Esoterika Rayakan Arbain Antariman, Denny JA Kutip Kata-kata Sayyidina Ali
Minggu, 25 Agustus 2024 - 11:08 WIB
Sementara Muslim itu 24%, sementara yang Yahudi itu hanya 0,2%. Kini di tahun 2021, bentuk diskriminasinya dan persekusinya diukur secara lebih bervariasi lagi.
Lembaga seperti Pew Research Center ini membagi dua bentuk persekusi dan diskriminasi yang ada. Pertama, yang dilakukan oleh pemerintah, yang disebut Government Restriction. Kedua, yang dilakukan oleh masyarakat sendiri yang disebut Social Hostility atau permusuhan yang dilakukan oleh masyarakat.
Pada tahun 2021, Government Restriction atau pembatasan dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah, terjadi di 57 negara. Sementara, Social Hostility atau permusuhan sosial terjadi di 91 negara.
"Kita lihat di sini bahwa ternyata memang jumlah permusuhan sosial terjadi di lebih banyak negara. Pemerintah yang melakukan diskriminasi dan pembatasan hanya di 57 negara, tetapi Social Hostility terjadi di 91 negara. Jadi, kadang-kadang kita mengalami satu persekusi, diskriminasi, dan kekerasan lebih banyak datang dari masyarakatnya sendiri," jelasnya.
Riset ini juga mencoba mengeksplorasi karakter negara yang melakukan diskriminasi. Data menunjukkan bahwa diskriminasi lebih banyak terjadi di negara-negara non demokratis, karena di negara demokratis, kultur mengenai persamaan warga negara dan hak asasi manusia lebih dihargai.
Diskriminasi ini juga lebih banyak terjadi di negara yang rata-rata pendidikannya lebih rendah karena semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula eksposur terhadap keberagaman dan hak asasi manusia. Juga lebih banyak terjadi di negara-negara yang miskin secara ekonomi, karena semakin kaya negara tersebut, biasanya semakin tinggi pula tingkat pendidikan dan eksposur terhadap kosmopolitanisme dunia serta hak asasi manusia.
"Di sini kita melihat bahwa sikap yang menganggap mereka yang berbeda secara iman juga adalah saudara dalam kemanusiaan, tidak hanya dijamin oleh pribadi yang meyakininya, tetapi juga lebih dijamin oleh negara yang lebih demokratis, negara yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, dan negara yang lebih kaya secara ekonomi," jelasnya.
Dengan demikian, kata Denny JA, jika kita mengharapkan satu masyarakat yang lebih menghargai hak asasi manusia dan perbedaan agama, maka kita perlu mendorong lebih banyak pemimpin yang mengapresiasi hal tersebut. Kita juga perlu mendorong negara kita untuk menjadi lebih demokratis, meningkatkan akses pendidikan tinggi, dan memperkaya negara kita secara ekonomi.
"Itulah cara kita membaca data statistik. Di Indonesia sendiri, persekusi masih sering terjadi, bahkan setelah reformasi. Ini berita di tahun 2023 yang membuat kita terluka membacanya, kisah di Sampang. Diberitakan bahwa ratusan penganut Syiah bisa kembali ke Sampang pada tahun 2023, sebelas tahun setelah diusir dari tanah kelahirannya sendiri pada tahun 2012."
"Mereka dipaksa pergi hanya karena mereka meyakini ajaran Syiah. Kini, sebelas tahun kemudian, mereka hanya boleh kembali jika meninggalkan keyakinan Syiahnya. Sebagian besar dari mereka menerima syarat itu dan kembali ke Sampang setelah meninggalkan keyakinan Syiah," sambungnya.
Lembaga seperti Pew Research Center ini membagi dua bentuk persekusi dan diskriminasi yang ada. Pertama, yang dilakukan oleh pemerintah, yang disebut Government Restriction. Kedua, yang dilakukan oleh masyarakat sendiri yang disebut Social Hostility atau permusuhan yang dilakukan oleh masyarakat.
Pada tahun 2021, Government Restriction atau pembatasan dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah, terjadi di 57 negara. Sementara, Social Hostility atau permusuhan sosial terjadi di 91 negara.
"Kita lihat di sini bahwa ternyata memang jumlah permusuhan sosial terjadi di lebih banyak negara. Pemerintah yang melakukan diskriminasi dan pembatasan hanya di 57 negara, tetapi Social Hostility terjadi di 91 negara. Jadi, kadang-kadang kita mengalami satu persekusi, diskriminasi, dan kekerasan lebih banyak datang dari masyarakatnya sendiri," jelasnya.
Riset ini juga mencoba mengeksplorasi karakter negara yang melakukan diskriminasi. Data menunjukkan bahwa diskriminasi lebih banyak terjadi di negara-negara non demokratis, karena di negara demokratis, kultur mengenai persamaan warga negara dan hak asasi manusia lebih dihargai.
Diskriminasi ini juga lebih banyak terjadi di negara yang rata-rata pendidikannya lebih rendah karena semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula eksposur terhadap keberagaman dan hak asasi manusia. Juga lebih banyak terjadi di negara-negara yang miskin secara ekonomi, karena semakin kaya negara tersebut, biasanya semakin tinggi pula tingkat pendidikan dan eksposur terhadap kosmopolitanisme dunia serta hak asasi manusia.
"Di sini kita melihat bahwa sikap yang menganggap mereka yang berbeda secara iman juga adalah saudara dalam kemanusiaan, tidak hanya dijamin oleh pribadi yang meyakininya, tetapi juga lebih dijamin oleh negara yang lebih demokratis, negara yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, dan negara yang lebih kaya secara ekonomi," jelasnya.
Dengan demikian, kata Denny JA, jika kita mengharapkan satu masyarakat yang lebih menghargai hak asasi manusia dan perbedaan agama, maka kita perlu mendorong lebih banyak pemimpin yang mengapresiasi hal tersebut. Kita juga perlu mendorong negara kita untuk menjadi lebih demokratis, meningkatkan akses pendidikan tinggi, dan memperkaya negara kita secara ekonomi.
"Itulah cara kita membaca data statistik. Di Indonesia sendiri, persekusi masih sering terjadi, bahkan setelah reformasi. Ini berita di tahun 2023 yang membuat kita terluka membacanya, kisah di Sampang. Diberitakan bahwa ratusan penganut Syiah bisa kembali ke Sampang pada tahun 2023, sebelas tahun setelah diusir dari tanah kelahirannya sendiri pada tahun 2012."
"Mereka dipaksa pergi hanya karena mereka meyakini ajaran Syiah. Kini, sebelas tahun kemudian, mereka hanya boleh kembali jika meninggalkan keyakinan Syiahnya. Sebagian besar dari mereka menerima syarat itu dan kembali ke Sampang setelah meninggalkan keyakinan Syiah," sambungnya.
tulis komentar anda