Refleksi Kemerdekaan, Asrorun Ni'am Soroti Relasi Politik dan Kehidupan Sehari-hari
Jum'at, 16 Agustus 2024 - 18:23 WIB
Di antaranya terjadi perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945 yang dirumuskan setelah prokmasi kemerdekaan, kemudiaan ada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat. "Kemudiaan sampai Dekrit 1959, ada reformasi bergulir, ada komitken politik untuk mengamandemen UUD. Itu adalah fakta sejarah. Semua aspek itu tidak lepas dari dinamika politik untuk mengonsolidasikan konsensus-konsensus sesuai dengan tantangan zamannya," katanya.
Selain itu, Ketua MUI Bidang Fatwa ini menyampaikan terkait dengan memaknai Pancasila di dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya, dalam operasionalnya bisa jadi tidak bisa terlepas dari pandangan subjektif dan dinamika masyarakat yang terus berkembang.
"Sehingga kita bisa telaah ulang, kita bisa melakukan kontekstualisasi, sehingga ketemu pada titik tengahnya. Menjadi konsensus-konsensus nasional kita," papar Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.
Prof Ni'am menerangkan, konsensus-konsensus tersebut tidak terlepas dari norma-norma, nilai-nilai keagamaan yang hidup di masyarakat. Selain itu, dari nilai-nilai kepatutan yang hidup dan dijaga oleh masyarakat, juga bagian tak terpisahkan terkait pemahaman dan implememtasi dari norma ideologi Pancasila di dalam aktivitas kesehariannya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto mengatakan, politik jangan dianggap di luar dari kita. Menurutnya, banyak yang harus dipahami, selami, refleksikan bahkan beberapa hal menjadi partisipan aktif terkait banyak hal dalam politik.
Terkait Pancasila, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta ini memaknainya dari perspektif komunikasi politik sebagai simbolik konvergen. Dijelaskannya, simbolik konvergen tersebut merupakan istilah yang dikemukakan oleh Ernets Bormen, seorang ahli psikologi sosial.
"Intinya begini, simbolik konvergen itu bukan semata-mata penyatuan simbol. Tetapi semacam berbagi kesadaran," kata Gun Gun yang juga Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI.
Selain itu, Ketua MUI Bidang Fatwa ini menyampaikan terkait dengan memaknai Pancasila di dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya, dalam operasionalnya bisa jadi tidak bisa terlepas dari pandangan subjektif dan dinamika masyarakat yang terus berkembang.
"Sehingga kita bisa telaah ulang, kita bisa melakukan kontekstualisasi, sehingga ketemu pada titik tengahnya. Menjadi konsensus-konsensus nasional kita," papar Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini.
Prof Ni'am menerangkan, konsensus-konsensus tersebut tidak terlepas dari norma-norma, nilai-nilai keagamaan yang hidup di masyarakat. Selain itu, dari nilai-nilai kepatutan yang hidup dan dijaga oleh masyarakat, juga bagian tak terpisahkan terkait pemahaman dan implememtasi dari norma ideologi Pancasila di dalam aktivitas kesehariannya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto mengatakan, politik jangan dianggap di luar dari kita. Menurutnya, banyak yang harus dipahami, selami, refleksikan bahkan beberapa hal menjadi partisipan aktif terkait banyak hal dalam politik.
Terkait Pancasila, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta ini memaknainya dari perspektif komunikasi politik sebagai simbolik konvergen. Dijelaskannya, simbolik konvergen tersebut merupakan istilah yang dikemukakan oleh Ernets Bormen, seorang ahli psikologi sosial.
"Intinya begini, simbolik konvergen itu bukan semata-mata penyatuan simbol. Tetapi semacam berbagi kesadaran," kata Gun Gun yang juga Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI.
(cip)
tulis komentar anda