Harapan untuk Menkes Budi Gunadi Sadikin
Selasa, 22 Oktober 2024 - 07:25 WIB
Maka dari itu, pengendalian konsumsi makanan dan minuman yang tinggi gula, garam dan lemak (GGL) dan pengendalian konsumsi tembakau, menjadi sangat urgen. Sebab saat ini di pasaran minuman manis dengan berbagai karakter/jenis seperti teh manis, susu ultra, bahkan jus buah; ternyata kandungan gulannya sangat tinggi, rata rata mencapai 20-35 persen. Jadi isi minuman itu persentasenya lebih tinggi gulanya, daripada susu atau jus buahnya. Juga makanan yang mengandung garam dan lemak. Bentuk pengendalian yang akan diusung adalah pembatasan maksimal kandungan GGL, misalnya penandaan dengan warna khusus, dan juga pengenaan cukai, khususnya untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Dukungan publik terhadap wacana pengenaan cukai MBDK, cukup tinggi, yakni 25,8 persen; berdasar survei YLKI 2022 di 10 kota di Indonesia.
Dari sisi perlindungan konsumen, PP 28/2024 adalah instrumen untuk memberikan guidance yang lebih jelas, sebagaimana dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Via penandaan khusus pada label, konsumen akan mendapatkan informasi yang lebih jelas, terkait kandungan suatu makanan/minuman yang tinggi gula, garam dan lemak. Informasi ini sangat penting sebab label pada makanan dan minuman yang ada saat ini kurang jelas (tidak informatif), sehingga konsumen malas membacanya. Kalau pun membacanya juga belum tentu mengerti maksudnya.
Sedangkan instrumen pengendalian konsumsi rokok yang akan dilakukan sebagaimana mandat PP Nomor 28/2024 antara lain: larangan total iklan rokok di media internet dan media sosial, penjualan rokok berbasis zona, larangan penjualan eceran, plus bungkus rokok yang distandarkan. Tembakau/rokok itu produk yang dikenai cukai, sehingga sudah sepantasnya penjualan dan iklannya dibatasi dan dikendalikan. Tidak seharusnya tembakau/rokok dijual seperti kacang goreng, atau bahkan bahan makanan. Dan konsumsi dan penjualan masif rokok (tanpa kendali), menyebabkan anak dan remaja menjadi korbannya, dan terbukti prevalensi merokok pada anak di Indonesia sangat signifikan peningkatannya (9,1 persen).
Kalangan rumah tangga menengah bawah, pendapatannya juga tergerus untuk membeli rokok, rata rata mencapai lebih dari 11 persen dari total pendapatannya. Jauh lebih tinggi daripada untuk membeli kebutuhan lauk pauk. Pantaslah jika prevalensi stunting di Indonesia masih sangat tinggi, yakni 21,6 persen. Upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting ke angka 14 persen, sepertinya mustahil jika pola perilaku masyarakat (di rumah tangga miskin) justru tergerus untuk beli rokok, bukan untuk beli lauk pauk dan makanan bergizi.
Oleh karena itu, seharusnya Menkes BGS diharapkan tidak mengalami kegamangan/keraguan untuk mengimplementasikan PP Nomor 28/2024 tentang Kesehatan, demi melindungi kepentingan publik yang lebih luas dan berjangka panjang. Bahwa ada tekanan (keras) dari kelompok yang kontra, harus dimaknai sebagai risiko sebuah kebijakan publik. Toh klaim klaim mereka selama ini tidak berdasar evidance based yang jelas, dan terbukti sebaliknya.
Spirit dan substansi PP Nomor 28/2024 justru sangat mendesak untuk melindungi dan mewujudkan kesehatan masyarakat, dan secara spesifik sebagai instrumen untuk menekan tinggginya prevalensi penyakit tidak menular. Jika fenomena ini tak dikendalikan, maka upaya untuk mewujudkan bonus demografi pada 2030 dan generasi emas pada 2045, hanya akan menjadi mitos belaka. Sebaliknya, akan mendorong lahirnya generasi cemas dan generasi lemas. PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah hak asasi warga negara untuk mencapai kualitas hidup yang sehat, cerdas, dan sejahtera.
Dari sisi perlindungan konsumen, PP 28/2024 adalah instrumen untuk memberikan guidance yang lebih jelas, sebagaimana dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Via penandaan khusus pada label, konsumen akan mendapatkan informasi yang lebih jelas, terkait kandungan suatu makanan/minuman yang tinggi gula, garam dan lemak. Informasi ini sangat penting sebab label pada makanan dan minuman yang ada saat ini kurang jelas (tidak informatif), sehingga konsumen malas membacanya. Kalau pun membacanya juga belum tentu mengerti maksudnya.
Sedangkan instrumen pengendalian konsumsi rokok yang akan dilakukan sebagaimana mandat PP Nomor 28/2024 antara lain: larangan total iklan rokok di media internet dan media sosial, penjualan rokok berbasis zona, larangan penjualan eceran, plus bungkus rokok yang distandarkan. Tembakau/rokok itu produk yang dikenai cukai, sehingga sudah sepantasnya penjualan dan iklannya dibatasi dan dikendalikan. Tidak seharusnya tembakau/rokok dijual seperti kacang goreng, atau bahkan bahan makanan. Dan konsumsi dan penjualan masif rokok (tanpa kendali), menyebabkan anak dan remaja menjadi korbannya, dan terbukti prevalensi merokok pada anak di Indonesia sangat signifikan peningkatannya (9,1 persen).
Kalangan rumah tangga menengah bawah, pendapatannya juga tergerus untuk membeli rokok, rata rata mencapai lebih dari 11 persen dari total pendapatannya. Jauh lebih tinggi daripada untuk membeli kebutuhan lauk pauk. Pantaslah jika prevalensi stunting di Indonesia masih sangat tinggi, yakni 21,6 persen. Upaya pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting ke angka 14 persen, sepertinya mustahil jika pola perilaku masyarakat (di rumah tangga miskin) justru tergerus untuk beli rokok, bukan untuk beli lauk pauk dan makanan bergizi.
Oleh karena itu, seharusnya Menkes BGS diharapkan tidak mengalami kegamangan/keraguan untuk mengimplementasikan PP Nomor 28/2024 tentang Kesehatan, demi melindungi kepentingan publik yang lebih luas dan berjangka panjang. Bahwa ada tekanan (keras) dari kelompok yang kontra, harus dimaknai sebagai risiko sebuah kebijakan publik. Toh klaim klaim mereka selama ini tidak berdasar evidance based yang jelas, dan terbukti sebaliknya.
Spirit dan substansi PP Nomor 28/2024 justru sangat mendesak untuk melindungi dan mewujudkan kesehatan masyarakat, dan secara spesifik sebagai instrumen untuk menekan tinggginya prevalensi penyakit tidak menular. Jika fenomena ini tak dikendalikan, maka upaya untuk mewujudkan bonus demografi pada 2030 dan generasi emas pada 2045, hanya akan menjadi mitos belaka. Sebaliknya, akan mendorong lahirnya generasi cemas dan generasi lemas. PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah hak asasi warga negara untuk mencapai kualitas hidup yang sehat, cerdas, dan sejahtera.
(zik)
tulis komentar anda