan Majelis Masyayikh adalah kiai-kiai Dewan Masyayikh pesantren,” ujarnya.
Sebagai dukungan tambahan, UU ini juga memberikan akses pendanaan yang lebih stabil bagi pesantren melalui dana abadi pesantren yang diatur dalam Pasal 49. Dana ini diharapkan akan memungkinkan pesantren untuk menjalankan operasional secara mandiri, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada sumbangan masyarakat.
“Pesantren akan menerima dana abadi dari pemerintah. Ini langkah besar yang membuat pesantren bisa lebih mandiri dalam pengelolaan operasionalnya,” jelas KH. Badrtut Tamam.
Sekretaris Majelis Masyayikh, KH. A. Muhyiddin Khatib, juga menegaskan pengakuan formal melalui UU ini menjadi kebanggaan bagi pesantren. Namun, dia mengingatkan dengan hadirnya undang-undang ini, beberapa pihak mungkin khawatir akan munculnya intervensi yang bisa mengubah nilai-nilai pesantren.
“Begitu UU ini lahir, ada beberapa kekhawatiran. Perlu kita pahami bersama agar tidak menjadi persoalan di antara kita. Kita semua, terutama para kiai, maqomnya itu mengatur, bukan diatur,” kata Muhyiddin.
Muhyiddin menjelaskan, UU Pesantren adalah bagian dari upaya panjang untuk menguatkan posisi pesantren dalam pendidikan nasional, sekaligus bentuk penghargaan atas peran pesantren dalam sejarah Indonesia.
“Lahirnya UU ini bukan hadiah dari pemerintah, tapi membayar utang kepada pesantren. Pesantren adalah basis kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dia menambahkan, kualitas dan kuantitas lulusan pesantren yang kini berjumlah jutaan mencerminkan kontribusi besar lembaga ini terhadap masyarakat.
Di sisi lain, KH. Muhyiddin juga menyoroti pesantren tidak hanya membutuhkan pengakuan, tetapi juga dukungan agar kualitas dan tradisi pendidikannya dapat terus berkembang. Majelis Masyayikh, melalui Dewan Masyayikh, bertanggung jawab penuh atas pengembangan kurikulum dan standar pendidikan pesantren tanpa intervensi dari pemerintah.
“Majelis Masyayikh bukan bagian dari pemerintah, Majelis Masyayikh tidak bisa didikte oleh pemerintah. Yang bisa mengarahkan Majelis Masyayikh adalah kiai-kiai Dewan Masyayikh pesantren,” ujarnya.
Sebagai dukungan tambahan, UU ini juga memberikan akses pendanaan yang lebih stabil bagi pesantren melalui dana abadi pesantren yang diatur dalam Pasal 49. Dana ini diharapkan akan memungkinkan pesantren untuk menjalankan operasional secara mandiri, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada sumbangan masyarakat.
“Pesantren akan menerima dana abadi dari pemerintah. Ini langkah besar yang membuat pesantren bisa lebih mandiri dalam pengelolaan operasionalnya,” jelas KH. Badrtut Tamam.
Lihat Juga :
tulis komentar anda