Implikasi Politik Hukum Pidana Pasca UU KUHP Nomor 1 Tahun 2023

Jum'at, 04 Oktober 2024 - 13:46 WIB
Romli Atmasasmita. FOTO/DOK.SINDOnews
JAKARTA - POLITIK hukum pidana Indonesia (akan) mengalami perubahan mendasar meninggalkan politik hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda yang telah berlaku selama 78 tahun lampau. Politik hukum pidana yang diwariskan Belanda mengutamakan tujuan penjeraan terhadap pelaku kejahatan atau penghukuman. Hal ini tampak dari pembagian jenis pidana (Pasal 10 KUHP): pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Di samping keempat jenis pidana tersebut yang merupakan pidana pokok, terdapat pidana tambahan yang diputuskan hakim yang meliputi: pencabutan hak tertentu terdakwa, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Ketujuh jenis pidana di dalam KUHP Tahun 1946 yang diberlakukan di seluruh Indonesia dengan UU Nomor 73 Tahun 1958 telah mengalami masa daluarsa sehubungan dengan perkembangan masyarakat internasional, terutama setelah Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil, Hak Politik, Hak Ekonomi dan Hak Hukum, telah diadopsi dan terbuka untuk diratifikasi oleh Anggota PBB pada Tahun 1966. Indonesia telah meratifikasi konvenan tersebut dengan UU Nomor 12 tahun 1955. Perubahan pandangan masyarakat internasional dan ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 menuntut perubahan politik hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang.

KUHP 1946 yang masih berlaku dan akan berakhir pada tahun 2026 yang akan datang, belum memberikan perlindungan hukum yang memadai, baik bagi tersangka/terdakwa dan terpidana begitu pula terhadap korban, di dalam kehidupan masyarakat. Contoh konkret dalam praktik peradilan pidana khususnya dalam hal penetapan tersangka di dalam KUHP dan KUHAP belum diatur secara khusus sanksi atas kelambatan prosedur untuk melengkapi BAP dari penyidik kepada kejaksaan setelah diterima oleh kejaksaan dalam tempo waktu 7 (tujuh) hari; dalam Pasal 138 KUHAP. Dalam hal kasus FB, mantan Ketua KPK proses tersebut telah dilampaui selama 8 (delapan) bulan atau 240 hari sejak diterimanya berkas hasil penyidikan dari kejaksaan.



Contoh kedua, pemeriksaan tahap penyelidikan yang menurut KUHAP diterangkan bahwa tahap tersebut untuk menemukan ada/tidaknya suatu peristiwa pidana oleh penyelidik; jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, penyidik meningkatkan ke tahap penyidikan untuk menentukan siapa yang akan ditetapkan sebagai tersangka. Tenggat waktu perpindahan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan tidak ditentukan batas waktu, sehingga seorang saksi harus menunggu lama tanpa kepastian apakah penyelidikan lanjut ke penyidikan; dalam praktik hal tersebut sangat digantungkan kepada diskresi penyelidik dan penyidik yang sering berakhir dengan ketidakpastian perlindungan hukum bagi baik seorang saksi dan seorang yang telah ditetepkan sebagai tersangka. Kebiasaan praktik di KPK, perpindahan status saksi kepada tersangkan telah dimulai sejak akhir proses penyelidikan tidak pada tahap akhir dari proses penyidikan.

Contoh lain, doktrin mengenai mens-rea dan actus reus dalam proses penyidikan sangat jarang dipertimbangkan, terutama dalam hal suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama atau penyertaan (deelneming), sehingga tidak ada kepastian hukum sesungguhnya siap yang menjadi pelaku, atau yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan atau yang memberikan bantuan melakukan tindak pidana.

Praktik hukum sedemikian menimbulkan kerugian secara hukum bagi seseorang yang tidak pernah mengetahui awal dari suatu perencanaan kejahatan akan tetapi ia baru aktif ikut dalam pelaksanaan suatu tindak pidana; akan tetapi ditetapkan sebagai tersangka pelaku bukan pembantu kejahatan, yang ancaman hukuman bagi pemidanaan yang membantu melakukan kejahatan dikurangi 1/3 nya dan aset-asetnya dalam perkara korupsi disita habis disamakan kedudukan hukum sebagai utama. Di dalam KUHP 2023 telah ditetapkan Pedoman Pemidanaan yang menetapkan tujuan pemidanaan: a. mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat; b. memasyaralatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa arnan dan damai dalam masyarakat; dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Merujuk tujuan pemidanaan berdasarkan UU KUHP 2023 tampak jelas bahwa arah politik hukum pidana nasional yang akan datang tidak lagi bertujuan penghukuman atau retributive justice melainkan telah berganti kepada tujuan pencegahan dan penindakan yang mempertimbangkan keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak asasi masyarakat disertai harapan ada penyesalan pada pelaku tindak pidana. Ketentuan UU KUHP 2023 juga menegaskan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia, dan kepada hakim telah diamanatkan bahwa dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan; jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.

Implikasi hukum dan sosial pemberlakuan UU KUHP 2023 adalah perubahan total norma hukum acara pidana, KUHAP 1981 yang harus disesuaikan dengan filosofi, visi, misi dan tujuan pemidanaan hukum pidana Indonesia pascaefektif berlaku tahun 2026. Selain perubahan norma beracara dalam perkara pidana, juga dituntut perubahan sikap mental dan perilaku aparatur penegak hukum, baik penyidik, penuntut maupun hakim dalam menyelesaikan suatu perkara pidana termasuk perkara tindak pidana khusus lainnya seperti tindak pidana korupsi, terorisme, pelanggaran HAM, dan pencucian uang.
(abd)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More