ASN Tidak Boleh Terpengaruh Kepentingan Perorangan dalam Pilkada

Rabu, 26 Agustus 2020 - 22:26 WIB
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengawasi perilaku aparatur sipil negara (ASN) dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengawasi perilaku aparatur sipil negara (ASN) dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Tarik-menarik kepentingan politik membuat ASN kerap terseret dalam politik praktik.

ASN tidak boleh berpihak pada salah satu calon dalam pilkada. Direktur Politik Dalam Negeri Kemendagri Syarmadani mengatakan kondisi ASN dalam gelaran pilkada kerap tidak menguntungkan. “Kalau kata kawan-kawan di daerah berpihak salah, enggak berpihak salah. Kita tidak akan membiarkan kondisi ini. Kemendagri akan memastikan kualitas netralitas ASN,” ujarnya dalam kampanye virtual “ASN Netral, Birokrasi Kuat dan Mandiri”, Rabu (26/8/2020).

(Baca juga: Alasan Mendagri Dukung EO Virtual Terlibat dalam Kampanye Pilkada)

Bukan rahasia lagi, ASN kerap ditarik-tarik turun gelanggang, baik secara langsung maupun tidak, dalam pilkada. Dia menerangkan hal itu tidak lepas dari pengaruh ASN yang besar terkait posisinya sebagai aparatur dan bagian dari masyarakat. Sebagai aparatur, menurutnya, ASN memiliki banyak ruang, kewenangan, dan fasilitas yang bisa membuat pertarungan pilkada tidak adil. Kekuatan ASN di daerah cukup besar. Berdasarkan data 2018, dari 4 juta lebih ASN Indonesia, sebanyak 77,56% berada di pemerintahan daerah. (Baca juga: Tak Netral di Pilkada, ASN Siap-Siap Tak Digaji)



Jumlah itu menunjukkan ASN sebagai penggerak utama di daerah. Kemendagri tidak ingin kinerja mereka terganggu saat pilkada. Sebab, hal itu akan berimplikasi pada terganggunya estapet kepemimpinan di daerah. Syarmadani menegaskan akan menjaga ASN agar tidak melanggar netralitas dalam pilkada. ASN sebenarnya sudah mendapatkan proteksi dari sisi hukum agar tidak mudah ditarik dalam politik praktis dan melakukan pelanggaran.

Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Pada Pasal 71 ayat 1 menyatakan pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau lurah dilarang membuat keputusan dan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Kemudian, kepala daerah tidak boleh melakukan penggantian pejabat selama enam bulan menjelang pilkada. Gubernur, bupati, dan wali kota dilarang membuat program yang merugikan salah satu calon. “Pasal 71 ini sudah memberikan kekuatan pada ASN sebelum merasa tertekan atau merasa dikunci pimpinan,” ucapnya.

Syarmadani mengatakan ada tiga posisi yang harus disadari dan diperankan secara aktif oleh ASN. pertama, jabatan sebagai penanggung jawab layanan publik. “Dia tidak boleh terpengaruh kepentingan orang per orang. Dia harus melayani semua, tidak ada pengecualian. Dalam posisi ini, netralitas itu merupakan sebuah kewajiban,” tegasnya.

Kedua, ASN akan menjadi objek pengawasan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan masyarakat. ketiga, kewenangan dan kekuasaan yang melekat pada dirinya. “Jika tidak digunakan pada tempatnya akan mempengaruhi netralitas dalam pelaksanaan pilkada,” katanya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More